Jumat, 29 April 2016 | 22:09 WIB
Kerua Setara Institute Hendardi di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden, Veteran, Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2016)
JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965.
Menurut Ketua Setara Institute Hendardi, perintah tersebut bisa dimaknai sebagai ikhtiar presiden untuk memulai kerja pengungkapan kebenaran.
Namun, dia juga memandang hal itu sekaligus menjadi kritik keras kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung bahwa selama ini dua institusi negara tersebut tidak pernah menyajikan data mengenai kuburan massal korban 1965 kepada Presiden.
"Perintah itu seharusnya juga dilihat sebagai kritik kepada Komnas HAM dan Jaksa Agung. Padahal data itu ada dan tersebar di banyak tempat," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Jumat (29/4/2016).
Lebih lanjut, ia mengatakan, seharusnya pemerintah tidak perlu meminta pihak lain di luar pemerintah untuk menunjukkan data-data mengenai keberadaan kuburan massal.
Menurut Hendardi, upaya mencari dan memastikan adanya kuburan massal merupakan kewajiban pemerintah sekaligus menunjukkan keseriusan mereka dalam proses pengungkapan kebenaran.
Selain itu, Hendardi meminta Pemerintah segera menyusun langkah-langkah konkret sehingga data dari berbagai sumber bisa dihimpun, divalidasi, dan menghasilkan rekomendasi strategis.
Pasalnya, beberapa organisasi masyarakat sipil sudah menyatakan siap untuk menyerahkan data-data valid terkait kuburan massal korban Tragedi 1965.
"Upaya mencari data itu merupakan kewajiban Pemerintah," ungkap dia.
Pada kesempatan berbeda, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar mengungkap rasa herannya atas pernyataan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan bahwa pemerintah belum pernah menerima data mengenai lokasi kuburan massal korban Tragedi 1965.
Padahal, menurut Haris, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah pernah melakukan penyelidikan terkait Tragedi 1965.
Dalam hasil penyelidikan itu dinyatakan pada tahun 1965 telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan yang dilakukan secara sistematis dan meluas serta menimbulkan jumlah korban yang massif.
Oleh karena itu, Haris mendesak Komnas HAM untuk mengungkap fakta atau temuan terkait lokasi kuburan massal dan menyerahkannya ke Pemerintah.
"Kenapa Komnas HAM diam saja soal ini? Seharusnya mereka membuka data-data terkait kuburan massal yang pernah mereka selidiki," ujar Haris saat dihubungi, Selasa (26/4/2016).
Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Roichatul Aswidah mengakui bahwa memang benar telah terjadi pembunuhan massal sekitar tahun 1965-1966 dan menyisakan beberapa titik lokasi kuburan massal di beberapa daerah seluruh Indonesia.
Menurut penuturan Roichatul, data-data mengenai kuburan massal tersebut telah tercantum dalam berkas hasil penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat tahun 1965-1966.
Proses penyelidikan telah dirampungkan oleh Komnas HAM pada tahun 2012 dan berkasnya pun sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan Penyidikan.
"Kalau soal kuburan massal kami sudah pernah mencantumkan hal itu dalam berkas penyelidikan. Berkasnya pun sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Prosesnya masih berhenti di sana," ujar Roichatul saat dihubungi Kompas.com, Selasa malam (26/4/2016).
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Sabrina Asril |
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/29/22092271/Komnas.HAM.dan.Kejagung.Dituding.Sembunyikan.Data.Kuburan.Massal.Korban.1965
0 komentar:
Posting Komentar