17/09/2019,
15:30 WIB
Penulis : Dandy Bayu Bramasta
Editor : Sari Hardiyanto
Editor : Sari Hardiyanto
Mantan Anggota Tim Gabungan
Pemberantasan Korupsi, HS Dillon(Kompas.com/SABRINA ASRIL)
KOMPAS.com - HS Dillon, mantan aktivis hak asasi manusia (HAM) meninggal dunia di Rumah Sakit Siloam, Bali pada Senin (16/9/2019).
Tak banyak yang tahu mengenai sosok kelahiran Medan, 23
April 1945 itu. Pemberitaaan Harian Kompas 9 Maret 1998 menyebutkan, Dillon
merupakan putra bungsu dari pasangan Partap Singh dan Dhan Kaur, salah satu
keluarga Singh terkemuka di Medan.
Sedari kecil, Dillon sudah tertarik dengan masalah
pertanian dan pedesaan. Dillon kerap menghela napas panjang saat melihat nasib
para petani, orang desa, dan buruh perkebunan dalam mengarungi hidup. Terutama
melihat nasib buruh di Sumatera Utara yang tetap menderita meski telah bekerja
habis-habisan.
Dari beberapa faktor tersebut, Dillon memutuskan untuk
terjun total ke bidang pertanian. Akhirnya, Dillon mengambil studi doktoral di
bidang tersebut.
Disertasi doktoralnya yang berjudul Growth with Equity:
the Case of the North Sumatera Smallholder Development Project telah
mengantarkannya meraih gelar doktor di bidang ekonomi pertanian di Cornell
University, Ithaca, New York, Amerika Serikat, pada tahun 1983.
Proyek yang dilatarbelakangi oleh nasib buruh perkebunan
di Sumatera Utara itu akhirnya menjadi cikal bakal PIR (Proyek Inti Rakyat) di
Labuhan Batu, Sumatera, yaitu pembagian lahan perkebunan negara kepada buruh
dan masyarakat setempat.
Berkat ide-idenya di bidang pertanian, Dillon terpilih
menjadi orang Indonesia pertama, sekaligus orang Asia pertama yang berhasil
memenangkan pemilihan President, Graduate Students of Agriculture Economics di
Cornell University.
Selain itu, ada hal menarik dari HS Dillon yakni soal
penutup kepala bernama turban yang selalu ia kenakan. Dilansir cnn.com,
asal-usul turban berawal dari Kerajaan Mesopotamia. Pakaian seperti turban
ditemukan pada patung kerajaan tersebut pada tahun 2.350 sebelum masehi.
Penemuan tersebut dipercaya menjadi bukti bahwa turban muncul sebelum lahirnya
agama-agama Ibrahim.
Pelindung sinar matahari
Turban digunakan di India, Timur Tengah, Eropa, dan
Afrika dengan tujuan untuk melindungi pemakai dari sinar matahari, hujan, atau
cuaca dingin.
Di beberapa daerah, hanya orang-orang tertentu yang
memiliki hak istimewa yakni orang dengan kepercayaan tertentu. Kendati turban
hanya dipakai oleh orang dengan kepercayaan tertentu, warga golongan lain juga
diperbolehkan mengenakan turban tetapi harus dengan warna lain sehingga dapat
diidentifikasi.
Sebagai contoh yang terjadi di Mesir dan Suriah, pada
abad kedelapan orang-orang Kristen menggunakan turban berwarna biru, Yahudi
mengenakan warna kuning, dan bangsa Samaria mengenakan warna merah, sementara
orang-orang Muslim umumnya memakai warna putih.
Sebelum berdirinya Kesultanan Mughal pada abad ke-16, di
India hanya anggota kerajaan dan pejabat tinggi yang diizinkan untuk memakai
turban. Pakaian tersebut dijadikan simbol status, sering kali dihiasi dengan
bulu dan ornamen merak.
Agama Hindu dengan sistem kasta yang ketat, melarang
individu dari kasta yang lebih rendah memakai turban. Saat Kesultanan Mughal yang
membawa pengaruh islam berdiri, bentuk turban juga mengalami perubahan yang
dahulunya kecil menjadi berbentuk lingkaran dengan ukuran yang lebih besar
karena pengaruh budaya Persia dan Arab.
Pada tahun 1658, turban pernah digunakan sebagai alat
untuk memisahkan penduduk oleh kaisar paling kontroversial Mughal saat itu,
Aurangzeb.
Tanda Kebebasan Aurangzeb berusaha untuk mencegah
non-muslim menggunakan turban dan menyatakan bahwa hanya kelas penguasa Islam
yang memiliki otoritas untuk memakainya.
Perlu diketahui, kesultanan tersebut tidak hanya dihuni
oleh kaum muslim saja, tetapi juga dihuni oleh kaum Sikh. Seiring berjalannya
waktu, kaum Sikh pun bertambah dan memiliki pemimpin bernama Guru tegh Bahadur.
Pada saat itu,
Guru Tegh Bahadur dieksekusi ke Delhi oleh Aurangzeb sehingga putranya bernama
Gobind melakukan perlawanan dengan mendirikan kelompok pejuang yang dikenal
dengan nama Khalsa.
Kelompok tersebut
memperjuangkan agar kaum Sikh dapat memakai turban untuk menutupi rambut mereka
yang tidak dipotong. Penggunaan turban merupakan suatu tindakan pembangkangan
kepada kaisar. Mereka mengakhiri perbedaan kasta dan sebagai tanda kebebasan
orang Sikh sekaligus menjadi ciri khas dengan memakai turban.
0 komentar:
Posting Komentar