Rabu, 20 April 2016

[ SETENGAH ABAD MENANGGUNG LUKA ]

BAGIAN II | BENANG MERAH YANG DIPAKSAKAN

Berkali sejak 2 bulan lalu, Agus Widjojo mengaitkan pelbagai peristiwa yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan tragedi 1965. Bagi pensiunan TNI Angkatan Darat ini, tragedi ‘65 ibarat sebuah pentas yang mana prolog dan epilog saling berkait. "Kami melakukan pendekatan sejarah, di mana satu peristiwa dengan peristiwa lain saling terkait," ungkap Agus. 

Namun, sejarawan Asvi Marwan Adam juga Yunantyo tak sepakat. Mereka menegaskan perbedaan antara satu peristiwa dengan yang lain. Perbedaan pertama terletak pada jumlah korban yang masih sumir.

"Bagi saya itu kan peristiwa Madiun itu kan harus dikaji kembali, dikaji ulang. Dalam arti memang ada penculikan. Ayah dari alm. Letnan Jenderal Kharis Suhud. Ia mengatakan ayahnya diculik pada 1948 dan hilang. Saya mengakui pembunuhan itu. Tapi kan persoalannya seberapa banyak? Kan harus jelas. Sedangkan 1965 itu setengah juta paling tidak," jelas Asvi.

Sedangkan menurut Yunantyo, peristiwa 1948 merupakan konflik antar kelompok politik. Sementara, pasca 1965 adalah kekerasan massal negara kepada rakyatnya.

Oleh sebab itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan diminta selesaikan tragedi ‘65 dengan bertolok pada peristiwa yang dimulai 1960-an. "Cukup tahun 60-an. Karena saat itu kan sudah memperlihatkan peningkatan masalah politik. Meningkatnya ketegangan dan lain sebagainya itu sejak 60-an," ujar Asvi.

Pada 1960, PKI melakukan Aksi Sepihak. Ketika itu pemerintah menerbitkan Undang-Undang Land Reform dan Undang-Undang Bagi Hasil antara petani dan pemilik tanah. UU ini membuat batasan kepemilikan tanah. Sedangkan sisanya wajib dikembalikan pada Negara. Dengan UU ini peluang bagi buruh tani kecil untuk mendapat tanah makin besar. Sayang, pemerintahan Soekarno tak becus mengimplemantasikan aturan, sehingga perlawanan rakyat yang dimotori PKI dan BTI terjadi.

"Tanah-tanah yang luas itu diambil, untuk diserahkan kepada negara. Dan ini menimbulkan konflik di pedesaan dengan pemilik-pemilik tanah itu. Di antara pemilik tanah itu ada tokoh-tokoh Islam. Di situlah munculnya konflik yang horizontal sifatnya," jelas Asvi.

Tetapi baik Agus dan Luhut bergeming. Terakhir pada 19 Mei lalu, KBR mengulang pertanyaan mengenai relasi antar peristiwa dan jawaban yang kami terima masih sama. "Terutama pada peristiwa pemberontakan 1948. Walaupun memang skalanya lebih besar dalam skala tindakan kekerasan setelah 1965," ungkap Agus kepada KBR minggu lalu.

Pulang dari Praha

Awal Agustus 1948 saat itu, seperti dikutip TEMPO. Dua pria di dalam pesawat intai amfibi Catalina mendarat di rawa-rawa Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Rawa luas di dekat terowongan buatan Jepang, Niyama ini memang kerap digunakan sebagai titik pendaratan pesawat yang mengangkut tamu rahasia pada masa Republik ini mempertahankan kemerdekaan. Satu orang berperawakan tinggi kurus, sedang yang lain gempal. Mereka turun beriring setelah menempuh perjalanan panjang selama 6 minggu dari Praha, lewat Kairo, New Delhi dan berhenti sejenak di Bangkok.

Pria pertama bernama Soeripno, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Praha, Cekoslovakia. Sedangkan pria lain di belakangnya mengaku bernama Soeparto, sekretaris pribadi Soeripno. Keduanya dijemput pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemadi Partoredjo di bibir rawa. Mereka kemudian bergegas menuju Surakarta, Jawa Tengah. 

Perundingan dipimpin Hatta
Perundingan pertama staf militer di bawah pimpinan Menteri Pertahanan Drs. Moh Hatta, 28 Februari 1948. (Koleksi: IPPHOS)
 
Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang diterbitkan Angkasa pada 1979, setibanya di Surakarta, ia langsung mengadakan pembicaraan dengan PKI, Partai Sosialis, Partai Buruh dan pimpinan lain yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Di Surakarta, identitas sang sekretaris Soeripno tak lagi bisa disembunyikan.
Pria gempal umur 50an tahun itu bernama Musso, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pria yang pernah mencetuskan perlawanan buruh pada 1926 ini kembali ke Indonesia setelah lebih dari 20 tahun bermukim di Moskow, Rusia.

