Kamis, 21/04/2016 10:04 WIB
Buru, CNN Indonesia -- Namaku Lukas Tumiso, biasa dipanggil singkat, So saja. Namun sesama orang Jawa Timur kerap memanggilku Cak So.
Sekarang aku manusia bebas. Kebebasan ini terasa sejak 37 tahun silam. Saat kapal laut membawaku berlayar menjauhi dermaga di Pelabuhan Namlea, Pulau Buru. Sebuah pulau tempat aku dan ribuan kawan pernah tinggal dan dicoba diasingkan selama satu dekade.
Ya, aku adalah satu dari belasan ribu tahanan yang diasingkan di salah satu pulau terbesar di Kepulauan Maluku itu. Dulu, serdadu bersenjata yang mengawalku saat itu menyudutkan aku dan menuduhku seorang anggota PKI. Aku dituding jadi bagian Partai Komunis Indonesia, yang dituduh membunuh para jenderal Angkatan Darat. Padahal aku cuma seorang guru di Surabaya, kota asalku.
Sekarang aku manusia bebas. Kebebasan ini terasa sejak 37 tahun silam. Saat kapal laut membawaku berlayar menjauhi dermaga di Pelabuhan Namlea, Pulau Buru. Sebuah pulau tempat aku dan ribuan kawan pernah tinggal dan dicoba diasingkan selama satu dekade.
Ya, aku adalah satu dari belasan ribu tahanan yang diasingkan di salah satu pulau terbesar di Kepulauan Maluku itu. Dulu, serdadu bersenjata yang mengawalku saat itu menyudutkan aku dan menuduhku seorang anggota PKI. Aku dituding jadi bagian Partai Komunis Indonesia, yang dituduh membunuh para jenderal Angkatan Darat. Padahal aku cuma seorang guru di Surabaya, kota asalku.
Rumah-rumah penduduk disekitar pelabuhan baru Namlea, Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
Setelah 37 tahun meninggalkan Buru, kini untuk pertama kalinya aku kembali. Bukan untuk mengenang luka dendam, hanya untuk melongok kembali satu bagian perjalanan hidup di pulau ini.
Aku kembali ke Buru, tiga pekan lalu, sebagai manusia bebas. Jika dulu kapal reyot milik Angkatan Darat, ADRI XV, yang membawaku. Kini aku melalui jalur udara, menggunakan pesawat kecil berdaya tampung cuma 17 orang.
Dari jendela pesawat Twin Otter DHC 6, pesawat yang membawaku dari Kota Ambon, aku bisa melihat, Buru sekarang jauh berbeda dengan Buru yang dulu kutinggalkan.
Rumah beratap seng terlihat di mana-mana. Padahal seng adalah salah satu simbol kemewahan kala zamanku dulu semasa menjadi tahanan politik. Atap seng dan dinding papan cuma milik pejabat dan petinggi militer.
Bukan cuma seng, rumah dengan atap genteng juga sudah banyak terlihat di Namlea, yang kini jadi ibu kota Kabupaten Buru. Dulu kebanyakan rumah beratap daun sagu kering, dan pelepahnya yang bernama gaba-gaba dijadikan dinding rumah.
Sudah banyak yang berubah di Namlea, bukan cuma rumah penduduknya. Jalan sudah mulus beraspal dan lebar. Namun aku masih inget betul jalanan di Namlea ini. Aku masih ingat detail persimpangan, lokasi-lokasi bangunan, termasuk tanjakan di mana dulu truk yang membawaku dan puluhan tapol lainnya mogok.
Kini aku di Buru. Maka ikuti cerita versiku.
Titik Pendaratan Pertama
Dermaga Lama, demikian warga Namlea menyebutnya. Dermaga kayu tua tempat biasa kapal nelayan bersandar ini aku yakini sebagai tempatku dulu pertama kali menjejakan kaki di Pulau Buru, Aku ingat, 27 Agustus 1969, tepat.
