VIVA.co.id – Ratusan orang berkumpul di sebuah pabrik padi di belantara Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Malam itu, di waktu yang sudah tak diingat Sudirman. Ia diangkut paksa dengan sebuah truk sampah ke sebuah hutan di Dusun Plombon Wonosari.
"Malam itu ratusan orang dikumpulkan dan diperiksa. Yang akan ditembak dijejer-jejer (berbaris). Saya salah satunya," kata Sudirman mengenang tragedi pembantaian massal pada tahun 1965.
Sudirman mengingat betul bagaimana mencekamnya hari itu. Hujan yang gerimis dan lubang kubur yang sudah disiapkan menjadi 'hantu' kenangan di kepalanya.
"Saya menyaksikan teman-teman perjuangan saya ditembaki berkali-kali di badan," tutur Sudirman dengan mata berkaca-kaca.
Malam itu, Sudirman menghitung sudah ada 28 orang yang meninggal ditembaki. Darah menggenang dan setiap yang mati dengan sendirinya bergelimpangan di lubang yang telah disiapkan.
Desing peluru dan aroma mesiu mencekat hidung. Sudirman bergidik dan gemetar hebat di barisan. Lalu, ketika tiba gilirannya. Letupan peluru mendadak berhenti. Rupanya, Tuhan berpihak kepada pria yang mengaku waktu ditangkap masih berusia 34 tahun tersebut.
FOTO: Sudirman (84), pria yang selamat dari pembantaian massal yang dilakukan militer Indonesia pada tahun 1965.
"Saya selamat karena peluru aparat yang menembaki itu habis. Kemudian saya dibawa lagi ke tahanan di Kendal," kata Sudirman dalam perbincangan dengan VIVA.co.id tahun lalu.
Tapi sial. Selamat dari pembantaian massal itu tak membuat Sudirman bernasib baik. Ia habis dipukuli selama di penjara. Keluar masuk penjara pun menjadi langganan. Dari lembaga pemasyarakatan Nusakambangan, Kendal hingga Semarang pun dicicipi Sudirman.
Dan kini, berpuluh tahun berlalu. Kenangan kejam itu tak bisa begitu saja lenyap di kepala Sudirman. Apa yang disaksikannya menjadi anyaman sejarah yang kini hendak diberangus. Sudirman menjadi saksi praktik pembunuhan massal yang mengatasnamakan negara.
Memecah Tabu
Setengah abad berjalan. Kisah-kisah di 1965 selalu menjadi isu sensitif di Indonesia. Siapa yang mengungkit itu selalu dikaitkan dengan upaya mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sehingga diskusi atau apa pun yang berkaitan dengan 1965 pasti diburu untuk dicekal, dibubarkan atau ditiadakan. Lewat militer atau pun organisasi masyarakat akhirnya menjadi ujung tombak ampuh menekan siapa pun yang membicarakan tentang 1965.
Pelanggengan bahwa PKI-lah yang bertanggung jawab dalam tragedi 1965 pun terkesan dipaksa melekat di benak. Menguat dan harus membekas di setiap generasi.
Lantas bagaimanakah kisah sesungguhnya di tahun 1965? Hingga kini, semuanya masih kabur. Namun, banyak pihak meyakini memang banyak sekali korban nyawa akibat tragedi 1965.
FOTO: Aksi protes warga di Jawa Barat menolak kemunculan PKI
Sebab itu, tak pandang bulu dan tanpa jelas indikatornya apa. Militer dibantu sejumlah organisasi masyarakat pun berburu mereka yang dianggap PKI. Dipenjarakan atau pilihannya dibunuh tanpa tahu di mana nisannya.
"Ratusan ribu nyawa melayang karena dibantai secara sadis dan keji. Pengungkapan fakta atas kejadian itu seolah menjadi hal yang 'haram' untuk dibuka," ujar peneliti Direktorat Riset dan Pengabdian masyarakat Universitas Indonesia Saras Dewi.
Atas itu, upaya menghapus tabu soal PKI memang harus diluruskan terlebih dahulu. Sehingga, tragedi 1965 bisa diselesaikan secara menyeluruh, dalam, dan tidak menyinggung siapa pun yang mungkin saja terkait.
Tawaran Rekonsiliasi
Bagaimana sesungguhnya kisah tragedi 1965, memang harus diungkap. Kesaksian Sudirman bukan tidak mungkin menjadi titik awal
Sejauh ini. Pemerintah Indonesia memang masih abu-abu menyikapi soal ini.
Baru belakangan ini, pemerintah memunculkan sikap seolah membuka diri soal tragedi 1965. Karena itu pertama kalinya pula akhirnya digelar Simposium Tragedi 1965.
Namun memang, belakangan ini muncul kesan bahwa simposium ini belum menunjukkan titik terang untuk penyelesaian terkait dugaan pelanggaran HAM berat pada masa lalu itu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan yang memprakarsai simposium justru menegaskan sedari awal, bahwa pemerintah tidak akan pernah meminta maaf apa pun terhadap tragedi di balik 1965.
