Rabu, 20 April 2016

[SETENGAH ABAD MENANGGUNG LUKA]

BAGIAN IV | MERUNTUHKAN TEMBOK STIGMA


"Ibu tidak butuh permintaan maaf, ibu tidak butuh ganti rugi. Ibu hanya butuh dinyatakan tidak bersalah dan tidak terlibat G30S," ungkap Nani Nurani dengan getir. Diusianya yang beranjak ke-75 tahun dia masih mencari keadilan dan lepas dari bayang stigma G30S. 

Nani remaja adalah seorang pegawai dinas kebudayaan di Cianjur. Berkat keahliannya, dia lalu mendapat undangan menyanyi di Istana, di depan sang proklamator, Soekarno. Pada 1965, panggilan itu datang dari PKI –bernyanyi di hari ulang tahun partai.

Selang tiga tahun, kala ia baru kembali dari Jakarta, Nani dicokok di kampung halamannya lantaran dituduh sebagai kader Lekra, sebuah organisasi underbow PKI. Bahkan di tanah kelahirannya itu, tersiar kabar, Nani bernyanyi saat Ahmad Yani dibunuh di Lubang Buaya. Setelahnya bisa ditebak, Nani ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan selama tujuh tahun. Tapi kebebasan itu semu. Cap ET atau eks-tapol masih membayangi.

Di umurnya yang kian sepuh, ia tak rela terus dihantui stigma PKI. Pada 2008 lalu, Mahkamah Agung akhirnya menyatakan negara telah melanggar hak sipilnya. Karena itu, Nani kemudian mendapat KTP seumur hidup- tanpa cap ET.
Tak puas, dia lalu kembali menggugat negara. Tujuannya agar namanya direhabilitasi. Upaya banding pasca kekalahannya di sidang menemui jalan buntu. Itu sebab, dia mengadu kepada Komisi Informasi Publik (KIP) agar kasusnya menjadi jelas. Sial, hingga hari ini kasusnya mandeg.

Perhelatan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 April lalu, menjadi ajang melepas gundah perempuan yang memutuskan tak menikah karena enggan dicap terlibat PKI ini. Dalam kesempatan tersebut, dia kembali tegaskan keinginannya,

"Saya tidak butuh maaf, tapi hanya kepastian hukum. Saya tidak ingin dicurigai. Saya ingin nama baik dan kehormatan saya kembali melalui rehabilitasi. Saat saya mati, saya ingin orang tua saya tersenyum karena saya dinyatakan tidak terlibat G30S,"

Stigma yang Dibuat Sistematis

Salah satu rekomendasi yang ditelurkan Tim Perumus Simposium yakni penghapusan pasal-pasal diskriminasi yang imbasnya menstigma korban 1965. Dalam kesempatan wawancara bersama KBR,  Ketua Panitia yang juga menjadi anggota perumus, Suryo Susilo mengatakan, pemerintah harus bisa menjamin tak ada lagi perlakukan diskriminasi yang diterima mereka yang disebut terkait G30S, termasuk PKI. "Ya kita seperti membuka jalan untuk paling tidak pemerintah tahu apa yang harus dilakukan kepada warga negaranya supaya tidak melakukan hal-hal yang sifatnya diskriminatif, penekanan," ujarnya.

Stigma PKI itu, tak begitu saja datang dari langit. Semuanya sudah dirancang oleh penguasa saat itu, Soeharto yang memanfaatkan secara leluasa wewenang dari Soekarno. Melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibuatnya, Soeharto seolah menjadi penguasa kedua di negeri ini dengan membuatnya menjadi alat untuk kontrol politik.

Maka tak heran, dalam gelaran Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, kembali diungkit menyoal stigmatisasi yang melekat pada mereka yang terkait PKI. Salah satu pemateri, Yuniyanti Chuzaifah dari Komnas Perempuan memaparkan, stigma itu terpelihara di masyarakat.

"Masyarakat mengadopsi budaya kekerasan kebal rasa, anarki dan apatis; kekerasan post konflik terus terjadi," 

Mustam, Sekretaris Daerah Purbalingga yang kehilangan jabatan karena dituduh terlibat PKI. Foto KBR
Mustam, Sekretaris Daerah Purbalingga yang kehilangan jabatan karena dituduh terlibat PKI. Foto KBR | DJS
 
Tak hanya itu, menurutnya, tanpa proses penyelesaian dan penghapusan stigma, peristiwa 65 tak mustahil bisa terulang. Hal lainnya jelas, pengucilan dari masyarakat. "Korban per wilayah yang  tidak dipulihkan akan diasosiasi sebagai bagian dari bangsa, baik secara politis mau pun budaya," katanya lagi.

Aturan - aturan Diskriminatif

"Kekuasaan" yang dimandatkan kepada Soeharto, membuatnya bisa menancapkan kuku di segala aspek dalam kultur masyarakat saat itu. Serangkaian aturan-aturan, baik dalam surat keputusan presiden, bahkan dalam undang-undang dan peraturan menteri sebagai turunannya, dibuat sedemikian rupa agar tetap terpelihara stigma tersebut. Kelak kemudian, rezim Orde Baru ini menyebutnya bersih diri dan bersih lingkungan.

http://kbr.id/simposium65/#bagian-4

0 komentar:

Posting Komentar