Untuk menguatkan keyakinanku, aku mencari warung ibu Sum. Di warungnya, dulu kami para tapol biasa makan saat “ditugaskan” ke Namlea dari barak-barak tahanan kami di tengah hutan. Bukan uang alat tukar kami untuk mendapat makanan di warung perempuan baik asal Surabaya itu. Tapi hasil kebun yang kami curi dari lahan yang kami tanami sendiri.
Aku kembali ke Buru, tiga pekan lalu, sebagai manusia bebas. Jika dulu kapal reyot milik Angkatan Darat, ADRI XV, yang membawaku. Kini aku melalui jalur udara, menggunakan pesawat kecil berdaya tampung cuma 17 orang.
Dari jendela pesawat Twin Otter DHC 6, pesawat yang membawaku dari Kota Ambon, aku bisa melihat, Buru sekarang jauh berbeda dengan Buru yang dulu kutinggalkan.
Rumah beratap seng terlihat di mana-mana. Padahal seng adalah salah satu simbol kemewahan kala zamanku dulu semasa menjadi tahanan politik. Atap seng dan dinding papan cuma milik pejabat dan petinggi militer.
Bukan cuma seng, rumah dengan atap genteng juga sudah banyak terlihat di Namlea, yang kini jadi ibu kota Kabupaten Buru. Dulu kebanyakan rumah beratap daun sagu kering, dan pelepahnya yang bernama gaba-gaba dijadikan dinding rumah.
Sudah banyak yang berubah di Namlea, bukan cuma rumah penduduknya. Jalan sudah mulus beraspal dan lebar. Namun aku masih inget betul jalanan di Namlea ini. Aku masih ingat detail persimpangan, lokasi-lokasi bangunan, termasuk tanjakan di mana dulu truk yang membawaku dan puluhan tapol lainnya mogok.
Kini aku di Buru. Maka ikuti cerita versiku.
Titik Pendaratan Pertama
Dermaga Lama, demikian warga Namlea menyebutnya. Dermaga kayu tua tempat biasa kapal nelayan bersandar ini aku yakini sebagai tempatku dulu pertama kali menjejakan kaki di Pulau Buru, Aku ingat, 27 Agustus 1969, tepat.
Untuk menguatkan keyakinanku, aku mencari warung ibu Sum. Di warungnya, dulu kami para tapol biasa makan saat “ditugaskan” ke Namlea dari barak-barak tahanan kami di tengah hutan. Bukan uang alat tukar kami untuk mendapat makanan di warung perempuan baik asal Surabaya itu. Tapi hasil kebun yang kami curi dari lahan yang kami tanami sendiri.
Warung milik Bu Sum dulu letaknya persis dekat dermaga, tapi kini sudah tak ada. Cucu Bu Sum bernama Dharmo yang berhasil aku temui mengatakan, neneknya sudah wafat. Warung nasi dulu kini sudah berubah jadi warung kelontong. Dharmo kini melanjutkan usaha warung nasi itu sambil membuka usaha penyewaan perahu.
Dari Dharmo aku dapat sedikit cerita, awal neneknya itu bisa sampai ke Buru. “Diajak kapten kapal yang membawa tahanan, katanya Buru akan jadi daerah maju karena yang dikirim ke sini orang-orang pintar,” kata Dharmo.
Aku termenung di dermaga kayu, Dermaga Lama, mengingat 47 tahun silam saat pertama kali kaki ku menginjak tanah Buru. Itulah hari pertama aku menjadi orang buangan di Buru.
Semangat Baja Kawan Lama
Sudah bau tanah mereka semua. Keriput memenuhi wajah teman-temanku yang dulu gagah. Ada juga yang sudah tuli sehingga aku harus setengah berteriak saat bicara. Ada yang logat daerahnya sudah hilang sama sekali, berganti logat Maluku dalam pembicaraan sehari-hari.
Gatot Parsono, sudah sukses dia sekarang. Orang ini memang serba bisa. Tak salah ia memutuskan untuk bertahan di Buru. Sawahnya luas, ternaknya banyak. Ia mengaku lebih tenang hidup di pulau ini dibandingkan hidup di Jawa Timur, daerah asalnya. Semangat untuk terus hidup membuatnya bisa terus bertahan.