Sejak itu, Musso mulai safari menjabarkan "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" pada pertemuan Politbiro di Yogyakarta. Gagasan Jalan Baru ini selaras dengan garis perjuangan baru Moskow atau lazim disebut sebagai doktrin Andrei Zhdanov.

Musso mengkritik kaum komunis Indonesia sepeninggalnya yang mengambil jalan lunak nan kompromistis dengan Belanda. PKI tak menggalang massa buruh dan tani, tetapi masuk menyusup ke pemerintah dan pelbagai organisasi. Ia anggap tak efektif dan lebih ingin komunis Indonesia memakai garis perjuangan lebih radikal.

Buntut Perjanjian Renville

Delapan bulan sebelum dua pria ini tiba, Indonesia memparaf Perjanjian Renville dengan Belanda di atas kapal Amerika yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Paraf inilah yang membuat Moskow curiga terhadap pemimpin koalisi sayap kiri di Kabinet Indonesia, Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin.
Seminggu kemudian, paraf ini menimbulkan petaka. Amir dipaksa mundur dan meletakan jabatan perdana menteri. Karena itu posisi politik Masyumi dan Partai Nasional Indonesia makin kuat. Langkah Amir ini dikritik Musso. Menurutnya, melepaskan sebuah kekuasaan yang telah berada di tangan merupakan kesalahan besar. 

Divisi Siliwangi Mengadakan Pembersihan di Madiun dan Gunung Kidal
Divisi Siliwangi mengadakan pembersihan di sekitar Madiun dan daerah Gunung Kidul terhadap pemberontakan PKI/Madiun, Oktober 1948. (Koleksi: IPPHOS)
Posisi Amir, kemudian diambil Muhammad Hatta yang mana membuat program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) Tentara sebagai buntut dari perjanjian dengan Belanda. Program ini dibuat untuk menyusutkan jumlah angkatan perang yang bisa mencapai 350 ribu, ditambah laskar sebanyak 400 ribu orang. Jumlah prajurit ini dianggap terlalu gemuk dan tak efisien. Sedangkan Hatta berdalih anggaran negara tak cukup membiayai prajurit tersebut. 

Pada tahun yang sama dibuatnya Re-Ra, Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman untuk kali kedua mengumumkan kebijakan pembendungan atas ekspansi Uni Soviet di pelbagai negara. Di Indonesia, angkatan perang pun terbagi dalam dua kutub, antara yang komunis dan yang berlawan. 

Itu sebab, sulit menghilangkan konteks Perang Dingin antar blok dengan beragam peristiwa yang terjadi di Indonesia. “Saat 60-an itu kan politik Indonesia yang melakukan ganyang Nekolim. Politik yang konfrontatif terhadap blok Barat dan blok Timur,” ungkap sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam saat ditemui KBR, Kamis, 19 Mei 2016. 

Keputusan Hatta lantas menimbulkan sentimen Perwira di daerah. Soemarsono, Ketua Pemuda Republik Indonesia dalam buku Revolusi Agustus menyebut kebijakan Hatta sangat merugikan Barisan Laskar yang dibangun Front Demokrasi Rakyat (FDR), seperti Pesindo, Biro Perjuangan, Perwira Politik dan TNI Masyarakat. Padahal kekuatan militer ini telah dibangun lama untuk melawan agresi militer Belanda. "Sebenarnya kamilah sasaran tembak utama Kabinet Hatta," ujar Mayor Jenderal yang dipecat Hatta dari Pendidikan Politik Tentara pada awal Mei 1948. Saat ini Soemarsono tinggal di Australia.

Hatta sebagai Menteri Pertahanan kemudian mengerahkan 29 ribu prajurit Brigade II Siliwangi ke Madiun dan sekitarnya yang mana menjadi basis kekuatan PKI. Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa, puluhan ribu prajurit pimpinan Kolonel Drg.Mustopo ini diangkut melalui jalur darat dan laut beserta alat tempur.

Parade perpindahan kekuatan militer ini lah yang memprovokasi pasukan Panembahan Senopati. Kedua pasukan ini pun terlibat saling kontak senjata secara terbuka dan menyerbu markas masing-masing. Ultimatum Jenderal Besar Soedirman untuk menghentikan peperangan pun diabaikan saat itu. Hingga pada 18 September, pasukan Brigade 29 yang dipimpin Soemarsono berhasil melucuti pasukan Divisi Siliwangi.

Sedangkan Musso, kala itu, tengah bersafari mengonsolidasikan kekuatan bersama pimpinan PKI di Surakarta, Madiun, Bojonegoro, hingga Wonosobo. Musso menyatukan gerakan kaum buruh dan tani yang sebelumnya terpecah ke pelbagai organisasi, antara lain Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Barisan Tani Indonesia.

