KAMIS, 21 APRIL 2016
Penulis : Noor Johan Nuh / Editor : Rustam / Sumber Foto : Pusat Data HM.Soeharto
Simposium Nasional Membedah Tragedi
1965 melalui pendekatan sejarah yang digelar di Hotel Aryaduta, Jakarta
pada tanggal 18 hingga 19 April 2016, telah berlalu. Namun cerita
dibalik symposium tersebut masih menarik untuk dikaji dan dikisahkan
kembali, agar generasi muda Indonesia kekinian tidak terjebak stigma
yang tak jelas.
Simposium yang digagas Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) dan
didukung Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI,
kabarnya mempertemukan korban tragedi 1965 dengan sejarawan, mantan
jenderal TNI, dan sejumlah tokoh lembaga yang berada di pusaran
peristiwa berdarah tersebut.
Secara kasat mata simposium ini bisa jadi bermaksud mengadili
pemerintahan Orde Baru, era Presiden Soeharto. Padahal dalam sejarah
perjalanan pemerintahan Negara Indonesia, Pak Harto menjadi Pejabat
Presiden RI nanti pada tanggal 12 Maret 1967. Kemudian Soeharto
menjadi presiden pada tanggal 28 Maret 1968.
Bila melihat sejarah kepemimpinan bangsa Indonesia pada saat terjadi
tragedi kemanusiaan oleh G30 S/PKI pada tahun 1965, maka tidak ada
benang merahnya dengan masa kepemimpinan Soeharto. Sebab jabatan
Presiden RI Pada tahun 1965 masih dijabat Presiden Soekarno, ayah
kandung Megawati Soekarno Putri, Presiden RI ke 5.
Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang terkesan ingin menyudutkan
dan menyalahkan Presiden Soeharto, ternyata sulit dan susah dibuktikan.
Sulit menemukan benang merah antara kebiadaban G30 S/PKI terhadap
Pahlawan Revolusi dengan Presiden Soeharto. Justru Soeharto lah yang
berjuang untuk memberantas PKI di bumi Indonesia.
Simposium nasional ini yang terkesan hendak menyudutkan Presiden
Soeharto ternyata terbantahkan dengan sendirinya. Para saksi sejarah G30
S/PKI yang hadir dalam simposium itu tak bisa memberikan argumentasi
keterlibatan Presiden Soeharto. Malah sebaliknya Soeharto menjadi
penyelamat bangsa Indonesia, sayangnya banyak pihak yang tidak mengakui.
Malahan membuat cerita dan kisah yang mengaburkan sejarah, sehingga
generasi muda Indonesia saat ini banyak yang terkontaminasi dan
terkooptasi pemikiran skeptis terhadap Presiden Soeharto.
Simposium ini kemudian berbalik arah. Simposium ini malah menskenariokan
dan mengadili Presiden Soekarno. Mari kita simak runtutan sejarah
tahun 1965, zaman Soekarno menjabat Presiden RI pertama. Antara lain,
tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari organisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian pada tanggal 14 Mei 1965, Pelda Soedjono
mati dipacul dan diarit oleh BTI di Bandar Betsy.
Lalu ada aksi sepihak PKI dan orderbouw-nya. PKI semakin ganas menyebut
“setan desa” pada kyai yang memiliki pesantren yang cukup luas dan
“setan kota” pada musuh politiknya. Meskipun tidak berhasil
mempersenjatai anggota PKI dengan sebutan Angakatan ke 5, PKI berontak
kembali seperti pernah dilakukan di Madiun pada September 1948.
Puncak kebiadaban PKI, terjadinya tragedi pembantaian perwira TNI AD di
lubang buaya, dekat Bandar Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Sebanyak
6 Jenderal Angkatan Darat dan 1 Perwira Pertama, disiksa biadab dan dibunuh pada 1 Oktober 1965 oleh G30S/PKI.
Merasa di atas angin, PKI kemudian membentuk Dewan Revolusi yang
mendemisioner Kabinet Dwikora Pimpinan Presiden Soekarno. Dewan Revolusi
menjadi sumber hukum dan mencampakkan kekuasaan Presiden Soekarno.
Seperti pemberontakan PKI di Madiun. Pemberontakan ini dapat ditumpas
oleh TNI bersama Rakyat.
Pada tanggal 6 Oktober 1965, di sidang kabinet, Presiden Soekarno secara
tegas mengatakan kudeta itu dilakukan oleh PKI yang “keblinger”. Bulan
Desember 1965, Presiden Soekarno membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub), mengadili pelaku pemberontakan G30S/PKI.
Mungkin tidak terima bapaknya disebut “keblinger” oleh Presiden
Soekarno, Ilham Aidit yang tergabung dalam FSAB, difasilitasi oleh
Kemenkopulkam, mengadakan symposium balas dendam, menuntut apa yang
dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar
Revolusi/Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno, sebagai pimpinan
tertinggi pada tahun 1965 yang harus bertanggung jawab atas pelanggaran
HAM pada tahun 1965.
Joko Widodo (Jokowi ) yang menjadi Presiden RI ke 7 karena dukungan
PDIP, malah memfasilitasi kelompok yang ingin memutar balikan sejarah,
ingin mengadili Bung Karno. Anehnya, Megawati Soekarno Putri tidak
bereaksi atas simposium yang terang benderang mengadili pimpinan
nasional pada waktu itu, Presiden Soekarno. Satu setengah tahun
pemerintahan Jokowi yang sarat gaduh dan membingungkan, mencapai puncak
kebingungan dengan menuduh Presiden Soekarno melanggar HAM pada tahun
1965.
Dalam pidato berjudul “Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah-JASMERAH”,
tanggal 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno dengan tegas mengingatkan
bangsa ini jangan melupakan sejarah, termasuk sejarah pemberontakan PKI
di Madiun tahun 1948, dan Kudeta Berdarah G30S/PKI tahun 1965. Rekayasa
Ilham Aidit dan kamerad-kamerad-nya yang difasilitasi negara berhasil
mengadili Bung Karno di masa kepemimpinannya tahun 1965. QOU VADIS.
http://www.cendananews.com/2016/04/simposium-mengadili-bung-karno.html
0 komentar:
Posting Komentar