HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Trikoyo Ramidjo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Trikoyo Ramidjo. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 September 2019

Kecil di Digul Muda di Buru


Empat belas tahun pengasingan di Boven Digul. Tujuh tahun penahanan di Pulau Buru.  

Oleh: Bonnie Triyana



RUMAH berpagar kuning itu terletak berhadapan dengan lapangan serbaguna di sebuah perumahan di bilangan Kunciran, Tanggerang. Gerbang pagar setinggi dada orang dewasa itu segera dibuka setelah beberapa kali terucap salam.

Seorang pria senja berkemeja putih dan bercelana panjang batik tampak berdiri di pintu menyambut dengan senyum dikulum. Tangan kirinya berpegangan pada tembok, menopang tubuh rentanya.
“Tangan kanan saya kena stroke, tak bisa lagi digerakkan. Silahkan masuk,” katanya mempersilahkan. Dia pun menyeret langkahnya untuk duduk di kursi.
Lelaki itu adalah Tri Ramidjo, 85 tahun. Sakit tak pernah menghalanginya untuk beraktivitas. Tri melek teknologi. Dia tak gagap menggunakan komputer dan akrab dengan internet. Sampai hari ini dia aktif sebagai anggota jejaring sosial Facebook dan kerapkali membagi pengalaman hidupnya di berbagai mailing list. Semangatnya tak pernah pudar.
“Tubuh saya sakit, tapi semangat saya masih selalu ada,” kata dia.
Senyumnya selalu mengembang saat bercerita tentang pengalaman masa kecilnya di Boven Digul, Papua. Pria kelahiran Kutoardjo, 27 Februari 1926 itu dibawa saat masih bayi oleh kedua orangtuanya, Kyai Dardiri Ramidjo dan Nyi Darini Ramidjo, ke Tanah Merah, Digul.

Kyai Dardiri dibuang ke Digul karena turut aktif dalam pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini masih sepupuan. Mereka adalah cucu dari Kyai Hasan Prawiro, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang mengobarkan perang Jawa pada 1825-1830.

Kamp Boven Digul dibangun oleh pemerintah kolonial pertama kali untuk memenjarakan aktivis PKI yang terlibat pemberontakan 1926. Menurut Ruth T. McVey pemerintah kolonial memindahkan 1.308 lebih mereka yang terlibat pemberontakan. Beberapa tokoh yang ditahan di sana antara lain Ali Archam, Sardjono, Mas Marco Kartodikromo, Kyai Maskur (ayah MH Lukman, tokoh PKI) dan KH Tubagus Achmad Chatib, pemimpin pemberontakan PKI di Banten.

Pada masa selanjutnya kamp Digul juga digunakan sebagai tempat pembuangan aktivis pergerakan nasional seperti Hatta dan Sjahrir.
Menurut Bung Hatta dalam buku Mengenang Sjahrir (1980) waktu itu kampung Tanah Merah terbagi dua.
“Kedua bagian itu dipisah pula oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter. Rumahku terletak di jalan itu. Sebelah kanan jalan itu disebut kampung B, sebelah kirinya kampung A,” kata Bung Hatta.
Menurutnya orang-orang yang tinggal di kampung A memilih untuk tak bekerja pada pemerintah. Mereka disebut kaum “naturalis” karena menerima jatah makanan per bulan secara natura dari pemerintah setempat dalam bentuk 18 kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limun minyak kelapa. Sementara itu kampung B dihuni golongan “werkwillig” yang bekerja untuk pemerintah dengan upah 40 sen sehari.

Sementara golongan ketiga adalah golongan “die hard” yang sejak datang kali pertama ke Digul menolak bentuk kerjasama apapun dengan penguasa setempat. Bahkan mereka menolak untuk membersihkan pekarangan tempat tinggal mereka sendiri. Mereka tak mau membangun rumah atau pun kampung sendiri dan memilih untuk tinggal di satu barak yang telah disediakan. 
“Mereka itu dicap sebagai “onverzoenlijken” – menentang terus,” tulis Bung Hatta. Golongan ini ditempatkan di Tanah Tinggi, kira-kira berjarak tempuh sehari perjalanan ke arah hulu sungai Digul.
Tri dan orangtuanya tinggal di kampung Tanah Merah dan masuk ke dalam golongan naturalis. Kemudian ayah Tri berhenti jadi natura dan memutuskan untuk jadi “daggelder” (buruh harian). Berbeda dengan keterangan Bung hatta, upah yang diterima ayah Tri sebagai buruh harian sebesar 10 sen per hari.

Tri kecil dan kawan sebayanya sering bermain mengunjungi rumah Bung Hatta untuk belajar bahasa Inggris. Dia pun mengenal baik Sjahrir dan kerapkali mendapatkan cokelat darinya.
“Oom Hatta itu orangnya penyendiri sementara Oom Sjahrir lebih luwes mau bergaul dengan siapa saja,” kenang Tri yang memanggil kedua tokoh itu selayaknya paman sendiri.  
Hatta dan Sjahrir tak lama berada di Digul.
Mereka datang pada Januari 1935 dan dipidahkan ke Banda Neira pada November 1935.

Para tahanan politik Digul selalu merayakan peringatan pemberontakan PKI setiap 12 November. Tri mengisahkan pada perayaan itu dia dan kawan sebayanya saat itu menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti “Dua Belas November”, “Satu Mei” dan “Enam Jam Kerja”.
“Tapi sayang, tengah kami bernyanyi-nyanyi, datanglah sepasukan baju hijau, yaitu serdadu kolonial Belanda bersama Lurah Tanah Merah Oom BS,” kata Tri merahasiakan nama lurah itu. Tanpa babibu lagi pasukan langsung membubarkan hajatan.
“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati  itu berhamburan di tanah berwarna merah kecoklat-coklatan di halaman rumah Oom Kadirun,” kenang Tri menggambarkan suasana.
Dia kembali melanjutkan kisahnya, “Anak-anak perempuan ada yang menangis karena kehilangan kuenya... Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang oleh serdadu-serdadu Belanda walaupun mereka berdua belum dewasa mereka dijebloskan dalam tahanan.”
Lukman yang dimaksud Tri adalah MH Lukman, kelak jadi tokoh PKI dan dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman. Seperti Tri, Lukman pun turut ke Digul beserta kedua orang tuanya.

