Kompas.com - 27/04/2016, 13:08 WIB
Lestari, keluarga korban kekerasan peristiwa 1965 asal Blitar, Jawa Tengah, saat mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, Selasa (17/1/2012). Ia bersama puluhan keluarga korban lainya menagih janji Komnas HAM untuk segera mengumumkan hasil penyelidikan pro justisia dan segera mengumumkan temuan pelangaran berat pada peristiwa tersebut.
Sekitar 20 tahun lalu, pada sebuah malam di sebuah warung pecel lele di pinggir Jakarta, seorang sahabat bercerita dengan terbata-bata.
Air mata mengembang di pelupuk matanya. Ibunya ditemukan tergantung di kusen pintu kamar. Sebuah kain melilit di lehernya.
"Ibu gue bunuh diri," dia berkata pelan.
Peristiwa 20-an tahun lalu itu menyeruak di benak saya hari-hari belakangan ini saat mendengar pernyataan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa negara tidak terpikir untuk meminta maaf atas peristiwa 1965. Juga, saya terusik oleh pernyataan Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan yang menantang publik untuk membuktikan soal kuburan massal.
Hadir kembali dalam ingatan saya, wajah teman yang kulai tertunduk malam itu. Kedua tangannya memegang gelas teh manis yang tidak lagi panas. Ia terdiam sesaat lalu terisak sambil menarik napas panjang.
"Kami menduga, ibu tak tahan terus berbohong menyimpan masa lalunya. Gue hanya cerita rahasia keluarga gue ini ke elo." Ia menengadahkan wajahnya dan menatap saya. Air mata yang tadi menggenang di tepi pelupuk jatuh membentuk sungai kecil di pipinya.
"Ibu gue anak PKI. Gue keturunan PKI," katanya lirih.
Saya terdiam. Terbayang di benak saya, wajah ibu sahabat saya itu, seorang perempuan yang sangat santun. Ia selalu menawarkan makan tiap kali saya bertandang ke rumah teman saya itu.
Ibu teman saya itu adalah guru agama di sebuah sekolah dasar negeri. Selama bertahun-tahun, ia menyimpan rapat masa lalu keluarganya demi mendapatkan kehidupan dan perlakuan yang wajar. Terlebih lagi, ia adalah seorang pegawai negeri.
Litsus
Beberapa hari sebelum peristiwa pilu itu terjadi, kata teman saya, ibunya bercerita bahwa di sekolah sedang ada litsus. Ibunya terlihat resah.
Litsus atau penelitian khusus adalah momok yang amat menakutkan bagi mereka yang keluarganya tersangkut paut dengan PKI pada tahun 1965.
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 16 Tahun 1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri Republik Indonesia.
Setelah 25 tahun peristiwa 1965, Soeharto ingin "membersihkan" semua instansi pemerintah dari segala sesuatu yang disebutnya anasir PKI.
Kepres itu berisi perintah penelisikan apakah seorang pegawai negeri tersangkut paut atau tidak dalam gerakan PKI tahun 1965. Mereka yang diindikasikan terlibat kemudian digolongkan atau diklasifikasikan keterlibatannya.
Menurut Pasal 9 Kepres itu, "Terhadap Pegawai Negeri yang berdasarkan hasil penelitian ternyata terlibat dalam gerakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenakan penindakan administratif."
Harmoko, mantan Menteri Penerangan pada era Soeharto, dalam sebuah kesempatan pernah mengungkapkan, litsus adalah upaya pemerintah untuk menelusuri karakter dan ideologi seorang warga negara, terutama pegawai negeri sipil. Jejaknya pada masa lalu ditelusuri.
"Ada di mana waktu 1965. Termasuk cek keluarganya," kata dia.
"Ibu gue orang yang sangat jujur. Dia tidak pernah bisa berbohong. Dia begitu gelisah. Kami enggak nyangka dia bakal mengakhiri kegelisahannya dengan cara begitu," teman saya terisak. Baru kali ini saya melihatnya menangis.
Selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, bahkan di ujung kekuasannya pada tahun 1990-an, cap PKI adalah aib yang amat menodai kehormatan seorang manusia Indonesia. Ia seolah noda yang harus dipinggirkan dalam hidup bermasyarakat.
Ibu teman saya sepertinya tak kuat menanggung aib itu meskipun saya yakin seyakin-yakinnya ia adalah orang baik dan tidak paham apa itu komunisme. Ia masih remaja ketika peristiwa itu meletus.
Kita tahu, ada banyak cerita lain yang lebih mengenaskan tentang mereka yang diaibkan masyarakat karena sesuatu yang tak pernah dipahaminya.
Dalam simposium Membedah Tragedi 1965, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/4/2016) lalu, Sumini, seorang penyintas, memberi kesaksian bagaimana dirinya ditahan selama hampir 6,5 tahun hanya karena pernah menjadi Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ranting Pati, Jawa Tengah. Siksaan demi siksaan, stigma, bahkan cemoohan harus dia terima selama mendekam di penjara.
