28.04.2016
Presiden Jokowi menginstruksikan penyelidikan kuburan massal anti-komunis pada tahun 1965-1966 yang digerakkan tentara dan didukung oleh kelompok-kelompok agama. Masih banyak yang skepsis, upaya ini akan berlanjut.
Presiden Joko Widodo diberitakan sudah menginstruksikan penyelidikan dan pendataan kuburan massal korban pembunuhan berantai anti komunis sekitar 1965-1966. Langkah ini dilakukan setelah pemerintah Indonesia menyelenggarakan Simposium 1965, yang untuk pertama kalinya menghadirkan wakil-wakil dari keluarga korban.
Debat soal kuburan massal ini dipicu oleh pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Luhut Pandjaitan. Luhut pada simposium itu menegaskan lagi, pemerintah tidak akan meminta maaf soal rangkaian pembunuhan dengan korban sedikitnya 500.000 orang itu. Kemudian dengan provokatif Luhut meminta ditunjukkan bukt-buktii kalau ada pembunuhanh dan kuburan massal.
Haris Azhar dari kelompok advokasi Kontras mengatakan kepada kantor berita AP hari Rabu (27/04), dia sendiri terlibat dalam pemetaan 16 situs pemakaman massal hampir satu dekade lalu, terutama di Jawa Tengah. Dan masih ada informasi tentang ratusan situs lain yang tersebar di Bali dan Sulawesi.
"Dari sisi kami, kami memutuskan untuk tidak memberikan kepada mereka, jika tidak ada agenda yang jelas tentang apa yang akan mereka lakukan dengan data-data itu," kata dia.
Rangkaian pembunuhan anti komunis dimulai Oktober 1965, tak lama pembunuhan beberapa jendral militer berhalauan kanan. Kubu militer di bawah pimpinan Suharto kemudian melakukan aksi pembalasan seluas-luasnya.
Suharto, yang saat itu tidak terlalu dikenal, kemudian berhasil naik ke tampuk kekuasaan dan memerintah dengan rejim otoriter selama lebih tigapuluh tahun, dengan bantuan negara-negara Barat yang anti komunis. Pilar-pilar pemerintahan tangan besinya terutama adalah kelompok militer, Golkar, dan kelompok-kelompok agama yang loyal kepadanya.
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diperkirakan memiliki sekitar 3 juta anggota dan simpatisan, diberangus dan para anggotanya dikejar, dibunuh, disiksa dan ditahan tanpa proses pengadilan. Keluarga mereka mengalami penindasan selama puluhan tahun. Jutaan keluarga dan keturunan anggota PKI dan simpatisannya menghadapi represi, stigma sosial dan diskriminasi.
Beberapa tahun lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah melakukan penyelidikan tentang kejahatan itu dan merampungkan laporannya tahun 2012. Dalam rekomendasinya, Komnas HAM menyebutkan telah terjadi pembunuhan dan kekerasan pada "skala yang sangat luas" dan menyerukan penuntutanpada pelaku masih hidup.
Meskipun ada skeptisisme pada terobosan baru yang dilakukan pemerintahan Jokowi, penyelenggaraan Simposium 1965 di Jakarta juga disambut sebagai suatu langkah awal ke arah yang benar.
Ini adalah langkah yang sangat penting bagi masa depan Indonesia," kata Andreas Harsono, peneliti untuk Human Rights Watch (HRW). "Ini baru perjuangan pembukaan."
Bedjo Untung, yang selamat dari pembantaian 1965 dan kini mengepalai Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65), menyatakan bersedia menyerahkan informasi yang diperlukan kepada pemerintah.
"Kita sudah punya bukti dan catatan dari kuburan massal di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera," kata Bedjo. "Kami akan menunjukkan bukti bahwa kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan telah terjadi tahun 1965."
hp/ap (ap, rtr, afp)
http://www.dw.com/id/indonesia-serius-akan-selidiki-kekejaman-anti-komunis-1965-1966/a-19222045
0 komentar:
Posting Komentar