Ayahya, Kyai Muklas juga tokoh dalam perlawanan terhadap Belanda di tahun 1926. Setelah insiden perayaan itu, Kyai Muklas dan beberapa keluarga lainnya dipindahkan ke Tanah Tinggi, daerah pembuangan buat golongan “die hard”.

Sedangkan BS yang dimaksud Tri kemungkinan besar adalah Budi Soetjitro (dalam buku Mengenang Sjahrir Bung Hatta menyebutnya Budisucipto, Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia menulisnya dengan ejaan Budisutjitro) tokoh PKI yang ditunjuk jadi lurah Tanah Merah dan dianggap telah tunduk pada pemerintah.

Ketika Jepang datang, Belanda bertekuk lutut tanpa perlawanan. Sebagian tahanan politik di Boven Digul dibawa ke Australia, tempat di mana pemerintah Hindia Belanda menjalankan pemerintahan pengasingannya.

Pada 1942 Jepang berhasil menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Dua tahun sebelum kedatangan Jepang, Tri bersaudara diboyong terlebih dahulu ke Jawa oleh ibunya.
“Semula ibu tak mau pulang karena di Jawa sudah tak punya apa-apa, tapi ayah mendesaknya karena sebentar lagi akan terjadi perang besar, nanti anak-anak akan sangat menderita,” kata Tri dalam memoarnya Kisah-Kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.
Pada 1944 Tri ikut pelatihan militer dan lulus sebagai perwira yang bertugas di Kalimantan Barat. Saat Jepang mulai kalah perang, Tri melarikan diri bersama puluhan anak buahnya yang bersenjata lengkap. Jepang kemudian kalah perang. Indonesia merdeka. Pada masa revolusi itu Tri kembali melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda sambil bekerja mengayuh becak di Jakarta.

Tri kemudian bekerja di Algemeene Volkscrediet Bank. Sebagai pegawai bank, dia mendapat gaji dan tunjangan yang mencukupi hidupnya.

“Kemapanan” itu hanya berlangsung beberapa saat saja, sampai kemudian, pada suatu hari di bulan Agustus 1950 dia bertemu dengan Siti Rollah, kakak perempuan MH Lukman, yang pernah tinggal bersama di Tanah Merah beberapa tahun sebelumnya. Sembari bercanda Rollah menyindir Tri yang memilih hidup sebagai pegawai bank.
“Kamu mau jadi borjuis, yah?” kata Tri meniru sindiran Rollah diamini oleh Lukman, Njoto, dan Aidit yang ada pada saat itu.
“Saya malu betul waktu itu,” kata Tri pelan.
Setelah pertemuan itu Tri keluar dari pekerjaannya. Dia memilih untuk bergabung dengan tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman dan mengelola penerbitan Bintang Merah dan Bulletin PKI .

Kegiatan redaksi Bintang Merah menumpang di pavilyun kontrakan milik Peris Perdede di Gang Kernolong 4, Jakarta Pusat. Dari bilik kontrakan itu pula Aidit, Njoto dan Lukman membangun kembali kekuatan partai yang sempat luluh lantak setelah peristiwa Madiun 1948.
Tri yang alumnus Universitas Waseda, Jepang itu bahu membahu mengerjakan semua hal. “Mulai administrasi sampai redaksi saya kerjakan semua.”
Pada masa-masa awal itu Tri mengambarkan betapa sulitnya mengelola penerbitan berkala. Untuk mencetak perlu izin dari kementrian penerangan berupa Surat Izin Pembelian Kertas (SIPK). Tanpa izin itu sukar untuk mencetak secara resmi.
“Beruntung waktu itu Pak Budiardjo yang bekerja di Departemen Perekonomian mau membantu kami untuk mendapatkan surat izin,” ujar Tri.
Budiardjo adalah suami Carmel Budiardjo, perempuan Inggris yang bekerja untuk Kementerian Luar Negeri RI. Mereka berdua ditangkap setelah pergolakan politik Oktober 1965 meletus. Carmel kini tinggal di London dan aktif mengelola lembaga nirlaba TAPOL yang memokuskan kegiatan pada advokasi tahanan politik dan penegakan hak azasi manusia.

Seiring waktu kegiatan redaksi Bintang Merah dan Bulletin PKI semakin bertambah. Apalagi Aidit, Njoto dan Lukman mulai mengadakan pembenahan di tubuh partai. Markas mereka pun berpindah dari Gang Kernolong 4 yang sempit ke sebuah rumah di Gang Lontar IX No. 18, Jakarta Pusat. Tri mengontrak sebuah kamar di jalan Salemba, tak jauh dari tempatnya beraktivitas. Hubungan Tri dengan Njoto kian akrab. Dia bahkan menawari Njoto untuk tinggal bersamanya.
“Njoto saya ajak tinggal bersama di tempat saya. Dia orang yang pintar, suka musik dan olahraga. Kami sering main bulutangkis sama-sama,” kenang Tri lirih.
Tri punya kenangan lain bersama Njoto. Pada Agustus 1951 kabinet Sukiman melancarkan razia terhadap anggota PKI. Razia tersebut bermula ketika segerombolan orang tak dikenal mengenakan simbol palu arit menyerbu kantor polisi di Tanjung Priok. Ribuan kader dan pemimpin PKI ditangkap. Sehari sebelum kejadian, Tri mengajak Njoto pindah ke rumah sebelah.
“Buat apa pindah?” kata Njoto ragu, mencoba menolak ajakan Tri. Setelah meyakinkan Njoto, Tri berhasil mengajaknya pindah kos. Mereka berdua pun selamat dari razia.
“Saya juga nggak mengira seperti itu, tapi akhirnya kami tak kena razia,” ujar Tri mengulum senyum.
Aidit juga lepas dari kejaran itu. Berdasarkan penuturan adiknya, Murad Aidit, dia bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di bilangan Tanjung Priok untuk beberapa waktu lamanya. Kabar yang sempat tersiar saat itu Aidit melarikan diri ke luar negeri. Razia tersebut menjadi salah satu rintangan berat yang dihadapi oleh mereka di saat merintis kembali kekuatan partai yang sempat terserak.