Kini, pada usia yang sudah menginjak 70 tahun pun ia masih tidak memahami apa yang menjadi dosa besar dirinya ketika memutuskan untuk bergabung dengan Gerwani. (Baca: Kisah Sumini Seorang Guru yang Dicap Komunis)
Kesaksian lain dituturkan seorang penyintas pada Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda, tahun lalu. Tintin Rahaju (bukan nama sebenarnya) berusia 70 tahun saat memberikan keterangan dalam persidangan itu.
Ia masih mahasiswa dan menyambi jadi guru saat peristiwa kelam itu terjadi. Tentara menangkapnya karena mencurigai dirinya sebagai anggota Gerwani.
Ia diinterogasi sambil disiksa dengan keji: naik ke atas meja, ditelanjangi, tubuhnya disunduti rokok, bulu kemaluan dan rambutnya dibakar. Maaf, saya terpaksa harus menyebut siksaan pada bagian kalimat paling akhir itu.
Ada banyak cerita lain yang tak mampu saya tulis karena jari jemari ini kelu untuk mencatat kisahnya. Cerita mereka itu menikam jantung kemanusiaan kita.
Ada ribuan manusia Indonesia tak bersalah (karena tak pernah diadili) dan tak mengerti "dosa"-nya, tetapi harus mengalami siksaan, diskriminasi sosial, keluarga yang tercerai berai, meninggal karena frustrasi, bahkan tewas ditembak (dan Pak Luhut serta Pak Sintong hanya peduli soal angka).
Tentang kepahitan hidup sebagai warga negara dengan cap PKI, penulis Pramoedya Ananta Toer menulis demikian sebagai tanggapan atas tulisan Goenawan Mohamad berjudul "Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer" yang dimuat di majalah Tempo 3-9 April 2000:
"Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar."
Pramoedya dilepaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dengan surat keterangan tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September.
Namun, di luar tahanan, ia tetap terpenjara oleh diskriminasi negara dan masyarakat. Ia masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999.
Tentang mereka yang digelandang dari rumahnya dan tewas ditembak di tengah hutan lalu dikubur secara asal dan bertumpuk, teman saya Lexy Rambadeta, seorang videojurnalis dan sutradara film dokumenter pernah mendokumentasikan penggalian kubur jasad 21 orang di tengah Hutan Situkup, Desa Dempes, Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah. Penggalian kubur itu dilakukan pada 16 November 2000.
Dalam video itu dikisahkan, saat tulang belulang korban hendak dimakamkan secara layak, warga desa melakukan protes dan menolak pemakaman. Diskriminasi dan penolakan bahkan terjadi pada tulang belulang mereka yang mati ditembak.
Sembilan kejahatan kemanusiaan
Tahun 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pernah membentuk tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966. Komnas meminta keterangan 349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat secara langsung peristiwa tersebut.
Komnas menyimpulkan, ada sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Korban 1965 bukan sekadar soal angka berapa yang tewas, melainkan soal kemanusiaan warga negara yang dirampas oleh negaranya sendiri. Yang disebut korban juga bukan sekadar orang perorangan, melainkan juga kita sebagai bangsa yang terbelah. Yang melakukan diskriminasi dan pengebirian atas kemanusiaan juga bukan sekadar orang, melainkan negara.
Pak Luhut dan Pak Sintong, permintaan maaf negara selayaknya tidak didasari oleh kontroversi angka korban, tetapi atas dasar kesadaran tulus pengakuan jujur negara bahwa pernah ada warga negara yang diinjak-injak dan dibunuh kemanusiaannya oleh negara yang seharusnya melindunginya sepanjang waktu pada rentang sejarah kelam itu.
Kita tentu saja menyambut baik simposium nasional yang diprakarsai oleh negara ini. Apa pun bentuk solusi yang akan diambil nanti, ini adalah sebuah langkah maju negara untuk berhadapan dengan masa lalunya yang pahit, juga langkah berani negara untuk berhadapan dengan kejujuran para penyintas.
Kita juga mengapresiasi pernyataan Gubernur Lemhanas Jenderal (Purn) Agus Widjojo yang juga penggagas simposium ini. Ia berulang kali menyatakan bahwa simposium ini tidak dimaksudkan untuk mencari benar-salah, tetapi menempatkan tragedi ini secara jujur dalam semangat rekonsiliasi. Kita ingin berdamai dengan masa lalu.
Dan, kita terperenyak mendengar pernyataan Pak Luhut soal negara yang tak terpikir meminta maaf. Pernyataan itu seperti pisau yang menikam jantung. Ia seolah mengingkari kehidupan, seperti kain yang melilit leher ibu teman saya di kusen pintu.
Sumber: Kompas.Com
0 komentar:
Posting Komentar