Oleh: Haris Prabowo - 29
September 2019
Menko Polhukam Wiranto (tengah) didampingi Panglima
TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (kedua kiri) dan Kapolri Jenderal Pol Tito
Karnavian (kanan) memberikan keterangan pers di Kemenko Polhukam, Jakarta,
Selasa (24/9/2019). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.
Wiranto dianggap gagal jadi Menkopolhukam. Dia pun didesak mundur saja sebelum masa kerjanya benar-benar selesai.
Wiranto dianggap gagal menjabat Menkopolhukam, posisi
yang dia emban sejak 27 Juli 2016. Desakan agar bekas Panglima Angkatan
Bersenjata ini mundur pun mengemuka.
"Kami meminta [presiden] mencopot Menkopolhukam Wiranto karena terbukti gagal dalam melakukan antisipasi terhadap persoalan politik dan keamanan yang menjadi domain wilayah kerjanya," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik dalam keterangan pers, Jumat (27/9/2019) lalu.
Komisi III adalah mitra kerja sekaligus pengawas kinerja
Kemenkopolhukam. Indikasi kegagalan Wiranto yang paling terlihat adalah: dia
tidak bisa mengantisipasi aparat polisi berbuat represif.
Buktinya, Randi (21), mahasiswa Fakultas Perikanan
Universitas Halu Oleo angkatan 2016, mati ditembak dengan peluru tajam saat
berdemonstrasi di depan DPRD Sulawesi Tenggara, Kendari, Kamis (26/9/2019).
Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan dari para saksi
mata, Randi diduga ditembak dari jarak dekat. Dari foto korban yang kami
terima, ada luka berbentuk lingkaran di bagian dada kananya. Muhammah Yusuf
Kardawi (19), demonstran dari Teknik D-3 UHO, juga meninggal dunia dalam
peristiwa yang sama.
"Jangan [mengamankan demonstrasi mahasiswa] dengan kekerasan dan represif. Siapa aparat yang terlibat, peluru apa yang telah membunuh adik-adik mahasiswa. Jika polisi menggunakan peluru karet, mahasiswa pasti tidak akan mati," tambahnya.
Randi dan Yusuf menambah daftar hitam orang-orang yang
tewas karena menyuarakan aspirasinya. Dalam aksi menentang hasil pilpres di
Jakarta 21-22 Mei lalu, sembilan orang meninggal. Hingga kini tak jelas sudah
sampai mana proses investigasinya.
Belum lagi kejadian serupa di Papua beberapa hari yang
lalu. Desakan agar Wiranto pensiun saja juga dikemukakan lembaga swadaya
masyarakat yang membidangi pengawasan hak asasi manusia, Imparsial.
Kepada reporter Tirto, Jumat (27/9/2019), Wakil Direktur
Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan memang sudah saatnya Joko Widodo mengganti
Wiranto jika dia benar-benar "berkomitmen membangun situasi jalannya
pemerintahan yang menghormati HAM dan demokrasi dalam politik, hukum, dan keamanan."
Menurutnya taktik Wiranto sejak dulu memang keliru tiap
kali merespons konflik dan ekspresi politik warga.
"Beberapa statement, langkah-langkah yang dibuat Pak Wiranto yang kontraproduktif, itu sudah jadi bukti kalau dia memang harusnya diganti," tegasnya.Saat menghadapi kerusuhan di Papua, alih-alih memilih jalan dialog, Wiranto lebih suka menambah jumlah aparat. Dia juga menuding Benny Wenda-lah otak kerusuhan di Papua. Ketika demonstrasi mahasiswa meluas, Wiranto malah bilang "demo sudah tidak relevan."
Menurutnya ada jalan lain yang jauh lebih terhormat dari
itu. Dia juga menyebut gerakan potensial ditunggangi--tuduhan yang dibantah
keras para mahasiswa. Wiranto juga menyarankan agar masyarakat lebih percaya
terhadap informasi resmi dari aparat. Dalam kasus demo di Jakarta, aparat malah
pernah menyebar hoaks. Pun dengan kasus Papua.
"Dari awal kami sudah mempertanyakan mengapa Jokowi mengangkat dia jadi Menkopolhukam. Dia dipertanyakan dari sisi integritas, komitmen, terutama soal HAM," pungkas Ghufron.
Tidak Berlebihan Direktur Setara Institute Ismail Hasani
mengatakan desakan legislatif dan sipil agar Wiranto dicopot saja sama sekali
"tidak berlebihan" meski "sedikit tidak relevan mengingat
kerjanya (dalam periode pertama pemerintahan Jokowi) tinggal beberapa hari
lagi."
"Mereka punya data yang banyak dan sah-sah saja memberikan kritik. Indikator ketidakmampuan Wiranto dalam mengendalikan organ-organ, terutama aparat negara, terlihat lewat kontroversi yang muncul," kata Ismail saat dihubungi reporter Tirto.Ismail juga punya penilaian serupa. Wiranto adalah 'orang lama' dalam politik Indonesia yang tak inovatif menangani konflik. Artinya, dia masih doyan pakai cara-cara lawas.
"Wiranto dibesarkan di era otoritarianisme, sementara tantangan hari ini jelas berbeda. Dulu enggak ada demonstrasi digital. Kalau masih pakai cara konvensional ya tentu kontraproduktif."
"Contoh ada orang mengkritik di medsos atau galang dana di internet seperti Ananda Badudu, tapi dipidana. Di negara-negara maju, orang yang tidak mengikuti demo di jalanan akan kontribusi via uang sebagai dukungan, dan itu tak bisa dipidana," pungkasnya.
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri
Wiranto masih
setia dengan cara-cara kekerasan, padahal situasi sudah berubah
Tirto.ID
0 komentar:
Posting Komentar