Senin, 11 April 2016

Mengajar Mahasiswa Jepang Pasca-Asah Pisau

Senin, 11 April 2016


ilustrasi: Fuad Hasim

Hidup Trikoyo Ramidjo bak roller coaster. Pernah bekerja di bank, dekat dengan elite penguasa, lalu dibuang ke Pulau Buru. Tak lagi dendam pada Soeharto.

Begitu bebas dari Pulau Buru pada 20 Desember 1977, Trikoyo Ramidjo mendapati kenyataan superpahit. Istrinya telah menikah lagi, anak-anak hidup terpencar. Ia pun menggelandang sebatang kara di Jakarta. Bekerja sebagai pengasah pisau dan gunting kemudian menjadi pembuka ke arah kehidupan yang lebih baik.

Alkisah, sekitar tiga bulan setelah bebas dari Buru, Tri berkeliling hingga kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di Jalan Pekalongan, seorang perempuan memanfaatkan jasanya mengasah dan memperbaiki pisau sashimi yang sompek. Begitu pisau selesai diperbaiki, si nyonya rumah datang dan mengagumi hasil pekerjaan lelaki kelahiran Grabag Mutihan, Kutoarjo, Jawa Tengah, 27 Februari 1926, itu. 
"Mochiron dekimasu," kata Tri, yang artinya “tentu saja aku bisa”.
"Di Digoel tidak ada pagar kawat berduri. Tidak ada penjagaan ketat seperti di Pulau Buru. Belanda tidak sekejam Soeharto."
Trikoyo Ramidjo

Nyonya itu kaget karena ada pengasah pisau bisa berbahasa Jepang. Dia kembali takjub saat Tri menjelaskan pernah meraih titel sarjana ekonomi dari Universitas Waseda. Si nyonya lantas memperkenalkan Tri kepada suaminya, yang bekerja untuk stasiun televisi NHK. Karena sempat dicurigai sebagai intel, Tri menjelaskan bahwa dirinya adalah mantan orang buangan di Pulau Buru.

Orang Jepang itu kemudian memberi Tri pekerjaan mengkliping koran-koran berbahasa Jepang. Juga dicarikan pekerjaan di kantor Persahabatan Indonesia-Jepang. 
"Aku juga sempat membantu pembuatan film dokumenter perjalanan Marco Polo di Sumatera," kata Tri saat ditemui detikX awal April lalu di kediamannya di kawasan Tangerang, Banten.
Kenalannya dari kalangan orang Jepang pun semakin banyak. Penghasilan otomatis bertambah berkat jadi pengajar bahasa Indonesia. Kehidupannya yang semakin membaik mendorong Tri untuk menyatukan kembali keluarganya yang tercerai-berai, termasuk istrinya, yang sempat bersuami orang lain. Tri kemudian menjadi penulis di Japan Economic Journal sampai 1985. 

"Tapi aku tidak pernah menulis atas namaku," katanya. 
Setelah itu, dia mengajar orang-orang Jepang yang akan kuliah di Universitas Indonesia.

Para tahanan politik Pulau Buru menuju lahan persawahan.
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru karya Djamal Marsudi


Salah satu muridnya, Abe, menghadiahinya komputer saat akan kembali ke Jepang. Dengan komputer itu, Tri melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa pun yang masih diingatnya dari masa yang telah usai. Juga berinteraksi sosial lewat jejaring dunia maya. Pada 2009, Tri menerbitkan buku bertajuk Kisah-kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.

***

Sebelum menjalani kerja paksa di Buru, pada Maret 1927 Tri bersama orang tuanya, Kiai Dardiri Ramidjo (Kiai Anom) dan Nyi Darini Ramidjo, pernah ikut dibuang ke Tanah Merah, Boven Digoel, selama 14 tahun. Dardiri dituding turut aktif dalam pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini masih sepupuan. Keduanya cucu Kiai Hasan Prawiro, pengikut setia Pangeran Diponegoro, yang mengobarkan Perang Jawa pada 1825-1830.

"Aku pernah satu rumah dengan Njoto, tapi tak pernah daftar anggota partai karena syaratnya berat."

"Di Digoel tidak ada pagar kawat berduri. Tidak ada penjagaan ketat seperti tahanan politik Orba (Orde Baru) Pulau Buru. Belanda tidak sekejam Soeharto," ujarnya.
Dari Digoel, Tri remaja mengikuti jejak pamannya masuk latihan perwira militer Angkatan Darat Jepang di Kalimantan Utara pada 1944. Dia termasuk lima lulusan terbaik dan mendapatkan pangkat letnan satu. Dia kemudian menjadi opsir tentara Bumiputera di Sarawak di bawah pimpinan Kolonel Uchira Ken Saburo.

Saat Jepang kalah perang, Tri kembali ke Jakarta. Pada 1950, ia pernah bekerja di Algemene Volkscredietbank dengan gaji dan tunjangan yang amat memadai. Tapi, begitu ada yang menyindirnya sebagai orang borjuis, Tri langsung keluar pada Agustus 1950.


Membuka hutan untuk lahan pertanian
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru karya Djamal Marsudi

Ia kemudian menjadi pegawai Departemen Pekerjaan Umum sambil nyambi mengelola majalah Bintang Merah pada 1950 serta buletin PKI yang didirikan D.N. Aidit, Njoto, dan M.H. Lukman. 
"Aku pernah satu rumah dengan Njoto, tapi tak pernah daftar anggota partai karena syaratnya berat," tuturnya.
Pergaulannya dengan sejumlah pentolan PKI membuat Tri bisa bertemu dengan Presiden Sukarno. Dalam sebuah kesempatan pada 1960-an, dia menyampaikan kepada Bung Karno hasratnya untuk sekolah lagi. Setelah melalui beberapa tes, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ami Priyono mengatakan akan mengirimnya ke Jepang. Tri sempat menawar ingin ke Australia atau Amerika Serikat.
"Menteri bilang, kamu kan bisa bahasa Jepang, makanya ke Jepang saja." Akhirnya pada 1962 dia masuk Waseda University, salah satu universitas terbaik di Tokyo.
Lima tahun berselang, Tri kembali ke Indonesia dan memilih tinggal di Sumatera untuk sementara. Saat ke Jakarta pada 1970, seorang kerabatnya malah melaporkan dirinya kepada aparat bahwa Tri, yang dekat dengan para tokoh PKI, sudah kembali. Sejak 1971, ia dibuang ke Pulau Buru, Maluku.

Mempersiapkan kamar untuk kedatangan keluarga.
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru karya Djamal Marsudi

Kini, pada usia 90 tahun, kondisi fisik Trikoyo Ramidjo memang sudah tak prima lagi. Apalagi sejak 10 tahun lalu ia terserang stroke, yang membuat tangan kanannya kaku. Meski begitu, ingatan dan pendengarannya masih cukup tajam.

Ketika ditanyakan apakah masih mendendam pada Soeharto, dia tersenyum, lalu berkata, "Aku sudah tidak dendam.” Dendam, ia melanjutkan, hanya akan membakar diri sendiri. Ia percaya Tuhan maha-adil. “Siapa yang menanam, dia pulalah yang akan menuainya kelak," ujarnya menyitir ucapan Pangat, kawannya dalam pengasingan di Pulau Buru.

Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim 

Sumber: Detik.Com 

0 komentar:

Posting Komentar