Dari Gatot aku kembali ingat tekad kawan-kawan tapol asal Jawa Timur dulu saat pertama kali datang ke Buru, menjadikan Buru sebagai Surabaya kedua. Tapol asal Jawa Timur memang sangat banyak waktu itu.
Rusman, dulu logat Sundanya sangat kental. Tapi sekarang pria Garut ini sudah seperti pribumi Maluku saja. “Bung Tumiso, beta seng pernah lupa bung,” katanya. Kami berdua kembali terkenang masa-masa bengal kami saat jadi tapol, mengelabui tentara atau bersembunyi untuk menghindari patroli mereka.
Dari Dharmo aku dapat sedikit cerita, awal neneknya itu bisa sampai ke Buru. “Diajak kapten kapal yang membawa tahanan, katanya Buru akan jadi daerah maju karena yang dikirim ke sini orang-orang pintar,” kata Dharmo.
Aku termenung di dermaga kayu, Dermaga Lama, mengingat 47 tahun silam saat pertama kali kaki ku menginjak tanah Buru. Itulah hari pertama aku menjadi orang buangan di Buru.
Semangat Baja Kawan Lama
Sudah bau tanah mereka semua. Keriput memenuhi wajah teman-temanku yang dulu gagah. Ada juga yang sudah tuli sehingga aku harus setengah berteriak saat bicara. Ada yang logat daerahnya sudah hilang sama sekali, berganti logat Maluku dalam pembicaraan sehari-hari.
Gatot Parsono, sudah sukses dia sekarang. Orang ini memang serba bisa. Tak salah ia memutuskan untuk bertahan di Buru. Sawahnya luas, ternaknya banyak. Ia mengaku lebih tenang hidup di pulau ini dibandingkan hidup di Jawa Timur, daerah asalnya. Semangat untuk terus hidup membuatnya bisa terus bertahan.
Dari Gatot aku kembali ingat tekad kawan-kawan tapol asal Jawa Timur dulu saat pertama kali datang ke Buru, menjadikan Buru sebagai Surabaya kedua. Tapol asal Jawa Timur memang sangat banyak waktu itu.
Rusman, dulu logat Sundanya sangat kental. Tapi sekarang pria Garut ini sudah seperti pribumi Maluku saja. “Bung Tumiso, beta seng pernah lupa bung,” katanya. Kami berdua kembali terkenang masa-masa bengal kami saat jadi tapol, mengelabui tentara atau bersembunyi untuk menghindari patroli mereka.
Lukas Tumiso (kanan) bertemu dengan sahabatnya Gatot Parsono (kiri) mantan tapol yang memilih bertahan di pulau buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Yadiono, ah mengapa dia jadi setua ini. Padahal dulu badannya sangat kekar, ahli akrobat dan giat bekerja di ladang. Di usia senjanya, dia masih ingin saja mengabdi pada republik ini, negara yang rezimnya pernah menganggap kami sebagai orang buangan.
Yadiono kini menjadi guru honorer. Di SMA Negeri 3 Waeapo, ia mengajar seni musik, mata pelajaran yang kerap dipandang sebelah mata oleh siswa. Semangat mengajarnya demikian tinggi. “Kurikulum sekarang aneh, seni dikesampingkan, padahal harus ada keseimbangan otak kiri dan kanan,” katanya.
Ia mengaku tangannya sudah kerap kaku dan gemetaran. Namun Yadiono masih mau mengajar menggunakan sepeda motor ke sekolah yang berjarak 3 km dari rumahnya. “Pelan-pelan saja bawa motor, hati-hati,” katanya.
Dasipin, orang ini masih berapi-api saja gaya bicaranya. Soeharto di mata dia seperti bukan apa-apa. “Soeharto itu bukan meninggal tapi mati,” katanya. Seperti waktu muda dulu, dia seperti tak kenal takut saat bicara.
Ia masih merasa memiliki kewajiban sampai sekarang untuk membuktikan bahwa para tapol tak pantas untuk dibuang ke Buru dan harus dibersihkan nama baiknya. Pemerintah juga harus minta maaf atas segala fitnah yang dilancarkan sejak tahun 1965 dan setelahnya. “Ini adalah kewajiban,” katanya.
