Rika Theo* | Apr 27, 2016
Rika
sempat berfoto dengan Bung Wardjo, seorang eksil yang saat ini tinggal di
Amsterdam, di kediamannya.
Pada suatu siang yang tidak terlalu nyaman di Amsterdam, berangin dan
dingin, saya memasuki sebuah apartemen kecil penuh buku. Di pintu apartemen itu
tertulis nama Samardji. Namun pria 88 tahun pemilik apartemen itu lebih suka
dipanggil Wardjo. Bung Wardjo, begitu saya lalu menyapanya, membawa saya
memasuki lorong sejarah. Lorong itu bukan saja menyimpan perjalanan seorang
eksil yang keluar dari Tiongkok ke Belanda. Pun bukan semata memori Bung Warjo
atas peristiwa 1965. Lorong itu membawa saya pada perenungan pribadi sebagai
seorang perempuan Tionghoa. Tentang Cina dan 1965.
“Mengapa kamu tertarik pada peristiwa 1965?” itu pertanyaan pembuka dari
Bung Wardjo. Bung Wardjo bilang, pertanyaan itu selalu ia ajukan pada siapa pun
yang mengunjunginya. Sayangnya bagi saya, pertanyaan itu bukan pertanyaan
mudah. Saya tak bisa menjawabnya dalam satu kalimat, walaupun itulah yang
akhirnya saya lakukan.
“Karena saya ingin sejarah gelap itu dibuka.”
Tapi jawaban itu sesungguhnya tak lengkap. Masih ada puluhan kalimat yang
menyusul di belakangnya. Saya berutang penjelasan itu kepada Bung Wardjo. Lewat
tulisan ini, saya akan menyampaikannya. Untuk itu saya harus membawa Bung
Wardjo dan Anda yang membaca tulisan ini ke suatu waktu dalam lorong hidup
saya.
Saya besar di keluarga
Tionghoa di ujung Sumatra. Kami kelas menengah pas-pasan, kaum pedagang seperti
banyak keluarga Cina lainnya di kota itu. Saya hanya tahu soal 1965 karena
menonton pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan
oleh SD saya. Di rumah, jangankan soal 1965, persoalan politik Indonesia pun
jarang sekali masuk dalam percakapan keluarga.
Hanya sekali dua kali soal politik terselip, terutama dalam kalimat-kalimat
bernada peringatan dari orang tua saya. Peringatan bahwa sebagai Cina, kami
harus selalu berhati-hati, karena kalau terjadi “apa-apa”, orang Cina pasti
akan jadi sasarannya.
Bahwa nama saya hanya satu kata karena wajib memakai nama Indonesia. Tak
perlu panjang-panjang karena toh saya sudah punya nama Cina yang indah walau
hanya untuk pemakaian di rumah.
Bahwa saya tak diajari bahasa Mandarin karena memang bicara Mandarin di
muka umum tak dibolehkan. Bicara Mandarin di muka umum adalah menyatakan
eksklusivitas sebagai Cina dan itu berarti kami tak setia pada Indonesia.
Yang menemani saya besar adalah cerita-cerita pemerasan orang Cina oleh
preman di pasar, keharusan menyogok di kantor pemerintahan jika tak mau
urusannya diperpanjang, kisah-kisah masa kecil orang tua saya yang tak lulus SD
dan SMP karena pemerintah menutup sekolah Cina tempat mereka belajar.
Masa kecil saya dihabiskan bersama ketakutan untuk berjalan kaki seorang
diri dari sekolah ke rumah. Semata-mata karena takut dipanggil amoy,
Cina, makan babi, dan komunis.
Soal negeri Cina, saya diberi tahu ada dua Cina, yakni Taiwan dan RRT.
Keluarga saya lebih condong ke RRT karena kakek saya berasal dari selatan
Tiongkok. Dengan begitu, kami melihat orang Tionghoa lain yang pro-Taiwan
dengan mengerutkan dahi. Saya belajar untuk mengagumi Mao Tse Dong karena
mendapat cerita-cerita kehebatannya memimpin RRT.
Namun, saya tak pernah diberitahu apa pun tentang Partai Komunis Cina,
terlebih hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia. Tak seperti di luar rumah
dan sekolah, kata komunis tak pernah ada di rumah.
Keluarga saya kerap berkeluh kesah akan ketidakadilan yang kami terima,
tapi kemudian pasrah bahwa itu nasib kami di pemerintahan Orde Baru Soeharto.
