Sabtu, 30/04/2016 15:42 WIB
Eka Kurniawan (CNN Indonesia/M. Andika Putra)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Eka Kurniawan punya standar sendiri soal buku
bacaan. Ia lebih suka novel-novel Barat. Saban malas kuliah dan
menghabiskan waktu di
perpustakaan, ia lebih sering membaca novel Barat ketimbang Indonesia.
Salah satu alasan Eka: susah menemukan novel Indonesia yang, menurutnya, bagus. Tapi selera pria berkacamata ini berubah saat akhirnya mengenal karya Pramoedya Ananta Toer, penulis asal Blora, Jawa Tengah.
"Suatu hari teman saya meminjamkan buku Pram yang berjudul Bumi Manusia," cerita Eka kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu. Dahaga Eka akan sastra berkualitas langsung tercukupi.
perpustakaan, ia lebih sering membaca novel Barat ketimbang Indonesia.
Salah satu alasan Eka: susah menemukan novel Indonesia yang, menurutnya, bagus. Tapi selera pria berkacamata ini berubah saat akhirnya mengenal karya Pramoedya Ananta Toer, penulis asal Blora, Jawa Tengah.
"Suatu hari teman saya meminjamkan buku Pram yang berjudul Bumi Manusia," cerita Eka kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu. Dahaga Eka akan sastra berkualitas langsung tercukupi.
Setelah membaca karya Pram, ia langsung berpikir, "Ada ya penulis Indonesia yang bisa menulis seperti ini."
Ia langsung suka dan ketagihan. Sayangnya, kala itu novel-novel Pram susah ditemukan. Pada era 1990-an, Jaksa Agung memang melarang buku-buku Pram diedarkan. Jika ketahuan memiliki atau mengedarkan bakal kena tangkap.
"Ada mahasiswa yang jual, dan ditangkap," ujar alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.
Alasannya, apa lagi jika bukan dianggap beraliran kiri. Pram sendiri memang dicap komunis. Selama 14 tahun, ia dibungkam oleh rezim Orde Baru. Dijebloskan dari penjara ke penjara, sampai diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, selama 10 tahun tanpa pernah diadili.
Meski begitu, Pram tetap bersuara lewat tulisan. Di Buru, ia bahkan berhasil menuntaskan tetralogi. Salah satunya Bumi Manusia, yang
memincut hasrat Eka terhadap sastra Indonesia.
Usai membaca itu, Eka pun kelimpungan. Penasaran ia mencari buku-buku Pram. Mulai bertanya pada teman, ke toko buku, sampai nekat bergerilya ke penjual-penjual "underground." Di toko-toko buku, ia bertanya dengan berbisik, tak berani keras-keras karena takut ditangkap aparat.
"Beberapa toko ternyata ada yang menyembunyikan," ia melanjutkan. Bahkan ia sempat mendapatkan edisi pertama cetakan Hasta
Mitra, penerbit yang mengedarkan buku-buku Pram dari bundelan naskah hasil di Buru.
"Langsung saya baca semua, dan begitu baca langsung suka," ucap Eka antusias.
Ia melihat ada gaya menulis yang berbeda dari Pram. "Realis modern, tapi efektif," ia berkomentar. Kata-katanya indah sekaligus kritis, tapi di saat yang sama tetap mampu menyampaikan gagasan tentang modernisme dan filsafat positivisme.
"Dan tanpa banyak khotbah," Eka menambahkan.
Cerita Pram tak pernah lepas dari Indonesia, yang dibuat semifiktif. Segala pengetahuan dan konsep kebangsaan serta dunia yang dicita-citakan dituangkan, tapi tidak muluk-muluk. "Saya nyambung dengan itu semua," tutur Eka.
Ia sendiri pernah secara langsung bertemu Pram. Usianya masih 24 tahun, kala itu. Untuk keperluan skripsi, Eka harus mewawancarai sosok yang ia idolakan. "Layaknya anak kecil bertemu orang yang dikagumi. Segala hal saya tanya," katanya.
Hingga sekarang, Eka, yang belakangan juga menjadi penulis bahkan masuk nominasi Man Booker Prize, masih merasa Pram adalah sastrawan terbaik yang dimiliki Indonesia. "Seperti posisi Chairil Anwar pada puisi."
Ia melihat ada sisi positif dan negatif dari kenyataan itu. Positifnya jelas, Indonesia pernah punya sastrawan yang mendunia. Bukunya
diterjemahkan ke berbagai bahasa dan namanya dikenal di penjuru negara. Tapi negatifnya, Pram dan Chairil sama-sama dari angkatan
"jebot."
"Mereka itu produk angkatan '45. Dan selama 70 tahun tidak ada yang melampaui mereka, itu fakta buruknya," tutur penulis Lelaki Harimau itu. Ia melanjutkan, "Novel terbaik Indonesia adalah saat Orde Baru, dan dilahirkan oleh seorang tua bernama Pram."
