Oleh Andri
Setiawan
- Pemimpin PKI yang pantang tunduk pada pemerintah kolonial. Paling dihormati kaum buangan Digul.
Makam Aliarcham di Tanah Merah. (repro Boven-Digoel).
Pada 1 Juli 1933, laki-laki itu dipapah kawan-kawannya
menaiki perahu motor. Dari Tanah Tinggi, perahu itu menyusuri Sungai Digul
hendak menuju Tanah Merah untuk berobat. Butuh waktu sekitar enam jam menuju
Tanah Merah dengan aliran sungai yang berkelok-kelok. Sesekali lajunya terhalang
batang-batang pohon yang hanyut di sungai.
Aliarcham memang telah sakit-sakitan. Ia sering
batuk-batuk dan mengidap penyakit paru-paru. Tapi meski kondisinya semakin
buruk, ia enggan berobat.
"Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian saya di hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini," katanya sepeti dikutip Mangkudun Sati dalam Aliarcham, Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya.
Keinginannya itu benar-benar tercapai. Belum sempat
sampai ke Tanah Merah, di antara deru mesin perahu dan sunyinya hutan Papua,
laki-laki 32 tahun itu menarik napas terakhirnya. Aliarcham, buangan Digul
paling dihormati itu meninggal dunia dikelilingi sahabat-sahabatnya.
Aliarcham ditangkap pemerintah kolonial pada 5 Desember
1925. Saat itu ia sedang berada di Solo untuk mengikuti kongres Organisasi
Perguruan dan Pendidikan Indonesia (OPPI). Pemerintah kolonial menduga
Aliarcham merupakan organisator penting dalam pemogokan besar buruh di sejumlah
tempat di Jawa Timur, satu bulan sebelumnya.
Pada 24 Desember 1925, ia diangkut dengan kapal Van Der
Wijck ke Papua bersama seorang kawannya bernama Mardjohan. Merauke adalah
lokasi pertama Aliarcham dibuang. Ia tinggal di sana kira-kira hanya seminggu.
Aliarcham lalu dipindahkan ke Okaba dan tinggal di sana sekitar satu setengah
tahun.
Dari Okaba, ia dipindahkan ke Tanah Merah. Di sini, sudah
ada buangan lainnya yang ditangkap setelah pemberontakan PKI pada November
1926. Saat itu, di Tanah Merah tengah terjadi perselisihan antara kaum buangan
mengenai siapa yang bertanggung jawab atas gagalnya pemberontakan 1926.
Aliarcham mengambil sikap yang tegas. Ia menganggap tak
ada yang patut disalahkan kecuali pemerintah kolonial yang menyebabkan rakyat
harus memberontak.
"Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang bersalah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara. Kita harus terus menggunakan waktu pembuangan ini untuk belajar pengetahuan Marxisme dan pengetahuan umum," katanya.
Perselisihan itu menyisakan perpecahan antara mereka yang
bersifat keras dan mereka yang mulai luntur semangat perjuangannya. Karena
dianggap berbahaya, sebagian dari mereka yang bersifat keras dipindahkan ke
Gudang Arang yang letaknya berada di tengah rawa. Beberapa di antaranya adalah
para pemimpin PKI seperti Mas Marco Kartodikromo, Thomas Najoan, Budisucitro,
dan Aliarcham.
Karena banyak diprotes kaum progresif Belanda, pada
Januari 1928, Aliarcham dan kawan-kawan dipindahkan ke Tanah Tinggi. Meski tak
lagi di tengah rawa, Tanah Tinggi letaknya jauh masuk ke dalam belantara hutan
Digul. Enam jam perjalanan dari Tanah Merah jika naik perahu. Kamp paling sunyi
di Digul.
Aliarcham termasuk orang buangan yang paling dikenal di
Digul. Ia dianggap sebagai pemimpin para buangan dan kerapkali mewakili kaum
buangan dalam pelbagai persoalan. Misalnya ketika tunjangan 30 sen perhari
hendak dicabut, bersama Budisucitro dan Said Ali, ia dikirim untuk menanyakan
keputusan itu. Setelah beradu debat dengan kontrolir, tunjangan 30 sen akhirnya
tidak jadi dicabut.
Menurut Mas Marco Kartodikromo dalam Pergaulan Orang
Buangan di Boven Digoel, ketika kaum buangan Tanah Merah membentuk Centrale
Raad Digoel (CRD) Aliarcham terpilih sebagai anggota dengan suara
terbanyak, yakni 515 suara. Ia juga terpilih menjadi anggota komisi pembentuk
Anggaran Dasar CRD bersama Soenarjo dan Budisucitro.
Meninggalnya Aliarcham meninggalkan kesan mendalam bagi
kaum buangan. Baik mereka yang telah loyal terhadap kolonial maupun mereka
tetap radikal, menganggap Aliarcham adalah pemimpin mereka.
"Aliarcham dimakamkan dengan peghormatan besar, semua kelompok berjalan kaki dalam iringan pemakamannya, seakan akan ia telah menyatukan semua tapol, yang sebelumnya terlibat dalam perselisihan sengit tentang status di pengasingan, dan tentang dukungan untuk organisasi-organisasi mereka yang ini atau yang itu," tulis Molly Bondan dalam Spanning a Revolution.
Menurut Molly, tidak orang lain lagi yang pernah menerima
penghormatan sebesar itu dari semua tapol. Makam Aliarcham di Tanah Merah juga
merupakan makam yang paling dirawat dengan layak. Tertulis sebuah sajak di
makamnya:
"Obor yang dinyalakan di malam gelap-gulita ini, kami serahkan kepada angkatan kemudian."
0 komentar:
Posting Komentar