"Pemerintah tidak pernah terpikir akan minta maaf. Mau minta maaf kepada siapa? Korban mana?" kata Luhut dalam simposium yang digelar di Jakarta, Senin 18 April 2016.
Bahkan, Luhut juga menantang kepada setiap aktivis pembela tragedi 1965 untuk menyingkap bukti-bukti yang berkaitan dengan tragedi 1965.
"Saya malah minta kalau ada yang punya alat bukti kita lihat, kita gali kuburan massalnya. Jadi jangan hanya dengan wacana saja," katanya.
FOTO: Aksi para korban pelanggaran HAM pada tahun 1965 menuntut janji pemerintah.
Begitu pun Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia juga menyerukan hal serupa dan menilai ada kesalahan persepsi publik terkait kabar pembantaian massal pada tahun 1965.
Sebab itu, ia juga meyakini bahwa soal tragedi 1965 hanyalah sebuah isapan jempol dan memang diragukan kebenarannya. "Ini kan masalahnya adanya perbedaan data yang mengatakan ada ratusan ribu. Kalau ratusan ribu di mana itu? Tidak ada yang bisa menunjukkan. Kalau ratusan ribu kan pasti banyak kuburan massal, nggak ada yang bisa menunjukkan. Berarti kita tidak seperti itu," ujar Kalla.
Lalu, apa yang hendak disampaikan pemerintah sesungguhnya? Sejatinya, sejak awal, pemerintah memang sudah mengakui kesulitan untuk membongkar ulang sejarah masa lalu pada tahun 1965.
Minimnya bukti dan data yang bisa menjadi tonggak awal pelurusan tragedi 1965, menjadi masalah nyata pemerintah. Sebab itu, akhirnya muncul istilah rekonsiliasi.
Konsepsi inilah yang kini dipegang oleh Presiden Joko Widodo. "Presiden menyampaikan tawaran gagasan untuk menyelesaikan dengan non yudisial yaitu rekonsiliasi. Dan ini sudah dipertimbangkan masak-masak," kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo.
Ya rekonsiliasi. Singkatnya ini adalah bentuk 'penmahfuman' secara legal tentang tindakan masa lalu. Langkah ini juga tak berkaitan dengan sanksi hukum sebab lebih kepada pengakuan secara 'pasrah' bahwa dugaan pelanggaran hukum masa lalu cukup menjadi catatan sejarah.
Bukan Solusi
Sejauh ini, sejumlah aktivis dan pemerhati HAM dibantu sejumlah korban pada tragedi 1965, memang terus berjuang mengumpulkan sejumlah data penguat tentang fakta pembantaian massal pada tahun 1965.
Beberapa memang sudah menjadi saksi hidup yang bisa dipertanggungjawabkan. Seperti para korban tahanan tanpa sidang di Pulau Buru, terus kesaksian Mbah Sudirman di Kendal Jawa Tengah dan masih banyak lagi.
Beberapa catatan menyebut, setidaknya ada 500 ribu orang diperkirakan tewas dalam pembantaian massal pada tahun 1965 hingga 1966. Namun perkiraan lain juga menyebut hingga dua jutaan orang.
Dan tentu, jumlah itu di luar dari mereka yang disiksa dan dipenjara serta diasingkan ke tempat tak dikenal. "Di Wonosari kami menemukan ada kuburan 24 orang korban tragedi 1965. Mereka dituduh PKI, dibunuh, dihilangkan, ditawan, diperkosa, diperbudak dan sebagainya," kata Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah Semarang Rukardi Achmadi.
Menelusuri di mana letak kubur yang sudah berkalang tanah selama 50 tahun memang tidak mudah. Desas-desus tentang pembersihan kelompok PKI mulai dari Jakarta, Sumatera, Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan Bali pada tahun 1965, memang harus dikonfirmasi.
FOTO: Nisan para korban pembantaian militer terhadap warga sipil yang dianggap terlibat PKI pada tahun 1965.
PKI atau bukan, faktanya mereka adalah warga negara Indonesia yang tidak semestinya mendapatkan perlakuan kejam dengan cara dibunuh atau dihukum tanpa diadili.
Ratusan, ribuan atau pun jutaan mereka yang mati dalam seteru politik di 1965 bukan alasan bahwa hal itu legal atau bisa dimaklumi. Sebab itu maklum adanya, rekonsiliasi pun dianggap tak tepat untuk menyelesaikan masalah tragedi 1965.
"Salah satu tujuannya (penyelesaian kasus HAM) adalah untuk hilangkan impunitas. Ini malah beri amnesti buta (rekonsiliasi) untuk pelaku. Ini akan menjadi jalan bagi Indonesia dalam kebudayaan baru penyelesaian HAM," kritik pemerhati HAM Robertus Robet. (umi)
0 komentar:
Posting Komentar