YOGYA-Simposium Nasional Tragedi 1965 yang
digelar pada tanggal 18-19 April 2016 menyedot perhatian banyak pihak. Sebab
untuk pertama kalinya negara menyelenggarakan forum resmi yang membahas
persoalan 1965 dengan menghadirkan perwakilan korban, pelaku, akademisi,
para ahli dan pegiat HAM. Meskipun di dalamnya, beberapa pihak menyatakan bahwa negara tidak
perlu meminta maaf untuk kasus 1965.
Diskusi yang diselenggarakan oleh MAP
Corner pada 26 April 2016 dengan tema “Simposium Nasional 1965 dan Penyelesaian
Pelanggaran HAM Masa Lalu” dimaksudkan untuk melihat prospek penyelesaian
pelanggaran HAM dan bagaimana penyintas melihat Simposium Nasional tersebut. Diskusi
ini mampu menyedot perhatian mahasiswa, masyarakat umum dan perwakilan Pemuda
Pancasila.
Hadir Bu Christina Sumarmiyati yang akrab
disapa dengan Bu Mamiek, sebagai perwakilan penyintas, menceritakan kisah
kelamnya selama menjadi tahanan politik dari penjara Yogyakarta, Plentungan
hingga penjara Bulu. Ia dipenjara hingga tahun 1987 tanpa tahu apa kesalahannya
dan harus mengalami penyiksaan fisik maupun psikis. Berlangsungnya simposium
nasional memberikan setitik harapan bagi Bu Mamiek untuk mendapatkan keadilan
dan membersihkan namanya dari stigma buruk.
Bagi Pak Budiawan, Dosen Kajian Budaya dan
Media Pasca Sarjana UGM, tidak ada hal baru, terutama dalam materi, yang muncul
dalam Simposium Nasional yang digelar di Jakarta. Sebab apa yang disampaikan
oleh berbagai pihak yang hadir dalam simposium sudah bisa diprediksikan. Namun,
simposium ini menjadi awal yang baik karena untuk pertama kalinya negara
memfasilitasi pembahasan tragedi 1965. Oleh sebab itu, simposium ini menjadi
titik tumpu dalam melanjutkan penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu.
Bentuk konkrit dari penyelesaian
pelanggaran HAM 65 salah satunya yaitu negara harus meminta maaf terhadap
korban pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis. Pertanyaannya adalah
apakah negara yang direpresentasikan oleh pemerintah Jokowi sekarang
berkewajiban minta maaf sebagaimana dilontarkan oleh Gunawan Muhammad di
catatan pinggirnya?
Dalam diskusi tersebut, Budiawan membedakan konsep negara,
pemerintah dan bangsa. Negara adalah suatu institusi politik yang durasinya
lama. Sedangkan pemerintah hanya panitia dari negara, dimana orangnya bisa
berganti-ganti dan durasi pendek. Sementara itu bangsa dipahami sebagai
komunitas yang merupakan alasan adanya negara. Keberadaan negara tanpa bangsa
tidaklah mungkin, namun bangsa tanpa negara masih mungkin meski lemah
kedudukannya. Dari sini dapat kita pahami bahwa negara tetap berkewajiban minta
maaf atas tragedi kemanusiaan dan pembohongan sejarah yang difasilitasi oleh
negara.
Penyelesaian pelanggaran HAM secara hukum
pun harus dilakukan melalui pengadilan ad
hoc. Tujuan dari pengadilan ini bukan untuk menyudutkan individu yang satu
dengan yang lain. Akan tetapi lebih kepada pengungkapan kebenaran tentang apa
yang terjadi seputaran tahun 1965. Menurut Budiawan, bentuk lanjutan dari
proses rekonsiliasi yaitu harus ada undang-undang rekonsiliasi yang sejatinya
pernah dibuat oleh pemerintah pada tahun 2004, namun dianulir oleh Mahkamah
Konstitusi. [d01]
0 komentar:
Posting Komentar