Saya tumbuh dengan nilai dan tradisi Cina di satu sisi (minus bahasa Mandarin
tentunya), dan bagaimana caranya agar bisa dianggap menjadi Indonesia yang baik
di sisi lain.
Saya harus berprestasi agar bisa mapan secara ekonomi dan menjadi lebih
‘aman’ di Indonesia. Saya menghafal butir-butir Pancasila dan UUD 1945 di luar
kepala saya.
Saya bersorak bangga ketika atlet-atlet keturunan Cina memenangkan
pertandingan olahraga internasional. Ikut terharu saat Susi Susanti menitikkan
air mata dengan latar bendera merah putih di belakangnya.
Tentang atlet yang mengharumkan nama Indonesia, tentang pebisnis sukses,
itulah antara lain topik diskusi di ruang keluarga kami. Tak ada sepatah pun
percakapan tentang politik Indonesia. Saya tak pernah tahu bahwa di suatu masa
dahulu, banyak orang Tionghoa yang aktif berpolitik.
Tak terpikir oleh saya bahwa para pemuda Tionghoa ikut urun suara dalam
rapat PPKI untuk menentukan makna nasion Indonesia jelang
kemerdekaan.
Diskriminasi rasial dan hantu komunisme menemani hidup saya hingga dewasa.
Sampai kemudian Kerusuhan Mei 1998 meledak. Saya menulis skripsi tentang pemberitaan
media massa atas hal itu. Saya mempercayai (dan diajak untuk mempercayai) bahwa
ini adalah kebencian rasial. Perbedaan budaya. Kecemburuan sosial dan ekonomi.
Soal pribumi dan nonpribumi.
Baru cukup lama, bertahun-tahun sesudahnya, saya paham bahwa persoalan ini
dapat ditelusuri ke Peristiwa 1965.
Memang segregasi sosial terhadap orang Tionghoa sebagai kelompok antara
dengan label Timur Asing sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Pemerintah
kolonial Belanda memanfaatkan sekaligus menindas orang Tionghoa. Ketika Belanda
menjalankan politik etis dengan menyediakan pendidikan, orang Tionghoa tak
termasuk di dalamnya.
Berbagai kekerasan rasial terhadap orang Tionghoa juga berulang kali
terjadi di daerah-daerah. Juga sejumlah aturan yang membatasi gerak orang
Tionghoa. PP nomor 10 tahun 1959 mendesak orang Tionghoa bermigrasi ke kota,
dengan larangan Tionghoa tidak boleh berbisnis di desa.
Namun yang tidak diketahui banyak anak muda Tionghoa sebaya saya di masa
itu adalah bagaimana orang Tionghoa juga bergerak.
Ada golongan Peranakan yang properjuangan kemerdekaan Indonesia. Pers
Tionghoa dan sastra peranakan berkembang pesat di masa itu, ikut mendorong
lahirnya pers nasional. Sesudah Indonesia merdeka, tak aneh bagi orang Tionghoa
untuk ikut berpolitik. Menjadi anggota parlemen. Aktif dalam partai politik.
Menjadi menteri, militer, dan profesi-profesi lainnya yang tak terbuka lagi
bagi mereka pasca-1965.
Sebab setelah 1965, Cina dan orang Cina, bersama dengan komunisme,
merupakan problem bagi Orde Baru. Sejak 1967, terbitlah berbagai peraturan
untuk mengatasi “Masalah Cina” ini. Pers Tionghoa dan materi penerbitan apa pun
yang berhuruf Mandarin dilarang. Sekolah-sekolah Cina ditiadakan. Ekspresi
budaya Tionghoa tak dibolehkan lagi. Buku pelajaran sejarah tak mencatat
keterlibatan Tionghoa dalam perjuangan sebelum dan sesudah kemerdekaan. Politik
menjadi bidang tertutup bagi orang Tionghoa.
Orang Tionghoa pasca-1965 merupakan mahkluk ekonomi yang mesti
di-Indonesianisasi-kan. Inilah kebijakan asimilasi Orde Baru yang lahir dari
Peristiwa 1965.