Dalam kolomnya di Majalah TEMPO edisi khusus Aidit, 1 Oktober 2007, sejarawan Hilmar Farid menulis sejak Januari 1951 Aidit beserta Njoto dan MH Lukman mengambilalih kepemimpinan partai.
“Pengambilalihan partai dari apa yang disebut "kalangan tua" oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah.
Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah,” tulis kandidat doktor National Unversity Singapore itu. Kerja keras meraka tak sia-sia. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh suara terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi dan NU.
Tri masih tetap aktif mengelola penerbitan dan sukarela berkegiatan di partai yang telah memiliki kantor sendiri di jalan Kramat Raya 81. Tapi dia tak pernah sengaja mendaftar jadi anggota PKI.
“Persyaratannya terlalu berat, saya takut melanggarnya,” kata Tri sambil menyebutkan beberapa syarat keanggotaan yang masih dia ingat betul.
Kegiatan Tri di partai dibarengi dengan pekerjaan rutinnya sebagai pegawai di Departemen Pekerjaan Umum.
“Waktu dulu gampang saja bekerja di PU sambil aktif di partai,” ujarnya.
Pada 1962 Tri berhasil diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Waseda, salah satu universitas terbaik yang ada di Jepang. Di tahun itu juga dia berangkat ke Tokyo, Jepang meninggalkan seorang istri dan anaknya yang tetap tinggal di Jakarta. Saat menempuh kuliah itulah peristiwa G.30.S 1965 meletus. Ribuan pemimpin dan kader PKI ditangkap dan dibunuh. Sahabat Tri, Njoto, pun hilang tak tentu rimbanya. Begitu pula Aidit dan Lukman. Selesai studi pada 1967, Tri memutuskan pulang ke Indonesia. Nasib baik tak berpihak padanya.

Salah seorang kerabatnya melaporkan kalau Tri, anak PKI Digul, telah pulang ke Indonesia. Polisi pun segera menangkapnya. Setelah penangkapan itu siksaan demi siksaan diterimanya. Tri dipaksa mengaku sebagai anggota PKI dengan lecutan ikan pari dan bogem mentah sampai babak belur. Tak hanya itu, interogator yang terdiri dari seorang letnan, seorang sersan RPKAD dan seorang interogator sipil menjulurkan kabel, menyetrum kemaluan Tri. Siksaan itu masih harus ditambah lagi dengan gencetan kaki meja pada ujung jempol kakinya.

Setiap kali dipaksa mengaku PKI, secara lantang dia mengakuinya.
“Ya, ayah saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mendapat pengesahan dari Departemen Sosial RI dan setiap bulan mendapat tunjangan sosial dari pemerintah. Saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia,”  tutur Tri mengisahkan penyiksaannya. Jawaban itu ditingkahi dengan pukulan bertubi-tubi dan setruman yang tanpa henti sampai Tri tak sadarkan diri.
Belakangan, saat Tri berada di pulau Buru, tahu kalau interogator sipil itu adalah tokoh organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan PKI.
“Dia anggota pimpinan pusat IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari Ketua CC PKI DN Aidit,” katanya
Pada 1971 Tri ditahan di Pulau Buru. Dia ditempatkan di Unit 15 setelah sebelumnya ditahan di Unit 14.
“Unit 15 ini, orang mengatakan tempat tokoh-tokoh pimpinan PKI, mantan anggota DPR, sarjana lulusan pelbagai universitas dalam dan luar negeri. Ya, pokoknya yang dianggap oleh penguasa tokoh-tokoh kepala batu, die hard,” kenang Tri.
Tri dibebaskan pada 20 Desember 1977.  Setibanya di Jakarta dia mendapatkan kabar kalau istrinya telah menikah lagi dan memperoleh seorang anak dari perkawinan itu.
“Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Ke mana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan istriku yang kini sudah bersuamikan orang lain atau ke mana?” tulis Tri dalam memoarnya. Setelah menemui istrinya, Tri akhirnya memilih tinggal di rumah salah satu kerabatnya.
Dia tak ingin menganggur dan pasrah. Berbekal batu asah, Tri keliling Menteng, menjajakan keahliannya mengasah pisau dan gunting. Suatu hari di jalan Pekalongan seorang perempuan memanggilnya dan meminta Tri mengasah pisau. Selesai mengasah nyonya rumah datang ke rumah dan turun dari mobilnya. Dia langsung memegang pisau yang baru diasah dan bergumam dalam bahasa Jepang, mengagumi ketajaman pisau hasil asahan Tri.
“Untuk memotong sashimi, bukan?” timpal Tri dalam bahasa Jepang. Nyonya Jepang tadi pun kaget, bagaimana bisa tukang asah pisau berbahasa Jepang.
Pertemuan itu pun membawa kemujuran buat Tri. Dia diperkenalkan kepada suami nyonya tadi, yang ternyata bekerja untuk stasiun televisi Jepang, NHK. Tri diberi pekerjaan sebagai penerjemah dan kemudian dilibatkan dalam beberapa proyek pembuatan film dokumenter NHK. Lepas dari NHK, Tri bekerja sebagai wartawan di Japan Economic Journal sembari membuka kursus bahasa Jepang di rumahnya. Kehidupan yang mulai beranjak baik mendorongnya untuk menyatukan kembali keluarganya yang tercerai berai, termasuk istrinya yang sempat bersuamikan orang lain.
  
Kini Tri melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa pun yang masih diingatnya dari masa yang telah usai. Kesadarannya akan laku manusia dalam sejarah membuat Tri Ramidjo tak pernah mendendam pada siapa pun yang menyebabkan hidupnya menderita.
“Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri,” tulis Tri, melepas semua beban yang menggelayutinya.

Senin, 11 April 2016

Mengajar Mahasiswa Jepang Pasca-Asah Pisau

Senin, 11 April 2016


ilustrasi: Fuad Hasim

Hidup Trikoyo Ramidjo bak roller coaster. Pernah bekerja di bank, dekat dengan elite penguasa, lalu dibuang ke Pulau Buru. Tak lagi dendam pada Soeharto.

