Ari Susanto | 5:30 PM, April 29, 2016
Masih relevankah membicarakan kuburan massal sebagai indikator untuk menentukan apakah pelanggaran HAM 1965 terjadi?
Pasca digelarnya Simposium Nasional 1965 di Jakarta, semua media cetak dan online berlomba menaikkan cerita tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) setengah abad lalu. Beberapa media mainstream
yang semula adem ayem –dan menutup mata terhadap upaya pengungkapan
kebenaran atas peristiwa kekerasan yang diduga menghilangkan 500.000
hingga jutaan nyawa– tiba-tiba latah meramaikan laman situsnya dengan
cerita-cerita sejarah kelam ’65.
Salah satunya adalah tentang respons media terhadap
pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut
Pandjaitan yang meminta siapapun untuk membuktikan keberadaan kuburan
massal korban pembantaian 1965 yang diduga melibatkan militer dan
kelompok sipil. Media mendatangi narasumber seperti Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Komnas HAM untuk mendapatkan data kuburan massal.
Saya bukan aktivis HAM yang tahu statistik berapa orang
mati dan dikubur di mana. Saya hanya kebetulan banyak bertemu dan
mendengar langsung cerita para penyintas dan keluarga korban di beberapa
“garis merah” di Jawa Tengah, yang diduga kuat pernah menjadi ladang
jagal (killing field) dan juga tempat pelarian terakhir Ketua
Central Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI) DN Aidit sebelum
ditangkap dan dieksekusi.
Banyak dari mereka yang bercerita tentang tempat-tempat
algojo mengeksekusi para tahanan terduga komunis. Beberapa di antaranya
adalah saksi mata peristiwa, namun ada pula yang masih perlu
diverifikasi kebenarannya karena hanya mendengar cerita dari saksi yang
sudah meninggal.
Memang tidak semua cerita bisa saya tulis untuk pembaca
Rappler karena ada narasumber yang belum pulih dari trauma masa lalu
atau takut tekanan aparat atau ormas di daerah yang masih kuat. Mereka
biasanya hanya bersedia berbagi cerita untuk memberikan saya gambaran
peristiwa.
Soal kuburan massal, ada satu hal penting yang luput dari
perhatian publik, yaitu bahwa peristiwa ’65 adalah tragedi kekerasan dan
penghilangan paksa (forced disappearance). Korban diculik, ditahan, disiksa, dan dibuang dalam keadaan tak bernyawa.
Saya selalu mendapati cerita sama dari para penyintas di
beberapa kota yang menuturkan peristiwa “bon malam”, yaitu pengambilan
tahanan dari penjara atau kamp di malam hari untuk diinterogasi sebelum
akhirnya dieksekusi pada dini hari. Mereka yang masuk dalam daftar
tahanan A –orang-orang penting partai merah– menjadi target
penghilangan paksa.
Kebanyakan tahanan dibawa ke tempat yang sepi atau
terpencil dari pemukiman penduduk, seperti sungai, hutan, dan goa.
Eksekusi dilakukan dengan sistem tukar tahanan antar kota. Tahanan dari
kota A dieksekusi di kota B atau C, begitu sebaliknya.
Berdasarkan penuturan Mulyadi, seorang saksi yang dekat
dengan komandan penjaga sebuah kamp di Solo, para tahanan yang “dibon”
dibawa ke Wonogiri. Begitu pula dengan kesaksian para penggali kubur di
Purwantoro, sebuah kecamatan di Timur Wonogiri, yang menyaksikan
orang-orang dari luar daerah digiring ke kuburan menjemput ajal mereka.
Tetapi ada pula yang dieksekusi di kamp, lalu mayatnya
dibuang ke sungai, seperti yang diceritakan Martono, salah seorang
penyintas yang punya kesaksian langka – dipaksa mengantar dan membuang
mayat setiap malam selama dua tahun di sungai Bengawan Solo –yang juga
bersaksi di International People’s Tribunal (IPT) 2015 di Den Haag,
Belanda.
Baca kisah Martono di sini.
Barjo, salah seorang tahanan yang lolos menceburkan diri
ke sungai sebelum ditembak, menuturkan jumlah tahanan yang diikat dan
diangkut truk ke Bacem lebih dari 20 orang dalam semalam. Cerita tentang
Jembatan Bacem bisa
Tempat
menjagal tahanan yang lainnya adalah goa-goa vertikal di pegunungan
karst yang terbentang dari Gunung Kidul sampai Wonogiri. Permukaan tanah
kapur gersang yang dibawahnya mengalir sungai-sungai bawah tanah yang
terhubung dengan Samudera Hindia itu menjadi “kuburan” para terduga
pengikut partai palu arit.