Buku-buku
milik Bung Wardjo sebagai bukti obsesi pribadi atas sejarah yang belum tuntas
dari tanah airnya
Saya dan Bung Wardjo
mengobrol panjang tentang masalah ini. Ia memberi saya salinan laporan tim
gabungan pencari fakta untuk kerusuhan Mei 1998. Ia menceritakan apa yang
terjadi di RRT ketika Peristiwa 1965 meletus dan tahun-tahun sesudahnya.
Ia membagikan kisah orang-orang Tionghoa yang tak bisa pulang ketika itu,
senasib dengan para pelajar yang menjadi eksil. Dengan situasi sulit di
Tiongkok, beberapa dari mereka mengambil keputusan serupa: mengungsi ke Eropa.
Bung Wardjo juga mengungkapkan sekelumit kisah tentang Siaw Giok Tjhan,
pimpinan Baperki yang sempat dipenjara Orba pasca-1965. Ia meminta agar fotonya
saya sampaikan kepada anak perempuan Siaw yang sudah kembali di Indonesia.
Mereka berteman baik semasa sama-sama tinggal di Amsterdam.
Cerita-cerita itu mengalir bersama kisah perjalanan hidup Bung Wardjo yang
ia buka semuanya kepada saya. Bung Wardjo mendapatkan beasiswa untuk bersekolah
di RRT sejak tahun 1964. Ia mengambil bidang yang mempelajari pendidikan
informal anak di luar sekolah. Semua yang ia pelajari menguap setelah 1965,
termasuk kemampuan berbahasa Mandarin-nya. Tak ia ingat dan tak bisa digunakan
lagi seiring getir perjalanannya sebagai eksil.
“Saya terlalu sedih. Itu ikut mempengaruhi pikiran saya,” tuturnya.
Saya terdiam lalu memberanikan diri bertanya.
“Apa yang paling bikin sedih? Hancurnya ideologi dan partai atau tak bisa pulang?”
Tak ada jeda sama sekali, ia langsung menjawab.
“Partai dan ideologi sudah saya relakan. Namun, tak bisa pulang ke rumah, ke tanah air, ke keluarga, adalah hal yang paling menyedihkan.”
Bung Wardjo tak mau menyerahkan paspornya ke KBRI ketika atase militer yang
pro-Soeharto mengambil alih Kedutaan Besar Indonesia di Beijing pasca-1965. Tak
bisa pulang, ia terus tinggal di asrama sekolahnya di Peking Normal University.
Bertahun-tahun dia bertahan dengan beasiswa yang masih diberikan pemerintah
Tiongkok. Bersama dengan rekan-rekannya, ia menerbitkan majalah mingguan Suara
Rakjat Indonesia yang mengabarkan berita-berita tentang Indonesia dan
perjuangan kiri.
Bung
Wardjo diantara tumpukan buku-buku dan kertas-kertas
Bung Wardjo keluar dari Beijing dan pindah ke Belanda pada 1976. Seterusnya
ia meneruskan hidup di sana. Untuk itu, ia melanjutkan apa yang membuatnya
hidup. Ia mengumpulkan buku.
Buku-buku terkait 1965, buku-buku yang dilarang Orba, dan buku-buku yang
menjadi minatnya menumpuk di hampir semua ruang apartemen itu. Buku-buku itu
menyambut semua tamu begitu mereka membuka pintu apartemen mungil Bung Wardjo.
Hanya ada sedikit ruang di tengah, tempat kami duduk di kursi lipat.
“Ini iuran perjuangan yang bisa saya lakukan,” ujarnya menjawab keheranan
saya.
Bung Wardjo bilang kepada saya bahwa ia sudah selesai bersedih dan
mengutuk. Menurutnya, yang paling penting baginya sebagai eksil adalah
melakukan sesuatu.
Saya kagum dengan keriangannya. Terlebih ketika ia bercerita saat ia berkesempatan
pulang ke Indonesia beberapa tahun silam. Ia mengunjungi Lubang Buaya dan
tertawa lebar di sana.
“Yang mengantar saya kaget kenapa saya tertawa. Saya bilang, karena ini
monumen peringatan yang lucu. Monumen ini tak perlu dibongkar jika nanti kebenaran
diungkap. Monumen ini menjadi monumen peringatan kebohongan Orde Baru.”
Saya berharap, hal itu segera terjadi.
_______
*Rika Theo, Jurnalis informal, peduli isu perempuan dan pluralisme. Saat ini bantu-bantu di Ingat 65 dan masih berkelana di negeri orang.
Sumber: Medium.Com
0 komentar:
Posting Komentar