Begitu bebas dari Pulau Buru pada 20 Desember 1977, Trikoyo Ramidjo mendapati kenyataan superpahit. Istrinya telah menikah lagi, anak-anak hidup terpencar. Ia pun menggelandang sebatang kara di Jakarta. Bekerja sebagai pengasah pisau dan gunting kemudian menjadi pembuka ke arah kehidupan yang lebih baik.

Alkisah, sekitar tiga bulan setelah bebas dari Buru, Tri berkeliling hingga kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di Jalan Pekalongan, seorang perempuan memanfaatkan jasanya mengasah dan memperbaiki pisau sashimi yang sompek. Begitu pisau selesai diperbaiki, si nyonya rumah datang dan mengagumi hasil pekerjaan lelaki kelahiran Grabag Mutihan, Kutoarjo, Jawa Tengah, 27 Februari 1926, itu. 
"Mochiron dekimasu," kata Tri, yang artinya “tentu saja aku bisa”.
"Di Digoel tidak ada pagar kawat berduri. Tidak ada penjagaan ketat seperti di Pulau Buru. Belanda tidak sekejam Soeharto."
Trikoyo Ramidjo

Nyonya itu kaget karena ada pengasah pisau bisa berbahasa Jepang. Dia kembali takjub saat Tri menjelaskan pernah meraih titel sarjana ekonomi dari Universitas Waseda. Si nyonya lantas memperkenalkan Tri kepada suaminya, yang bekerja untuk stasiun televisi NHK. Karena sempat dicurigai sebagai intel, Tri menjelaskan bahwa dirinya adalah mantan orang buangan di Pulau Buru.

Orang Jepang itu kemudian memberi Tri pekerjaan mengkliping koran-koran berbahasa Jepang. Juga dicarikan pekerjaan di kantor Persahabatan Indonesia-Jepang. 
"Aku juga sempat membantu pembuatan film dokumenter perjalanan Marco Polo di Sumatera," kata Tri saat ditemui detikX awal April lalu di kediamannya di kawasan Tangerang, Banten.
Kenalannya dari kalangan orang Jepang pun semakin banyak. Penghasilan otomatis bertambah berkat jadi pengajar bahasa Indonesia. Kehidupannya yang semakin membaik mendorong Tri untuk menyatukan kembali keluarganya yang tercerai-berai, termasuk istrinya, yang sempat bersuami orang lain. Tri kemudian menjadi penulis di Japan Economic Journal sampai 1985. 

"Tapi aku tidak pernah menulis atas namaku," katanya. 
Setelah itu, dia mengajar orang-orang Jepang yang akan kuliah di Universitas Indonesia.

Para tahanan politik Pulau Buru menuju lahan persawahan.
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru karya Djamal Marsudi


Salah satu muridnya, Abe, menghadiahinya komputer saat akan kembali ke Jepang. Dengan komputer itu, Tri melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa pun yang masih diingatnya dari masa yang telah usai. Juga berinteraksi sosial lewat jejaring dunia maya. Pada 2009, Tri menerbitkan buku bertajuk Kisah-kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.

***

Sebelum menjalani kerja paksa di Buru, pada Maret 1927 Tri bersama orang tuanya, Kiai Dardiri Ramidjo (Kiai Anom) dan Nyi Darini Ramidjo, pernah ikut dibuang ke Tanah Merah, Boven Digoel, selama 14 tahun. Dardiri dituding turut aktif dalam pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini masih sepupuan. Keduanya cucu Kiai Hasan Prawiro, pengikut setia Pangeran Diponegoro, yang mengobarkan Perang Jawa pada 1825-1830.

"Aku pernah satu rumah dengan Njoto, tapi tak pernah daftar anggota partai karena syaratnya berat."

"Di Digoel tidak ada pagar kawat berduri. Tidak ada penjagaan ketat seperti tahanan politik Orba (Orde Baru) Pulau Buru. Belanda tidak sekejam Soeharto," ujarnya.
Dari Digoel, Tri remaja mengikuti jejak pamannya masuk latihan perwira militer Angkatan Darat Jepang di Kalimantan Utara pada 1944. Dia termasuk lima lulusan terbaik dan mendapatkan pangkat letnan satu. Dia kemudian menjadi opsir tentara Bumiputera di Sarawak di bawah pimpinan Kolonel Uchira Ken Saburo.

Saat Jepang kalah perang, Tri kembali ke Jakarta. Pada 1950, ia pernah bekerja di Algemene Volkscredietbank dengan gaji dan tunjangan yang amat memadai. Tapi, begitu ada yang menyindirnya sebagai orang borjuis, Tri langsung keluar pada Agustus 1950.


Membuka hutan untuk lahan pertanian
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru karya Djamal Marsudi

Ia kemudian menjadi pegawai Departemen Pekerjaan Umum sambil nyambi mengelola majalah Bintang Merah pada 1950 serta buletin PKI yang didirikan D.N. Aidit, Njoto, dan M.H. Lukman. 
"Aku pernah satu rumah dengan Njoto, tapi tak pernah daftar anggota partai karena syaratnya berat," tuturnya.
Pergaulannya dengan sejumlah pentolan PKI membuat Tri bisa bertemu dengan Presiden Sukarno. Dalam sebuah kesempatan pada 1960-an, dia menyampaikan kepada Bung Karno hasratnya untuk sekolah lagi. Setelah melalui beberapa tes, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ami Priyono mengatakan akan mengirimnya ke Jepang. Tri sempat menawar ingin ke Australia atau Amerika Serikat.
"Menteri bilang, kamu kan bisa bahasa Jepang, makanya ke Jepang saja." Akhirnya pada 1962 dia masuk Waseda University, salah satu universitas terbaik di Tokyo.
Lima tahun berselang, Tri kembali ke Indonesia dan memilih tinggal di Sumatera untuk sementara. Saat ke Jakarta pada 1970, seorang kerabatnya malah melaporkan dirinya kepada aparat bahwa Tri, yang dekat dengan para tokoh PKI, sudah kembali. Sejak 1971, ia dibuang ke Pulau Buru, Maluku.