Jejak yang Dihapus
Sulit untuk mencari sisa-sisa peninggalan unit tahanan di mana dulu aku dan belasan ribu orang lainnya tinggal. Padahal dulu ada 18 unit tahanan plus 3 unit tambahan dibangun tentara, melalui tangan-tangan tapol tentunya.
Di lokasi yang dulu keperkirakan ada barak-barak tempat tapol tidur, kini hanya tinggal hamparan sawah atau hutan jati. Bahkan Markas Komando tempat Komandan Instalasi dan Rehabilitasi dulu berkantor, kini hanya jadi tempat menambatkan sapi.
Rezim Orde Baru sepertinya benar-benar ingin menghapus bekas-bekas tempat yang jadi lokasi pengasingan tapol.
Tujuanku adalah Unit III. Bukan hanya karena ini unit dulu aku bersama Pramoedya Ananta Toer dan Oey Hay Djoen ditahan. Tapi karena unit ini merupakan unit paling jauh. Unit ini adalah unit pertama yang dibangun oleh tapol gelombang pertama. Sejak awal pembangunan, Unit III direncanakan jadi unit yang terkucil.
Pramodeya dikenal luas sebagai sastrawan dengan karya-karyanya yang mendunia. Empat novelnya yang juga disebut Tetralogi Pulau Buru ditulis di sini. Sementara Oey Hay Djoen adalah petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat yang mendapat nomor tahanan 001 di Pulau Buru. Ia pernah menjadi anggota DPR dari PKI.
Unit III pada masa penahanan dulu dikenal sebagai tempat orang-orang keras kepala dan susah diatur. Selain Pram dan Oey, beberapa tokoh yang pernah ditahan bersamaku di antaranya Saud Suryono aktivis Badan Pewarganegaraan Indonesia, Srihadi (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Sarju (Dosen Universitas Cokroaminoto), dan Mardiman (Sekretaris Daerah Yogyakarta). Kebanyakan sudah mati termakan usia.
Ia mengaku tangannya sudah kerap kaku dan gemetaran. Namun Yadiono masih mau mengajar menggunakan sepeda motor ke sekolah yang berjarak 3 km dari rumahnya. “Pelan-pelan saja bawa motor, hati-hati,” katanya.
Dasipin, orang ini masih berapi-api saja gaya bicaranya. Soeharto di mata dia seperti bukan apa-apa. “Soeharto itu bukan meninggal tapi mati,” katanya. Seperti waktu muda dulu, dia seperti tak kenal takut saat bicara.
Ia masih merasa memiliki kewajiban sampai sekarang untuk membuktikan bahwa para tapol tak pantas untuk dibuang ke Buru dan harus dibersihkan nama baiknya. Pemerintah juga harus minta maaf atas segala fitnah yang dilancarkan sejak tahun 1965 dan setelahnya. “Ini adalah kewajiban,” katanya.
Jejak yang Dihapus
Sulit untuk mencari sisa-sisa peninggalan unit tahanan di mana dulu aku dan belasan ribu orang lainnya tinggal. Padahal dulu ada 18 unit tahanan plus 3 unit tambahan dibangun tentara, melalui tangan-tangan tapol tentunya.
Di lokasi yang dulu keperkirakan ada barak-barak tempat tapol tidur, kini hanya tinggal hamparan sawah atau hutan jati. Bahkan Markas Komando tempat Komandan Instalasi dan Rehabilitasi dulu berkantor, kini hanya jadi tempat menambatkan sapi.
Rezim Orde Baru sepertinya benar-benar ingin menghapus bekas-bekas tempat yang jadi lokasi pengasingan tapol.
Tujuanku adalah Unit III. Bukan hanya karena ini unit dulu aku bersama Pramoedya Ananta Toer dan Oey Hay Djoen ditahan. Tapi karena unit ini merupakan unit paling jauh. Unit ini adalah unit pertama yang dibangun oleh tapol gelombang pertama. Sejak awal pembangunan, Unit III direncanakan jadi unit yang terkucil.
