Prima Gumilang, CNN
Indonesia | Kamis, 21/04/2016 19:23 WIB
Kusnendar menghabiskan sembilan tahun di Pulau Buru, Maluku, sebagai
tahanan politik 1965. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kusnendar, pegawai personalia
Departemen Perindustrian Rakyat, menghabiskan sembilan tahun di Pulau Buru, Maluku,
sebagai orang buangan. Dia mesti menanggung derita karena dituding menjadi
bagian dari Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia.
Dia dituding membunuh jenderal, bahkan memotong pelir sang jenderal. Kusnendar diinterogasi dan diminta mengaku, namun tak mau karena merasa tak bersalah.
Dia dituding membunuh jenderal, bahkan memotong pelir sang jenderal. Kusnendar diinterogasi dan diminta mengaku, namun tak mau karena merasa tak bersalah.
Setelah disiksa dan berpindah penjara beberapa kali tanpa
diadili, Kusnendar akhirnya menjejakkan kaki di Buru bersama para tahanan
politik kasus 1965 lainnya.
Berikut kisah sembilan tahun Kusnendar menghuni Buru seperti ia ceritakan kepada wartawan CNNIndonesia.com, Prima Gumilang.
Tahun 1969, saya dibawa ke Pulau Buru. Itu gelombang pertama, terdiri dari tiga unit. Tiap unit 500 orang. Total yang dibawa 1.500 orang. Saya unit dua, Pramoedya Ananta Toer unit tiga. Unit tiga menyeberang Kali Waeapo, jaraknya 10 kilometer.
Di sana, kami kerja paksa. Paling berat kerja rodi. Bikin bendungan, enggak dibayar. Bikin sawah berhektar-hektar.
Dari 500 orang tiap unit, dibagi-bagi jadi 50 orang tiap barak. Satu unit 10 barak.
Ada yang tugas cari sayuran atau sagu untuk menambah makanan. Jatah makan 400 gram sagu.
Saya cari sagu selama delapan bulan. Kalau pulang dari sawah, sagu mesti bawa empat tumang, dipikul untuk teman-teman di barak.
Selama di Buru, ada yang berusaha kabur. Katanya orang di Pulau Buru, akan dijemput kapal dari Laut Banda. Tapi saya enggak mau (mencoba kabur). Itu enggak masuk akal.
Di pinggir laut sudah dipasang kawat berduri dan ada petugas. Di barak juga dipagari kawat berduri. Keluar (Buru) juga mau apa? Di unit juga ada Tonwal (batalyon pengawal), jadi enggak mungkin (kabur).
Berikut kisah sembilan tahun Kusnendar menghuni Buru seperti ia ceritakan kepada wartawan CNNIndonesia.com, Prima Gumilang.
Tahun 1969, saya dibawa ke Pulau Buru. Itu gelombang pertama, terdiri dari tiga unit. Tiap unit 500 orang. Total yang dibawa 1.500 orang. Saya unit dua, Pramoedya Ananta Toer unit tiga. Unit tiga menyeberang Kali Waeapo, jaraknya 10 kilometer.
Di sana, kami kerja paksa. Paling berat kerja rodi. Bikin bendungan, enggak dibayar. Bikin sawah berhektar-hektar.
Dari 500 orang tiap unit, dibagi-bagi jadi 50 orang tiap barak. Satu unit 10 barak.
Ada yang tugas cari sayuran atau sagu untuk menambah makanan. Jatah makan 400 gram sagu.
Saya cari sagu selama delapan bulan. Kalau pulang dari sawah, sagu mesti bawa empat tumang, dipikul untuk teman-teman di barak.
Selama di Buru, ada yang berusaha kabur. Katanya orang di Pulau Buru, akan dijemput kapal dari Laut Banda. Tapi saya enggak mau (mencoba kabur). Itu enggak masuk akal.
Di pinggir laut sudah dipasang kawat berduri dan ada petugas. Di barak juga dipagari kawat berduri. Keluar (Buru) juga mau apa? Di unit juga ada Tonwal (batalyon pengawal), jadi enggak mungkin (kabur).
Saya di Buru dari 1969 sampai 1978. Saya kloter kedua
yang pulang dari Buru. Kloter pertama pergi tahun 1977, kloter kedua 1978, dan
kloter terakhir 1979. Pramoedya kloter terakhir.
Waktu di Pulau Buru, saya sering juga ketemu Pramoedya. Di Buru kan kami mengadakan kegiatan. Ada sepakbola, kesenian, main ketoprak. Tapi saya ke sawah, mencari sagu saja setiap hari. Kegiatan kesenian teman-teman lain.
Waktu di Pulau Buru, saya sering juga ketemu Pramoedya. Di Buru kan kami mengadakan kegiatan. Ada sepakbola, kesenian, main ketoprak. Tapi saya ke sawah, mencari sagu saja setiap hari. Kegiatan kesenian teman-teman lain.