Mempersiapkan kamar untuk kedatangan keluarga.
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru karya Djamal Marsudi

Kini, pada usia 90 tahun, kondisi fisik Trikoyo Ramidjo memang sudah tak prima lagi. Apalagi sejak 10 tahun lalu ia terserang stroke, yang membuat tangan kanannya kaku. Meski begitu, ingatan dan pendengarannya masih cukup tajam.

Ketika ditanyakan apakah masih mendendam pada Soeharto, dia tersenyum, lalu berkata, "Aku sudah tidak dendam.” Dendam, ia melanjutkan, hanya akan membakar diri sendiri. Ia percaya Tuhan maha-adil. “Siapa yang menanam, dia pulalah yang akan menuainya kelak," ujarnya menyitir ucapan Pangat, kawannya dalam pengasingan di Pulau Buru.

Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim 

Sumber: Detik.Com 

Senin, 15 Juli 2013

Catatan Terserak Di Facebook Tentang Gotong Royong

Senin Kliwon, 15 Juli 2013 



Judul asli: Partai gotong royong indonesia, Itulah PKI – Partai Komunis Indonesia
Ditulis oleh : Tri Ramidjo

Sumber: Catatan facebook

Jakarta - Tulisan ini diambil dari catatan facebook sang penulis di faceboknya untuk dipahami dan tentu saja cara penyajiannya dengan cara yang tidak biasa sebagai sebuah tulisan (mungkin karena hanya sebuah catatan singkat di facebook). Inilah tulisan tersebut dan selamat memahaminya.

Ini data penting. Jadi Kyai Anom Dardiri Suromidjoyo juga pendiri PKI, dan menjabat sebagai bendahara. Lalu Kyai Anom jadi guru di pesantren Naksabandiah. Ini data menarik, krn PKI juga didirikan oleh Kyai pesantren.

"Semaun, Alimin, Darsono, Kiyahi Anom dan lainnya berhasil membentuk PKI – Partai Komunis Indonesia - dan komunis itu artinya sangat jelas yaitu GOTONG ROYONG.


Oom Semaun ditetapkan sebagai Voorzitter Hoofd Bestuur atau Ketua sedang sebagai Pening Meester (bendahara) adalah Kiyahi Anom yang biasa memegang uang di SS – staat-spoor – dan sangat dipercaya", ulas Bonnie Setiawan di Facebooknya 

Hampir semua yang membaca sejarah Indonesia pasti kenal perisiwa besar yang melanda negeri ini suatu pemberontakan besar melawan penjajah Belanda – PEMBERONTAKAN TAHUN 1926. 

Para kiyahi yang sangat mengerti ajaran Islam bukan hanya dari daerah Banten tapi juga dari daerah lainnya di seluruh Indonesia ambil bagian aktif dalam melawan kolonialis Belanda.

Alat senjata apakah itu parang, golok, tombak, keris dan bahkan sampai palu dan arit mereka jadikan alat senjata memerangi penjajah Belanda.

Kami memang cinta damai dan gak suka perang tapi kami lebih cinta kemerdekaan, kata mereka. Kemerdekaan bagi kami adalah segalanya. Buat apa jauh-jauh Belanda meluruk ke Indonesia hanya untuk merica, pala, lada dan cengkih? Bukankah membeli baik-baik bisa dilayani?

Serakah, penjajah memang serakah. Kami tidak rela menjadi ketiplak hanya untuk dijajah..

Ketika aku mau meneruskan tulisan ini terdengar suara adzan lohor dan jam di dinding menunjuk jam 12.05 wib Kamis Legi 11 Juli 2013. Sekarang ini bulan puasa tapi karena aku sakit dan jalan saja sulit aku tidak menunaikan ibadah puasa. Terserah Allah apakah aku di akhirat nanti aku akan dihukum. Aku lahir ke dunia ini juga tidak pernah minta dan mati pun aku tidak minta. Terserah Allah sajalah. Kalau aku dianggap berdosa semua apa yang kulakukan juga bukan kemauanku sendiri. Katanya semua apa pun tidak mungkin terjadi tanpa kehendak Allah. Jadi kesemuanya sangat tergantung kepada Allah bukan ?

Ada yang bilang manusia diberi otak dan otak itu bisa berfikir mana yang baik dan mana yang buruk.

Ya, benar manusia bisa berfikir dan berfikir itu juga digerakkan oleh Allah bukan? Jadi semuanya sangat tergantung kehedak Allah. 

Tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno memproklasmasikan negeri ini MERDEKA dan negri Indonesia ini menjadi Negara merdeka lepas dari penjajahan asing baik Belanda, Jepang atau lainnya. Kemerdekaan itu juga datangnya dari Allah juga bukan? 

Tidak ada segala sesuatu yang bisa datang sendiri. Benar benar benar

Otak dari Allah ini juga tidak bisa digunakan lagi setelah mati bukan, sebab otak ini juga akan memnbusuk dan jadi tanah. Jadi segalanya yang pernah terpikir di otak ini juga akan terhenti. 

Sebenarnya aku ingin tanya kepada teman akrabku bung Nyoto yang selama aku hidup ini belum pernah bertemu teman yang sepintar bung Nyoto.

Coba saja pikir baik-baik Bung Karno yang zenial itu juga menyerahkan pidato kenegaraan kepada bung Nyoto. Begitu hebatnya bung Nyoto yang dihilangkan oleh orba Suharto entah kemana dan sampai hari ini sangat sulit untuk mencari manusia seprti bung Nyoto.

Tri, kamu nglantur ya, bukankah kop title atau judul yang bung tulis itu partai gotong royong Indonesia atau PKI ?

Ya ya ya, benar benar sekali, maksudku PKI yang didirikan oleh oom Semaun di Candi Semarang pada tgl 23 Mei 1920. 

