Suriyanto, CNN Indonesia |
Kamis, 21/04/2016 12:54 WIB
Eks tahanan politik Pulau
Buru Tumiso di makam temannya di Unit III Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi
Wicaksono)
Buru, CNN Indonesia -- Hampir setengah hari Tumiso
memutar langkahnya mencari petunjuk keberadaan Unit III, tempat ia dulu ditahan
di Pulau Buru sebagai tahanan politik.
Namun semuanya sudah berubah setelah Pulau Buru ia tinggalkan selama 37 tahun. Beberapa jalan dan aliran sungai masih diingatnya, namun tempat yang kini kembali didatangani sudah berubah.
Nyaris putus asa ia mencari sisa tempat pengasingannya dulu.
Namun semuanya sudah berubah setelah Pulau Buru ia tinggalkan selama 37 tahun. Beberapa jalan dan aliran sungai masih diingatnya, namun tempat yang kini kembali didatangani sudah berubah.
Nyaris putus asa ia mencari sisa tempat pengasingannya dulu.
“Pulang saja!” katanya setengah kesal. Namun saat perjalanan kembali, seorang transmigran menginformasikan keberadaan kuburan tua itu.
Makam tapol dari unit 3
tertutup rimbun ilalang dan hutan jati, Waeapo, Pulau Buru, Ambon, Minggu, 6
Maret 2016. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.
Di hutan jati yang dimaksud Transmigran itu dipenuhi
ilalang liar di bawahnya. Jajaran pohon jati sudah setinggi sekitar 5
meter. Usianya diperkirakan sudah belasan tahun.
Tumiso merangsek maju meski tanah di bawah ilalang lebat
itu sangat lembab bahkan cenderung berlumpur.
Nisan pertama yang ia temukan atas nama Mardiman. Ia lantas menjelaskan siapa pria yang jasadnya tertanam di bawah nisan itu.
Nisan pertama yang ia temukan atas nama Mardiman. Ia lantas menjelaskan siapa pria yang jasadnya tertanam di bawah nisan itu.
“Mardiman ini dulu Sekretaris Daerah Yogyakarta, meninggal lantaran sakit,” kata Tumiso.Di sekitar makam Mardiman juga ditemukan belasan makam lain. Jaraknya hanya sekitar satu meter antarmakam. Beberapa nama yang tertulis di makam itu adalah Seoyadi, Katmo, Sarpin, Samtiar, beberapa nama lain.
Cita-cita kita belum tercapai, tapi yakinlah penderitaanmu tak sia-sia. Sudah banyak anak-anak muda sekarang yang memahami apa yang kita kerjakan dulu dan siap melanjutkannyaTumiso (Eks Tapol Pulau Buru)
Kebanyakan dari mereka mati karena sakit. Saat menjadi tahanan, asupan makanan
tak sebanding dengan kerja berat yang harus mereka lakukan setiap hari. Para
tapol menurut Tumiso membuatkan nisan di atas kuburan rekan-rekan mereka agar
tidak hilang dan sewaktu-waktu bisa diziarahi.
Bekas anggota Persatuan Guru Republik Indonesia Non-Vaksentral ini sempat terdiam cukup lama di salah satu makam. Pada nisan tertulis nama Kayun.
Bekas anggota Persatuan Guru Republik Indonesia Non-Vaksentral ini sempat terdiam cukup lama di salah satu makam. Pada nisan tertulis nama Kayun.
Ia tertunduk sambil menitikan air mata duka. Di atas pusara tersebut ia
terlihat seperti melepas rindu sambil berucap,
”Yun, cita-cita kita belum tercapai, tapi yakinlah penderitaanmu tak sia-sia. Sudah banyak anak-anak muda sekarang yang memahami apa yang kita kerjakan dulu dan siap melanjutkannya. Saya sengaja kemari untuk menjengukmu dan memastikan makammu baik-baik saja. Sesuai dengan imanmu, semoga kamu bisa damai di sisi Tuhan, Amin”.Ia mengaku, Kayun merupakan teman akrabnya dulu di Unit III. Pemuda pekerja keras yang paling tidak bisa melihat sesama tahanan diperlakukan kasar oleh tentara.
“Kayun mati minum racun,” kata Tumiso.Pemuda asal Kebumen, Jawa Tengah itu ditemukan dengan kondisi mulut berbusa di sebuah gubuk pada pagi hari oleh tapol yang lain.
Tumiso di makam temannya di Gunung Kencur, Pulau
Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
Tumiso menduga, Kayun tak tahan pada penderitaan yang
diterimanya saat menjadi tapol. Ia kerap diminta bekerja keras oleh komandan
unit saat itu. Kayun juga paling tak bisa ada tapol yang diperlakukan
semena-mena oleh tentara. Pernah suatu kali, Kayun melawan tentara yang berjaga
karena tak terima ada tapol tua yang diminta mengangkat pupuk seberat 50
kilogram.
Tumiso menuturkan, di Pulau Buru para tapol memang telah kehilangan segalanya.
Menurutnya, tak usah bicara hak asasi ini sini, masih bisa bernafas saja
untung.
Jangan coba menatap mata tentara dan selalu patuhi setiap perintah penjaga. Melawan sedikit saja, menurut Tumiso nyawa bisa jadi taruhannya.
Jangan coba menatap mata tentara dan selalu patuhi setiap perintah penjaga. Melawan sedikit saja, menurut Tumiso nyawa bisa jadi taruhannya.
“Hidung saya bengkok sampe sekarang kena popor senapan, dulu habis dihajar tentara, setahun saya tak bisa mencium bau,” katanyaDi hutan jati, di bawah ilalang lebat yang tumbuh liar itu dua puluhan nisan menautkan ingatan Tumiso ke masa lalu. Tumiso beruntung dirinya masih hidup sampai saat ini, bisa mengunjungi teman-temannya yang sudah mati. Bisa menjadi manusia bebas dan mengunjungi Pulau Buru kembali. (sur/sip)
0 komentar:
Posting Komentar