Rita Ayuningtyas - 30
Sep 2019, 08:36 WIB
(Ist)
Jakarta - Mentari belum sempat menunjukkan sinarnya.
Dini hari itu, 1 Oktober 1965, rentetan tembakan terdengar dari sebuah rumah di
jalan yang kini bernama Jalan Teuku Umar, Gondangdia, Menteng, Kota
Jakarta Pusat.
Rumah itu merupakan kediaman seorang perwira tinggi
Angkatan Darat yang dijadikan salah satu target utama operasi G 30S. Dia adalah
Jenderal Besar Nasution.
Agus Salim dalam bukunya, Tragedi Fajar: Perseteruan
Tentara-PKI dan Peristiwa G 30S menyebut, Nasution merupakan target utama
dalam operasi tersebut.
Ini terkait dengan sikap dan pandangannya terhadap Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pengaruhnya dalam tubuh TNI juga disinyalir masih
besar sebagai jenderal senior di sana.
Oleh karena itu, jumlah pasukan yang dikerahkan untuk
menjemputnya pun lebih banyak, hampir dua pleton yang menumpang 3 truk dan 2
mobil web.
30 September malam itu, Nasution tengah berada di kamar,
usai menjadi penceramah dalam sebuah acara di Universitas Muhammadiyah Jakarta
bersama ajudannya, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Pada buku Monumen Pancasila Cakti, dr Soedjono
menyebut, Nasution tak bisa tidur. Udara yang sangat panas, membuat nyamuk
berseliweran di kamarnya.
Sekitar pukul 04.00 WIB, satu formasi pasukan Cakrabirawa
tiba di rumah Nasution. Tak banyak bicara, mereka menuju pintu rumah. Setiap
gerakan kecil penjaga dibalas dengan tembakan. Suara tembakan membuat seisi
rumah terbangun.
Ketegangan semakin mencekat ketika pasukan-pasukan ini
masuk rumah melalui pintu utama. Istri Nasution, Sunarti mencegah pria
yang akrab disapa Pak Nas itu untuk keluar kamar. Dia kemudian meminta belahan
jiwanya melarikan diri.
Sunarti pun membuka pintu kamar namun, muntahan
peluru menyambutnya.
Sementara, cerita yang agak berbeda diutarakan bekas
prajurit Cakrabirawa, Sulemi. Dia dan rekannya disambut oleh satu
pleton penjaga kediaman Nasution yang berasal dari Kostrad. Mereka diantar ke
dalam rumah.
Di pintu utama, pintu tak terkunci. Namun, ketika masuk,
10 anggota penjemput tak menemukan Nasution. Mereka pun lantas mencarinya di
beberapa kamar. Dari salah satu kamar, Nasution tiba-tiba membuka pintu.
Namun, melihat ada tiga prajurit Cakrabirawa di depan
pintu, Nasution kembali mengunci pintu. Sulemi lantas meminta agar pintunya
dibuka. Namun, tak ada jawaban.
Sebagai prajurit, Sulemi diperintah menjemput Nasution
hidup atau mati. Dua anggota pasukan, Kopral Sumarjo dan Hargiono, membuka
paksa kunci besi dengan rentetan senjata sten atau senapan serbu.
Senjata menyalak. Pintu pun terbuka, tetapi Nasution
sudah tak ada di kamarnya. Saat inilah, anak bungsu Nasution tertembak di
dekapan sang ibu.
Sementara, Sulemi mendengar ada suara rentetan tembakan
senjata serbu dari luar rumah. Nasution kabur melompat pagar. Ia tak bisa
memastikan siapa yang menembak di luar rumah kala itu.
Namun, ia bisa memastikan bahwa pemegang senjata bren
adalah Kopral Sarjo. Meski demikian, mereka tak mengejarnya. Sebab, perintah
mereka adalah menjemput tanpa menganggu tetangga sekitarnya.
Agus Salim dalam bukunya menyebut, Nasution melompat ke
rumah Duta Besar Irak. Sementara, Victor M Fic dalam bukunya, Kudeta 1
Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi menyebut, bangunan tempatnya
bersembunyi adalah rumah Dr Leimena di Jalan Teuku Umar 36.
Kegaduhan itu membuat Lettu Pierre Tendean terbangun. Dia
kemudian menuju sumber suara dengan membawa senjata. Pasukan penjemput
kemudian bertanya siapa dia. Tendean kemudian menjawab dia adalah ajudan
Nasution. Namun, sebagian besar pasukan salah mendengar dan mengiranya sebagai
Nasution.