Menurut cerita ibuku waktu vergadering atau gadring yang maksudnya rapat di rumah oom Achmad Sulaiman itu sengaja di halaman para padvinder atau pandu IPO – organisasi pandu-pandu – dengan pimpinanannya oom Mardjono dan oom Munandar – kenal bukan oom Munandar yang pernah menjadi penyiar radio Australia – berlatih kepanduan agar yang sedang gadringan atau rapat di rumah itu tidak terlihat sedang berapat.

Oom-oom Semaun, Alimin, Darsono, Kiyahi Anom dan lainnya berhasil membentuk PKI – Partai Komunis Indonesia - dan komunis itu artinya sagat jelas yaitu GOTONG ROYONG.
Oom Semaun ditetapkan sebagai Voorzitter Hoofd Bestuur atau Ketua sedang sebagai Pening Meester (bendahara) adalah Kiyahi Anom yang biasa memegang uang di SS – staat-spoor – dan sangat dipercaya.

Beberapa koran atau harian penting tentu saja dikelola oleh PKI dan anggota-anggota Serikat Rakyat otomatis menjadi anggota PKI.

Dalam waktu singkat PKI anggotaanya makin bertambah dan pada tahun 1925 berhasil melakukan pemogokan buruh kereta api, melumpuhkan perjalanan kereta api sehingga pegawai penting orang Belanda terpaksa mengangkuti barang-barang kereta api menggantikan para kuli yang ambil peranan mogok.

Tentu saja mogok itu berakibat panjang

Banyak pekerja dipecat dari SS-Staat-Spoor dan Kiyahi Anom R. Dardiri Suromidjoyo tidak luput dari pemecatan itu yang lalu dari Surabaya pindah ke Semarang ikut memimpin Serikat Rakyat dan sudah itu kembali ke Redaksi Surat Kabar yang diasuh PKI dan pada kesempatan tertentu kembali ke tempat krlahirannya di Grabag Mutihan – Tunggul Rejo Kutoarjo.

Di Grabag Mutihan tentu saja punya tugas mengajar ngaji utuk para santri di Pesantren Naksabandiah.

Sebagai salah satunya orang yang hafal alqur’an termasuk guru ngaji yang dizaman sekarang ini disebut ustadz Kiyahi Anom sangat terkenal. Kiyahi Ronoredjo seorang pamannya – kakak ibunya Nyi Rugayah atau Nyi Cupu sangat meyayanginya dan mencegahnya untuk kembali lagi ke Semarang.

Suatu malam di hujan rintik-rintik di suatu rumah tempat tinggal Kiyahi Anom semuanya tidur sangat nyenyak. Kiyahi Anom juga tidur nyenyak dan dalam tidur nyenyaknya itu membaca atau mengaji alqur’an. Mengangaji itu rupanya sudah menjadi kebiasaan dan tidur pun sambil mengaji.

Konon ceritanya sudah sejak lama rumah Kiyahi Anom itu di intai oleh pencuri sebab termasuk orang berada di desa Grabag Mutihan itu.

Lama sebelumnya pencuri itu sudah menggangsir – menggali lobang dari tempat jauh yang jatuh tepat di kamar yang dituju di rumah itu.

Ketika pencuri itu akan membobol gangsiran rumah itu terdengar suara orang sedang mengaji.

Pencuri itu lalu menunggu sampai suara orang mengaji itu berhenti. Sampai subuh dan matahari hampir terbit suara orang mengaji itu tidak juga berhenti dan akhirnya pencuri itu menghentikan niatnya untuk membobol gangsirannya sebab fikirnya kalau benar jadi membobol gangsirannya pasti ketahuan penghuninya.

Siangnya rumah Kiyahi Anom kedatangan seorang tamu memakai jarik dan baju putih serta ikat kepala sangat rapi. Dengan sangat sopan tamu itu bertandang kerumah Kiyahi Anom. Tentu saja tamu terhormat itu mendapat suguhan dan tidak lupa juga disuguhkan gorengan rengginang yang rupanya menjadi kesukaan tamu itu.

Setelah berbicara panjang lebar ngalor ngidul tentang sulitnya hidup setelah perang dunia pertama pada tahun 1917 dan selanjutnya tamu itu lalu bertanya : ‘sinten ingkang wau dalu ngaos ngantos subuh’ – siapa yang tadi malam mengaji ampai subuh.

Kiyahi Anom menjawab : "Mboten wonten kok ingkang ngaos sedoyo sami tilem ngantos enjing amargi wau dalu jawah terus’ – tidak ada yang mengaji semua tidur sampai pagi karena tadi malam hujan terus.

‘Sebaiknya tidak usah berbohonglah aku dengar betul suara ngaji itu’ sambil berkata begitu tamu tu berdiri dan menginjak keras tempat gangsiran yang telah dibobolnya.

Terlihatlah lobang yang cukup besar dan kata tamu itu ‘lihatlah tadi malam aku menunggu sampai subuh dan aku sengaja menggangsir untuk mencuri kekayaan di rumah ini.

‘Betul betul sekali, memang aku biasa mengaji walaupun aku tidur nyenyak’ kata Kiyahi Anom.

‘Sakmeniko menopo ingkang panjenengan kersaken. Monggo dipun pundut’ – sekarang apa yang anda inginkan. Silahkan ambil.

Tamu itu menyembah dan minta ampun dan dengan tulus-ikhlas dan minta untuk menjadi murid pesantren itu dan berjanji tidak akan lagi menjadi pencuri.

Kiyahi Anom menerima dan sejak hari itu jadilah bekas pencuri itu murid pesantren Naksabandiah yang benar-benar tekun.
----------
Begitulah tamu maling itu lalu diterima sebagai murid dari pesantren itu.

Tentu saja murid itu sangat rajin dan benar-benar meninggalkan kebiasaannya mengambil milik orang lain.

Di tahun 1925 itu sudah beberapa surat alquran dapat dibacanya dengan benar tapi sayang setelah membaca surat ALFIL – alam tarokai…. - dia tak dapat meneruskannya dan tak dapat maju terus. 

Maka dia terkenal di pesantren itu sebagai kiyahi ‘Alam Taro’.

Dia merasa malu lalu dia membungkus sesuatu dan bungkusan itu ditaruhnya dan berkata ‘sebelum aku pulang bungkusan itu jangan diambil, nanti aku sendiri yang akan mengambilnya’.