Orang tua itu telah tiada, satu dekade lalu. Tepatnya, pada 30 April 2006.
Banyak yang menyebut Eka bisa menjadi penggantinya, mengingat novel-novelnya pun menyampaikan ide secara brilian dan bernas tanpa menggurui. Karya Eka juga sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Satu dekade setelah kepergian Pram, masihkah ia menjadi satu-satunya penulis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia? Atau sudah ada novelis lain seperti Eka yang membuat sastra Indonesia kembali diakui dunia?
(rsa/vga)
Ia langsung suka dan ketagihan. Sayangnya, kala itu novel-novel Pram susah ditemukan. Pada era 1990-an, Jaksa Agung memang melarang buku-buku Pram diedarkan. Jika ketahuan memiliki atau mengedarkan bakal kena tangkap.
"Ada mahasiswa yang jual, dan ditangkap," ujar alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.
Alasannya, apa lagi jika bukan dianggap beraliran kiri. Pram sendiri memang dicap komunis. Selama 14 tahun, ia dibungkam oleh rezim Orde Baru. Dijebloskan dari penjara ke penjara, sampai diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, selama 10 tahun tanpa pernah diadili.
Meski begitu, Pram tetap bersuara lewat tulisan. Di Buru, ia bahkan berhasil menuntaskan tetralogi. Salah satunya Bumi Manusia, yang
memincut hasrat Eka terhadap sastra Indonesia.
Usai membaca itu, Eka pun kelimpungan. Penasaran ia mencari buku-buku Pram. Mulai bertanya pada teman, ke toko buku, sampai nekat bergerilya ke penjual-penjual "underground." Di toko-toko buku, ia bertanya dengan berbisik, tak berani keras-keras karena takut ditangkap aparat.
"Beberapa toko ternyata ada yang menyembunyikan," ia melanjutkan. Bahkan ia sempat mendapatkan edisi pertama cetakan Hasta
Mitra, penerbit yang mengedarkan buku-buku Pram dari bundelan naskah hasil di Buru.
"Langsung saya baca semua, dan begitu baca langsung suka," ucap Eka antusias.
Ia melihat ada gaya menulis yang berbeda dari Pram. "Realis modern, tapi efektif," ia berkomentar. Kata-katanya indah sekaligus kritis, tapi di saat yang sama tetap mampu menyampaikan gagasan tentang modernisme dan filsafat positivisme.
"Dan tanpa banyak khotbah," Eka menambahkan.
Cerita Pram tak pernah lepas dari Indonesia, yang dibuat semifiktif. Segala pengetahuan dan konsep kebangsaan serta dunia yang dicita-citakan dituangkan, tapi tidak muluk-muluk. "Saya nyambung dengan itu semua," tutur Eka.
Ia sendiri pernah secara langsung bertemu Pram. Usianya masih 24 tahun, kala itu. Untuk keperluan skripsi, Eka harus mewawancarai sosok yang ia idolakan. "Layaknya anak kecil bertemu orang yang dikagumi. Segala hal saya tanya," katanya.
Hingga sekarang, Eka, yang belakangan juga menjadi penulis bahkan masuk nominasi Man Booker Prize, masih merasa Pram adalah sastrawan terbaik yang dimiliki Indonesia. "Seperti posisi Chairil Anwar pada puisi."
Ia melihat ada sisi positif dan negatif dari kenyataan itu. Positifnya jelas, Indonesia pernah punya sastrawan yang mendunia. Bukunya
diterjemahkan ke berbagai bahasa dan namanya dikenal di penjuru negara. Tapi negatifnya, Pram dan Chairil sama-sama dari angkatan
"jebot."
"Mereka itu produk angkatan '45. Dan selama 70 tahun tidak ada yang melampaui mereka, itu fakta buruknya," tutur penulis Lelaki Harimau itu. Ia melanjutkan, "Novel terbaik Indonesia adalah saat Orde Baru, dan dilahirkan oleh seorang tua bernama Pram."
Orang tua itu telah tiada, satu dekade lalu. Tepatnya, pada 30 April 2006.
Banyak yang menyebut Eka bisa menjadi penggantinya, mengingat novel-novelnya pun menyampaikan ide secara brilian dan bernas tanpa menggurui. Karya Eka juga sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Satu dekade setelah kepergian Pram, masihkah ia menjadi satu-satunya penulis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia? Atau sudah ada novelis lain seperti Eka yang membuat sastra Indonesia kembali diakui dunia?
(rsa/vga)
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160430154257-241-127720/pram-layak-disebut-novelis-terbaik-indonesia/
0 komentar:
Posting Komentar