Setidaknya ada dua goa vertikal – masyarakat setempat menyebutnya luweng
– yang banyak diketahui sebagai tempat membuang tahanan, yaitu Luweng
Grubug (Gunung Kidul) dan Luweng Mloko (Wonogiri).
Seperti penuturan
Paul de Blot, pastor Angkatan Laut dan dosen agama di Universitas Gadjah
Mada yang menemani tahanan dan menyelamatkan anak-anak mereka di
Yogyakarta pada periode 65-66.
Bagaimana dengan Wiji Thukul dan 12 aktivis yang tak pernah ditemukan kuburannya? Apakah kita akan menyangkal tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada mereka hanya karena tidak pernah melihat kuburannya?
De Blot bercerita tentang penangkapan massal di kota
pelajar dan sekitarnya. Mereka ditahan di penjara Wates (Kulonprogo) dan
penjara Wirogunan (Yogyakarta). Siang hari, tentara menghadang
truk-truk yang lewat di jalan-jalan besar dan meminjamnya untuk
mengangkut para tahanan ke Gunung Kidul pada malam hari.
Bersama beberapa pastor lain, ia mendoakan dan menyaksikan
para tahanan dijatuhkan ke dalam lubang vertikal sedalam sekitar 90
meter. Keesokan harinya, mayat-mayat yang terbawa arus sungai di dasar
goa muncul dan terapung di pantai selatan.
Ketika ada pemberitahuan dari komandan kamp tentang
rencana eksekusi, de Blot mendatangi penjara dan mencatat nama dan
alamat tahanan yang akan mati malam harinya. Namun, pastor itu tak
pernah cerita kepada tahanan bahwa mereka akan mati.
Daftar itu kemudian yang ia gunakan untuk mendatangi
keluarganya dan memberikan pelayanan agama. De Blot juga bercerita,
begitu ada tahanan yang diambil, ada tahanan baru yang masuk penjara.
Sedangkan cerita Luweng Mloko banyak dikisahkan oleh
penduduk setempat yang sudah tua. Ceritanya mirip kesaksian de Blot,
tahanan diangkut truk dini hari, dieksekusi, dan dilempar ke dasar goa.
Selama tiga bulan, goa itu menebar bau busuk ke desa-desa sekitarnya.
Beberapa penduduk sekitar kemudian mendatangi goa di atas
bukit itu untuk menutupinya dengan dedaunan, namun mereka malah
menemukan sesok mayat tersangkut di bibir goa yang kemudian mereka
dorong dengan bambu agar jatuh.
Luweng Grubug sudah dibersihkan. Tengkorak dan
tulang-tulangnya diangkat dan dipindahkan sebelum tempat itu dikelola
untuk wisata susur goa oleh speleolog Indonesia, Cahyo Alkantana.
Sementara Luweng Mloko konon belum pernah dijamah.
Saya juga mendapat cerita tentang beberapa kuburan massal
yang pernah didatangi Yayasan Penyelidikan Korban Pembunuhan ’65 untuk
kepentingan pendataan. Bahkan seorang narasumber, yang juga penyintas,
pernah sesumbar kepada saya bahwa ia mengetahui lokasi-lokasi para
tahanan dikubur.
Namun, rasanya tidak adil jika kuburan massal menjadi
indikator tunggal untuk menentukan ada tidaknya kekerasan dan
pelanggaran HAM berat. Apalagi jika itu digunakan sebagai dasar
menghitung jumlah korban kekerasan.
Bagaimana dengan Wiji Thukul dan 12 aktivis yang tak
pernah ditemukan kuburannya? Apakah kita akan menyangkal tidak terjadi
pelanggaran HAM berat pada mereka hanya karena tidak pernah melihat
kuburannya?
Kuburan massal hanya salah satu bukti penting yang merekam peristiwa penghilangan paksa, tetapi bukanlah bagian pokok
dari narasi kekerasan terhadap kemanusiaan. Penghilangan paksa satu
atau seratus nyawa sama-sama tak bisa dibenarkan, apalagi untuk negara
yang menganut prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jika melihat cara-cara penghilangan paksa seperti di atas – tidak selalu mengubur korban – apakah masih relevan mempersoalkan kuburan massal sebagai jalan masuk untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM '65? —Rappler.com
Sumber: Rappler.Com
very informative post. I will use the suggestions discussing here for optimizing my new blog site.This post will be very helpful for the begaineer SEO worker who are new in this field.
BalasHapusKeep posting this type of helpful post.
With best wishes.WinUtilities Professional Edition 14.66