Kiyahi yang terkenal dengan nama kiyahi ‘Alah Taro’ itu lalu pamitan pergi entah kemana perginya dia tidak pernah mengatakan kepada siapa pun.

Tahun 1926 aku yang diberi nama TRIKOYO ini dilahirkan. Aku lahir pada tanggal 27 Februari 1926 dan katanya lahirku belum cukup umur untuk dilahirkan. Aku lahir cuma sebesr botol bir tapi tangisku cukup keras seperti bayi biasa.

Ibu bidan dan ayahku mengasuhku cukup baik dan ayahku dengan penuh kasih sayang menyelimutiku dengan air panas dalam botol bir sehingga aku tumbuh seperti bayi biasa.

Bulan November 1926 pun tiba dan aku sudah berumur sembilan bulan dan seperti bayi normal.

Tanggal 12 november 1926 terjadi aksi besar pemberontakan rakyat melawan penjajah Belanda. Masih ingat bukan aksi besar rakyat yang mengakibatkan banyak korban itu?
Apa ingin mendengar dan menyanyi lagu 12 November itu?

Baiklah aku tuliskan di bawah ini sebab lagu itu juga bisa menggugah semangat juang bagi yang masih ingin berjuang mengubah negeri yang bobrok ini menjadi negeri yang baik.

LAGU DUA BELAS NOVEMBER
Oleh : Tri Ramidjo.

I.
Dua belas November hari peringatan
Perlawanan kita pertama-tama
Dua belas november hari peringatan
Pemberontakan kita di Indonesia
Ya ya ya itulah yang akan 
Mendatangkan dunia kemerdekaan
Dari itu bersiaplah segera
Hayo rapat kawan kita semua
Hancurkanlah pengkhianat dunia
Hayo rapat kawan kita semua.

II.
Berpuluh kawan di tiang gantungan
Beratus-ratus melayang jiwanya
Laki dan istri dalam buangan
Beribu-ribu di dalam penjara
Ya ya ya itulah yang akan
Mendatangkan dunia kemerdekaan
Dari itu bersiaplah segera
Hayo rapat kawan kita semua
Hancurkanlah pengkhianat dunia
Hayo rapat kawan kita semua.

--------------14.07.2014-------------

12 N O V E M B E R
1 = D - 2/4 - Mars
Bersemangat dan
pantang menyerah
Musik : NN
Teks: Bintang Merah; 15 Nov. 1950
Notasi ulang: Lilik D
12 November 2011
||: 5 3 . 2 | 1 5 | 6 . 7 1 . 6 | 5 . |
I : Dua b'las No – vem - ber ha - ri p'ringa - tan
II : Ber - pu - luh ka - wan di tiang gan- tu - ngan
| 6 . 7 1 . 6 | 5 1 | 2 .1 2 . 3 | 2 . |
I : pembron–ta - kan ki - ta di In – do -ne - sia
II: be - ra - tus ra - tus me - layang ji -wa - nya
| 5 3 . 2 | 1 5 | 6 . 7 1 . 2 | 3 . |
I : Dua b'las No - vem - ber ha ri p'ringa - tan
II: La - ki dan is - tri dalam bu – a - ngan
| 4 . 4 4 4 | 3 1 | 2 .2 7 7 | 1 . |
I : per-la - wa-nan ki - ta per ta – ma ta - ma
II: be - ri – bu – ri - bu di dalam penja - ra
|| 2 . 2 | 2 7 .1 | 2 2 . 3 | 2 . |
Ya , ya , ya , i – tu - lah yang a - kan
| 1 7 .6 | 1 7 .6 | 2 1 7 6 | 5 5 |
men - datang – kan dunia kemer– de-ka - an Da -
| 3 . 2 | 1 . 7 1 .6 | 5 3 .4 | 5 0 5 |
ri i - tu ber –siap - lah sege - ra Ha -
| 6 . 6 | 2 .1 7 6 | 5 6 .7 | 1 . 1 |
yo ra - pat ka-wan ki - ta semu - a Han -
| 4 . 3 | 2 .1 7 6 | 5 3 .4 | 5 0 5 |
cur kan - lah pengkhia - nat duni - a Ha -
| 6 . 6 | 2 .1 7 6 | 5 1 .1 | 1 0 :| 1 0 ||
yo, ra - pat ka-wan ki - ta semu - a a!
Not ditulis tebal => nada naik satu oktaf.
------------------

Pemberontakan rakyat melawan penjajah Belanda itu sungguh-sungguh bersifat nasional dan sampai kekota-kota kecil pun rakyat ikut berontak melawan penjajah Belanda. Seluruh pesantren yang anti penjajah Belanda disapu bersih tak ketinggalan. Apa sebab kukatakan tak ketinggalan? Sebab di negri ini masih ada cecunguk-cecugguk atau coro-coro yang mau menjual rakyatnya sendiri bagi penjajah Belanda.

Akhirnya aksi pembersihan penjajah Belanda di desa Kiyahi Anom dan tentu saja berpuluh orang serdau KNIL mendatangi dan menggeledah pesantren NAKSABADIH.

Beberapa serdadu menginjak-injak tangga atau undak-undakan mesjid.

Tentu saja nenek Nyi Rugayah atau Nyi Cupu ibu Kiyahi Anom sangat marah dan berteriak : ‘ eee londo kurang toto, kowe kabeh ora keno ngidak mesjid iki. Kowe kabeh dudu wong islam lan ngidak mesjid ini kudu wudhu disik lan ora keno nganggo sepatu. Kabeh mudun, iki dudu omahmu – mulih muluh mulih, murang toto’ - eee belanda gak tahu aturan, kamu semua bukan orang Islam tidak boleh menginjak mesjid ini harus wudhu dulu tidak boleh pakai sepatu. Semua turun, ini bukan rumahmu – pulang pulang pulang gak tahu aturan. –

Serdadu KNIL itu pada turun dan kembali ke barisannya. Kiyahi Anom dibawa mereka ke Semarang lalu di masukkan ke CENTRALE GEVANGENIS – penjara untuk orang Eropa – 

Tentu saja istri dan anak-anak Kiyahi Anom menyusul ke Semarang dan ahirnya mereka semua dengan kapal perang KRUISER JAVA di asingkan ke Tanah Merah Boven Digul. 