Lokasi bekas bangunan Markas Komando (Mako). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
Unit III pada masa penahanan dulu dikenal sebagai tempat orang-orang keras kepala dan susah diatur. Selain Pram dan Oey, beberapa tokoh yang pernah ditahan bersamaku di antaranya Saud Suryono aktivis Badan Pewarganegaraan Indonesia, Srihadi (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Sarju (Dosen Universitas Cokroaminoto), dan Mardiman (Sekretaris Daerah Yogyakarta). Kebanyakan sudah mati termakan usia.
Tak mudah mencari lokasi pasti Unit III. Semua sudah sama sekali berbeda dengan Buru yang dulu. Jalanan hampir tak ku kenali. Begitu juga sungai dan saluran air yang ada. Aku hanya bisa mereka-reka, saluran air yang ada di tepi jalan adalah hasil pekerjaanku bersama tapol yang lain di bawah todongan senapan tentara.
Kepada warga transmigran, aku bertanya letak Gunung Kencur, namun tak ada yang tahu. Gunung Kencur adalah bukit kecil di mana terletak kuburan tapol yang mati tenggelam. Salah satunya adalah seorang dokter, Ciptono namanya.
Namun warga memberi tahu arah jalan menuju bukit di mana ada makam yang dikeramatkan di atasnya. Berjalan kaki aku beranjak ke lokasi yang dimaksud. Ternyata benar, makam-makam tersebut adalah makam tapol. Namun makam dokter yang ku maksud, sudah tak ada lagi. Menurut penuturan warga, ada dua makam yang dipindahkan atas permintaan keluarga. Aku perkirakan, makam tersebut milik dokter Ciptono.
Dari atas Gunung Kencur, aku mencoba menyusun ulang dalam ingatan unit-unit tahanan yang dulu ada di sekitar gunung tersebut. Unit VII dan Unit VIII aku perkirakan sekarang sudah menjadi lahan persawahan. Dengan berpatokan pada aliran sungai, aku kembali mencari lokasi unit III, tempat di mana aku 10 tahun tinggal di Pulau Buru.
Pusara Kawan Seperjuangan
Satu jembatan putus dan dua jalan rusak hampir saja memutuskan harapanku. Setelah menempuh jalan memutar dan beberapa kali bertanya pada warga, satu petunjuk ditemukan. Lagi-lagi kuburan kawan.
Di bawah rimbun hutan jati, hanya tampak ilalang setinggi pinggang orang dewasa dari jalan. Namun ternyata di dalamnya ada puluhan batu nisan teman seperjuanganku. Di batu nisan tertulis jelas Kayun, Mardiman, Soeyadi, Katmo, Sarpin, dan teman-temanku yang lain.
Aku sempat termenung sesaat di nisan-nisan tersebut setelah aku bersihkan dengan tangan telanjang. Ribuan semut yang mengerebuti sepatu tak kuindahkan. Terbayang satu persatu wajah mereka yang jasadnya tertanam di tanah yang kini ku pijak.
Aku hanya bisa berdoa, semoga mereka kini telah menemukan kedamaian, meski cita-cita yang dulu kami perjuangkan belum juga tercapai. Tak kuasa aku menahan tangis haru di sini.
100 meter dari kuburan itu dulunya barak-barak tempat kami tidur. Sekarang hanya tersisa enam pohon kelapa yang dulu kami tanam. Ada puing-puing bangunan di sana, tapi bukan sisa-sisa barak. “Bekas pabrik genteng, tapi sudah tutup,” kata seorang transmigran.
Lega tak terkira usai aku kembali melihat lokasi Unit III meski tak ada lagi yang tersisa kecuali pusara teman-temanku.
Buru sekarang bukan lagi pulau penjara tempat membuang mereka yang dinilai merongrong Pancasila. Buru kini tak ubahnya seperti daerah lain. Pemukiman, lahan persawahan dan perkebunan banyak kujumpai di sana sini.