Orang sana (asli Buru) diindoktrinasi oleh Tonwal sebelum kami datang. Tonwalnya orang Ambon, Maluku. Katanya, “Awas, penduduk sini enggak boleh bergaul dengan orang-orang yang datang dari Jawa (tahanan politik), sebab orang Jawa jahat-jahat dan suka makan orang.”Jadi selama di Buru, kami berusaha cari cara bagaimana supaya bisa bergaul dengan penduduk, bagaimana bisa nebang sagu.
Tiap pagi kami sarapan ikan asin sepotong dan bulgur
(biji gandum yang ditumbuk kasar dan dikeringkan). Itu makanan kuda kalau di
Amerika.
Kami cari makan sendiri. Masa panen padi, makanan begitu limpah ruah, tapi kami nyuri karena jatah tetap 400 gram. Jadi supaya kenyang, kami mencuri. Kalau panen, diwadahi dua karung, dibawa ke hutan, diumpetin. Kebetulan teman yang nyuri, ditaruh di gudang teman kami sendiri, bisa diatur.
Kami cari makan sendiri. Masa panen padi, makanan begitu limpah ruah, tapi kami nyuri karena jatah tetap 400 gram. Jadi supaya kenyang, kami mencuri. Kalau panen, diwadahi dua karung, dibawa ke hutan, diumpetin. Kebetulan teman yang nyuri, ditaruh di gudang teman kami sendiri, bisa diatur.
Hubungan kami dengan warga sekitar akhirnya baik. Waktu kami mau pulang saja, mereka nangis, terharu. Kata mereka, “Kami bagaimana nanti kalau ditinggal?”Biasanya kalau kami ada pentas kesenian, mereka kami undang, makan rame-rame, nyanyi. Saya tiap hari nyeberang kali, kasih sagu (ke warga setempat). Dia seneng banget bulgur.
Di Buru, asal kami enggak melanggar aturan, tak dikerasi.
Istilahnya setengah bebas, tapi enggak boleh melanggar peraturan dari unit.
Kalau pergi misalnya, harus lapor ke pos Tonwal. Pulang juga harus lapor. Malam
dicek lagi di barak. Jadi seolah bebas, tapi terawasi.
Kami juga diskusi di sana. Bahasannya situasi politik saja. Kawan dari gereja, pendeta, datang bawa koran, kami baca. Kami nambah gula, roti, makanan lain, juga dari orang gereja.
Dalam situasi relatif agak damai, tim rehab memberikan kelonggaran untuk kirim surat ke keluarga, diberi warkat pos, suruh nulis sendiri. Yang bawa (warkat pos) ke sana ya pastor atau pendeta. Surat itu lalu dikumpulin dan dibawa oleh pendeta.
Mereka (pendeta) pulang ke Jawa, cari orang-orang yang dikirimi surat itu, ketemu.
Dalam surat yang saya tulis, saya bilang tolong kalau ada umur kirimlah barang bekas, kain, baju bekas, untuk saya. Ternyata dikirim. Ternyata keluarga masih ingat saya.
Sejak bebas, saya enggak pernah ke Pulau Buru lagi. Enggak ada duit. Biaya ke sana kan banyak.
Ada teman di Buru yang minta saya untuk main ke sana, ditawari pulang diongkosi. Tapi untuk pergi ke sana berapa duit.
Saya dulu sudah piknik (dibuang) ke Buru sembilan tahun enggak bayar, malah pemerintah yang bayar, haha.
Kami juga diskusi di sana. Bahasannya situasi politik saja. Kawan dari gereja, pendeta, datang bawa koran, kami baca. Kami nambah gula, roti, makanan lain, juga dari orang gereja.
Dalam situasi relatif agak damai, tim rehab memberikan kelonggaran untuk kirim surat ke keluarga, diberi warkat pos, suruh nulis sendiri. Yang bawa (warkat pos) ke sana ya pastor atau pendeta. Surat itu lalu dikumpulin dan dibawa oleh pendeta.
Mereka (pendeta) pulang ke Jawa, cari orang-orang yang dikirimi surat itu, ketemu.
Dalam surat yang saya tulis, saya bilang tolong kalau ada umur kirimlah barang bekas, kain, baju bekas, untuk saya. Ternyata dikirim. Ternyata keluarga masih ingat saya.
Sejak bebas, saya enggak pernah ke Pulau Buru lagi. Enggak ada duit. Biaya ke sana kan banyak.
Ada teman di Buru yang minta saya untuk main ke sana, ditawari pulang diongkosi. Tapi untuk pergi ke sana berapa duit.
Saya dulu sudah piknik (dibuang) ke Buru sembilan tahun enggak bayar, malah pemerintah yang bayar, haha.
0 komentar:
Posting Komentar