Tendean diikat dan dibawa ke truk. Tak lama, bunyi peluit
terdengar. Isyarat misi penculikan jenderal berhasil dilakukan.
Tepat pukul 04.08 WIB, rumah itu kembali sepi....
Keluar
Persembunyian
Nasution mengalami patah kaki saat melarikan diri. Victor
M Fic menyebut, Nasution bersembunyi di rumah tetangganya itu hingga pukul
06.00 WIB, 1 Oktober 1965.
Setelah merasa aman, dia kembali ke rumahnya melalui
pagar. Dia kemudian meminta ajudan dan iparnya untuk membawanya ke Departemen
Pertahanan dan Keamanan. Dia lalu diantar dengan mobil oleh Komandan Staf
Markas Besar AD (Kostrad), Letkol Hidajat Wirasondjaja; ajudannya Mayor Sumargono,
dan iparnya, Bob Sunarjo.
Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di
markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman.
Soedjono dalam Monumen Pancasila Cakti menyebut,
istri Nasution lah yang melapor ke Mabes KKo/ALRI. Saat membawa Ade Irma ke
RSPAD, dia mampir ke mabes untuk meminta bantuan ke penjaga.
Pukul 04.09 WIB, ajudan Nasution, AKP Hamdan Mansyur
menelepon Pangdam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan melaporkan
peristiwa tersebut. Sekitar pukul 04.30 WIB, Umar tiba di rumah Nasution dan
menyaksikan bekas kekejaman G30S.
Pukul 06.30 WIB, barulah diadakan usaha untuk mengambil
Nasution dari persembunyiannya. Pukul 19.00 WIB, Nasution kemudian dibawa ke Makostrad
untuk mengatur siasat penumpasan pemberontak G30S.
Nasution dan
Pemberontakan PKI di Madiun
Patung Jendral AH Nasution yang terpajang di Museum AH Nasution di
Menteng, Jakarta, Sabtu (30/9). Museum ini semula adalah kediaman pribadi dari
Pak Nasution yang ditempati bersama dengan keluarganya sejak tahun 1949.
(Liputan6.com/Angga Yuniar)
Pada 18 September 1948, meletus pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Dalam rangka menumpas pemberontakan
tersebut, Presiden Sukarno memerintahkan Nasution membuat konsep operasi
penumpasan.
Seperti yang dikutip Liputan6.com dari Pusat
Sejarah TNI, sebagai Wakil Panglima Besar dan anggota Dewan Siasat Militer,
Nasution dapat mengonsepkan dengan segera rencana untuk menumpas PKI seperti
yang diminta Presiden.
Dia kemudian memegang kendali atas penumpasan PKI. Saat
itu, dia menjabat sebagai Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang
RI.
Sukarno memberinya waktu dua minggu untuk
menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Dalam waktu yang singkat
itu, semua pentolan PKI pun tertangkap.
Ya, memang tak ada yang bisa membantah kemampuan dan pemikiran
Jenderal Besar ini. Tidak saja matang di medan tempur serta karier kepangkatan
yang panjang di tubuh militer Indonesia, Pak Nas juga dikenal sebagai sosok
pemikir. Hal itu dibuktikan dengan 77 buku, jurnal, dan makalah yang pernah dia
tulis.
Dari puluhan buku itu, yang paling fenomenal tentu saja
buku Pokok-Pokok Gerilya. Buku inilah yang membuat nama Nasution mendunia
dan diakui sebagai penggagas perang gerilya yang kemudian banyak diterapkan
militer negara lain. Tak heran kalau Pak Nas juga dinobatkan sebagai Bapak
Angkatan Darat Militer Indonesia.
Buku Pokok-Pokok Gerilya berisi pengalaman Pak
Nas saat berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama perang mencapai
Kemerdekaan Indonesia. Pengalaman tempur juga dia dapatkan saat terjun dalam
Revolusi Kemerdekaan (1946-1948) ketika memimpin Divisi Siliwangi. Berlanjut
kemudian pada Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949) saat menjabat Panglima
Komando Jawa.
Dari momen itulah Nasution mendapat pelajaran
berharga tentang perang gerilya sebagai bentuk perlawanan rakyat kepada
penjajah. Strategi perang tersebut terus dipelajari hingga menjadi matang dan
sulit ditaklukkan musuh.
0 komentar:
Posting Komentar