Kepada warga transmigran, aku bertanya letak Gunung Kencur, namun tak ada yang tahu. Gunung Kencur adalah bukit kecil di mana terletak kuburan tapol yang mati tenggelam. Salah satunya adalah seorang dokter, Ciptono namanya.
Namun warga memberi tahu arah jalan menuju bukit di mana ada makam yang dikeramatkan di atasnya. Berjalan kaki aku beranjak ke lokasi yang dimaksud. Ternyata benar, makam-makam tersebut adalah makam tapol. Namun makam dokter yang ku maksud, sudah tak ada lagi. Menurut penuturan warga, ada dua makam yang dipindahkan atas permintaan keluarga. Aku perkirakan, makam tersebut milik dokter Ciptono.
Dari atas Gunung Kencur, aku mencoba menyusun ulang dalam ingatan unit-unit tahanan yang dulu ada di sekitar gunung tersebut. Unit VII dan Unit VIII aku perkirakan sekarang sudah menjadi lahan persawahan. Dengan berpatokan pada aliran sungai, aku kembali mencari lokasi unit III, tempat di mana aku 10 tahun tinggal di Pulau Buru.
Pusara Kawan Seperjuangan
Satu jembatan putus dan dua jalan rusak hampir saja memutuskan harapanku. Setelah menempuh jalan memutar dan beberapa kali bertanya pada warga, satu petunjuk ditemukan. Lagi-lagi kuburan kawan.
Di bawah rimbun hutan jati, hanya tampak ilalang setinggi pinggang orang dewasa dari jalan. Namun ternyata di dalamnya ada puluhan batu nisan teman seperjuanganku. Di batu nisan tertulis jelas Kayun, Mardiman, Soeyadi, Katmo, Sarpin, dan teman-temanku yang lain.
Lukas Tumiso berdoa disalah makam satu sahabatnya sesama Tapol dari Unit III, Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
Aku hanya bisa berdoa, semoga mereka kini telah menemukan kedamaian, meski cita-cita yang dulu kami perjuangkan belum juga tercapai. Tak kuasa aku menahan tangis haru di sini.
100 meter dari kuburan itu dulunya barak-barak tempat kami tidur. Sekarang hanya tersisa enam pohon kelapa yang dulu kami tanam. Ada puing-puing bangunan di sana, tapi bukan sisa-sisa barak. “Bekas pabrik genteng, tapi sudah tutup,” kata seorang transmigran.
Lega tak terkira usai aku kembali melihat lokasi Unit III meski tak ada lagi yang tersisa kecuali pusara teman-temanku.
Buru sekarang bukan lagi pulau penjara tempat membuang mereka yang dinilai merongrong Pancasila. Buru kini tak ubahnya seperti daerah lain. Pemukiman, lahan persawahan dan perkebunan banyak kujumpai di sana sini.
Buru sekarang juga lebih ramai dihuni orang. Mayoritas para transmigran yang didatangkan seiring dengan kepergian kami dulu di tahun 1979. Tangan renta ini dulu sempat membuat rumah-rumah yang kemudian menjadi tempat tinggal para transmigran itu.
Padi tertanam di mana-mana, sayuran tumbuh subur di sini. Jeruk, buah naga, pepaya dan aneka buah lainnya juga jadi harapan petani di sini. Pohon sagu masih tumbuh subur. Pohon kayu putih juga masih ada di mana-mana dan dimanfaatkan oleh penduduk untuk jadi minyak kayu putih.
Buru tak cuma subur untuk lahan pertanian. Di perut bumi pulau ini juga tertanam emas. Setidaknya ada tiga lokasi tambang emas di sini meski berstatus ilegal. Warga setempat mengatakan, Buru beberapa tahun lalu sempat mengalami masa jaya saat menambah emas masih diperbolehkan. Kini setelah ada larangan, masyarakat banyak kembali turun ke sawah dan ladang.
Buru kembali kutinggalkan. Pelabuhan Namlea kembali pudar dari pandangan mata. Kapal kayu besar dulu membawaku ke Semarang saat rezim orde baru membebaskanku. Berdesak-desakan di geladak bersama ratusan tapol lainnya, aku tinggalkan Pulau pulau penjara itu.