= Ingin mengikuti lanjutan ceritanya? Baca saja buku cerpen yang ditulis Tri Ramidjo dengan judul “KISAH-KISAH DARI TANAH MERAH - CERITA DIGUL CERITA BURU” yang diterbikan oleh : CV Ultimus – Jl. Rangkasbitung 2A, Bandung. Tilp. Faks (022) 7090899, 7217724.


Tangerang Senin Kliwon, 15 Juli 2013 

sumber: MerdekaFiles 

Minggu, 12 Februari 2012

Batu-Asah dari Benua Australia

Cerpen Kompas: Martin Aleida 
"Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat".

Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.
”Mas Koyo,” orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. ”Saya Kiswoyo, masih ada hubungan sedarah dengan Mbak Uci,” katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. ”Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,” sambungnya.
Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi membuat hatiku tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku sangsi, beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah melihat bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu.
Kupikir aku sedang ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti bimbang merengkuh tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini. Gemetar buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun kota ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak banyak berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah semen, separuh papan.
Agak repot menyambut kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding yang satu, dan menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke bawah. Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas. Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? Di Buru, aku dan kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa.
Hari kedua, dan ini pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan di bendul pintu rumah tumpanganku itu.
”Nduk,” bujukku lembut, ”maukah kau membantuku?” Dia merunduk. ”Bapak harus punya penghasilan. Sebelum kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan,” kataku pula. ”Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak lupa. Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke Digul sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah lagi licin, halus.”
Hatiku gemas tak tahan menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul.
”Kenapa lama sekali, Nduk?”
”Sungguh Ibu tak pernah menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami mencari-cari. Begitu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang rumah tetangga,” katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima kasih. Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: ”Sampaikan salam dan rasa syukurku kepada Ibu.”
Kutimang kuelus permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar seperti bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo. Kulunasi semua makanan, minuman, dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan batu-asah warisan itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan langkah gontai seperti layang-layang putus tali teraju. ”Asah gunting! Asah pisau! Batu-asah dari Australia!” Begitulah teriakanku menjajakan. Hari pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan perkakas mereka.
Lancar seperti mimpi dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan tak ada hari tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah perumahan berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit putih, bermata sipit, dalam bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah pembantu rumah tangga. Mereka menyodorkan sebilah pisau.
”Ini pasti pisau sashimi.”
”Wow… Abang pintar sekari, ya,” sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya.
Belum selesai kuasah, pembantu itu menimpali: ”Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya.”
”Baik, tapi tak bisa buru-buru. Makan waktu agak lama.”
”Tak apa-apa.”
Begitu pisau yang sudah tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di belakangku. Bergaun putih, seorang nyonya menguakkan pintu.
”Ini Nyonya, pisaunya sudah bagus. Tajam sekali,” pembantu itu pamer kepada tuannya. Sang Nyonya menilik pisau itu, dan katanya: ”Kore wa yoku kireru. Yokatta [Ini tajam sekali. Syukurlah],” katanya berceloteh, kegirangan.
Sashimi wo kiru tame desu, ne [Untuk memotong sashimi, kan?]?” aku memotong.
Hai, sashimi no tame desu. Nihongo dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya].”
Hai, dekimasu,” cepat kusahut.
”Belajar di mana?”
”Di Universitas Waseda, di Jepang.” Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke atas.
”Ha?!” Dia bergumam. Matanya mau menelan kepalaku. ”Waseda?!” Sang Nyonya memperhatikan ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. ”Tunggu, ya….” Tergopoh dia masuk ke rumah, diiringi anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku.
Laki-laki berkacamata itu menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang peramah, suka bercanda. Sapanya: ”Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang. Apa kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka karena diundang pemerintah. Kamu siapa?” Kedua tangannya tetap menyangga pinggang.
”Saya baru pulang dari Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas,” tukasku, lagi-lagi dalam bahasa Jepang.
”Pulau Buru?!” Lantas dia menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya. Dijangkaunya sebuah file dan meletakkan dua foto di daun meja. ”Kenal?” tanyanya. ”Ini siapa?”
”Profesor Doktor Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan,” jawabku. ”Yang ini,” lanjutku, ”yang pakai caping ini, saya.” Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan tampangku.
”Bahasa Jepang Saudara bagus. Belajar di mana? Di Buru?”
Aku terkekeh. ”Tidak. Di Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master.”
”Lulus dari Waseda? Ujian masuknya saja begitu susah,” katanya menggurui dirinya sendiri. Kuceritakan, aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang tahun 1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta. ”Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena jadi wartawan itulah maka saya dibuang ke Buru,” kataku. Dia nyengir.
”Menyesal sekali, saya sudah punya sekretaris merangkap penerjemah,” katanya. Seraya menghela napas dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya. ”Tapi, kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu,” ucapnya menggenapkan harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: ”Besok mulai masuk.”
Belasan tahun dizalimi. Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik kecemburuan aku tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya ke mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir, dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur Batak, yang seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya, meneruskan pembangunan Proyek Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang kedua. Jepang ini menjadi-jadi. Disuruhnya aku masuk setiap hari.
Nasibku semulus batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah yang layak. Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan ibadah haji. Aih…. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai suami yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun terakhir dia terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya. Kutimpakan seluruh peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang itu berjanji mau mengajaknya ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun. Lantaran malu, barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah.
Kuurus segala kebutuhan dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia sendiri sudah khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah.
Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. ”Uci, ingat kuplet ketiga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi ’Indonesia tanah yang suci…’. Ya, Indonesia tanah yang suci…. Kalau kau melempar jumroh di Tanah Suci, ingatlah Tanah Air kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau hunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku….”
”Kang Mas…,” istriku manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan mengguntur ke langit. Dia mengecup tanganku.
(Untuk Trikoyo Tri Ramidjo, dari siapa ilham kisah ini bermula)
Copast: CerpenKompas