Kini, kapal besi yang membawaku ke Ambon, ibu kota Maluku. Di atas kasur empuk, di dalam ruang ber-AC di atas kapal feri ini aku merebahkan diri. Sebutir obat tidur ku minum agar nyenyak tidurku sepanjang perjalanan mengarungi perairan Maluku.
Pulau Buru, aku akan kembali lagi untukmu dan untuk mereka yang jasadnya tertanam di perutmu. Bukan untuk mengenang luka dendam, hanya untuk menengok kembali satu bagian perjalanan hidupku.
Namaku Lukas Tumiso, biasa dipanggil singkat, So saja. Namun sesama orang Jawa Timur kerap memanggilku Cak So. Sekarang aku manusia bebas.
Padi tertanam di mana-mana, sayuran tumbuh subur di sini. Jeruk, buah naga, pepaya dan aneka buah lainnya juga jadi harapan petani di sini. Pohon sagu masih tumbuh subur. Pohon kayu putih juga masih ada di mana-mana dan dimanfaatkan oleh penduduk untuk jadi minyak kayu putih.
Buru tak cuma subur untuk lahan pertanian. Di perut bumi pulau ini juga tertanam emas. Setidaknya ada tiga lokasi tambang emas di sini meski berstatus ilegal. Warga setempat mengatakan, Buru beberapa tahun lalu sempat mengalami masa jaya saat menambah emas masih diperbolehkan. Kini setelah ada larangan, masyarakat banyak kembali turun ke sawah dan ladang.
Buru kembali kutinggalkan. Pelabuhan Namlea kembali pudar dari pandangan mata. Kapal kayu besar dulu membawaku ke Semarang saat rezim orde baru membebaskanku. Berdesak-desakan di geladak bersama ratusan tapol lainnya, aku tinggalkan Pulau pulau penjara itu.
Kini, kapal besi yang membawaku ke Ambon, ibu kota Maluku. Di atas kasur empuk, di dalam ruang ber-AC di atas kapal feri ini aku merebahkan diri. Sebutir obat tidur ku minum agar nyenyak tidurku sepanjang perjalanan mengarungi perairan Maluku.
Pulau Buru, aku akan kembali lagi untukmu dan untuk mereka yang jasadnya tertanam di perutmu. Bukan untuk mengenang luka dendam, hanya untuk menengok kembali satu bagian perjalanan hidupku.
Namaku Lukas Tumiso, biasa dipanggil singkat, So saja. Namun sesama orang Jawa Timur kerap memanggilku Cak So. Sekarang aku manusia bebas.
Lawatan ke Pulau Buru dilakukan CNNIndonesia.com dalam upaya mencari jejak-jejak sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Tulisan tentang Pram di Buru, akan kami publikasikan untuk memperingati 10 tahun meninggalnya pria asal Blora itu akhir bulan ini.
Melawat ke Buru, kami didampingi Tumiso, eks tapol Pulau Buru sekaligus teman dekat Pram.
Lawatan ini juga adalah kunjungan pertama kali Tumiso setelah 37 tahun silam ia dibebaskan rezim Orde Baru.
Tulisan ini hanya bermaksud mengemukakan kondisi Buru sekarang yang kami bandingkan dengan Buru yang dulu sebagai sebuah pulau pengasingan, berdasarkan penuturan Tumiso dan beberapa tapol yang berhasil kami temui di sana.
Melawat ke Buru, kami didampingi Tumiso, eks tapol Pulau Buru sekaligus teman dekat Pram.
Lawatan ini juga adalah kunjungan pertama kali Tumiso setelah 37 tahun silam ia dibebaskan rezim Orde Baru.
Tulisan ini hanya bermaksud mengemukakan kondisi Buru sekarang yang kami bandingkan dengan Buru yang dulu sebagai sebuah pulau pengasingan, berdasarkan penuturan Tumiso dan beberapa tapol yang berhasil kami temui di sana.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160420102350-20-125196/lepas-37-tahun-aku-kembali-ke-buru/
0 komentar:
Posting Komentar