Tetapi gelombang kabar mengenai Musso sebagai dalang pemberontakan tak dapat dibendung. Melalui Radio Republik Indonesia (RRI), Pemerintahan Soekarno berseru!

"...Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka atau ikut Soekarno-Hatta yang insyalah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Republik Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga," ungkap Soekarno dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie. 

Saling Serang di Madiun

Semua berawal dari pemogokan serikat buruh dalam negeri di Madiun pada awal September 1948, jelas Soemarsono dalam bukunya Revolusi Agustus. Mereka menuntut kenaikan upah dan berunjuk rasa di depan kantor wali kota. Tetapi setelah mogok sehari, tiga orang pemimpin serikat itu hilang. Soemarsono lantas bertanya kepada komandan teritorial, Letkol Sumantri mengenai penculikan tersebut. Namun, Sumantri mengaku tak tahu.

Mendapat jawab itu, Soemarsono menyimpulkan ada tentara gelap masuk Madiun. Ia pun bertekad membebaskan pimpinan buruh. Karena itu, Soemarsono diteror.

"Di Madiun banyak informasi akan ada teror atas orang-orang kiri. Semua resah. Apalagi di Solo sudah ada pertempuran. Kami mendengar kabar, pasukan Brimob dan polisi militer akan melucuti Brigade 29. Kami tidak bisa tinggal diam," Soemarsono kepada TEMPO.

Lalu pada 16 September, telepon Soemarsono berdering. Ia menerima telepon dari Panglima Divisi Brawijaya Kolonel Sungkono."Hadapi saja Siliwangi itu, kami sepenuhnya di belakang Madiun," ungkap Sungkono di ujung telepon. Mendengar ucapan koleganya tersebut, Soemarsono makin panas dan mulai menyerang pada tengah malam, 17 September.

Enam jam setelah selongsong peluru berserak, pasukan Soemarsono berhasil menguasai Madiun. Lima prajurit tewas dalam perang ini, 3 dari kubu Siliwangi dan 2 Senopati. Namun dalam buku Ayat-Ayat yang Disembelih, jumlah korban yang disampaikan keluarga korban berbeda.

"Ayah saya seorang veteran pejuang 1965. Bersama lebih 200 orang, terdiri dari Kyai dan tokoh masyarakat digiring dan dimasukan ke dalam lumbung padi tua tinggalan Belanda di Desa Kaliwungu, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Mereka disekap 2 hari 2 malam, tidak diberi makan. Semua aktifitas seperti tidur dan buang air jadi satu di dalam gudang penuh sesak. Jerigen bensin sudah disiapkan untuk membakar lumbung itu. Alhamdulilah ayah saya bisa lolos dan berlari sejauh 10 kilometer untuk mencari bantuan pasukan Siliwangi. Mereka selamat," ujar Fuadi, anak korban peristiwa Madiun.

Sementara pegiat sejarah, Yunantyo Adi menganggap peristiwa itu sebagai aksi saling serang antar tentara yang berbeda ideologi.

"Dalam peritiwa 1948 itu ada anak-anak muda PKI yang lepas kontrol dan melakukan kekerasan ke lawannya. Tetapi terjadi kekerasan juga baik dari pihak militer dan laskar Yogya melakukan kekejaman serupa terhadap anggota PKI. 
Banyak anggota PKI di kamp tawanan yang sudah tak berdaya, disiksa dan dibunuhi juga. Artinya, kasus Madiun itu dua-duanya melakukan kekejaman, PKI dan lawannya saling melakukan kekejaman," kata Yunantyo kepada KBR. 
 
Jenderal Sudirman dan Gatot Subroto kunjungi makam pemberontak PKI
Panglima Besar Sudirman dan Gatot Subroto mengunjungi makam korban pemberontakan PKI/Madiun. (Koleksi: IPPHOS)
 
Soemarsono pun mengaku tidak berencana mengudeta pemerintahan Soekarno, apalagi memproklamirkan pemerintahan Front Nasional. "Saya hanya mau melucuti lawan, supaya mereka tidak bisa menyerang kami lebih dulu. Kami hanya membela diri. Kami juga tidak punya rencana pemberontakan. Buktinya, pada pagi harinya kami kirim telegram ke Yogyakarta melaporkan situasi di Madiun (kepada Hatta dan Soekarno)," ujarnya.

Telegram tersebut disampaikan melalui perwira menengah Soeharto (Presiden RI ke-2) yang pada saat itu diutus Panglima Soedirman ke Madiun. Namun di Yogyakarta, Hatta terlanjur menganggap pelucutan tentara Siliwangi sebagai pemberontakan. Sedang Soekarno menyasar Soemarsono, juga Musso sebagai dalang pemberontakan pada 19 September malam.

Mendengar pidato Soekarno lewat RRI-Yogyakarta, emosi Musso sontak meledak. Ia menjawab pidato tersebut melalui radio di Madiun dan mengatakan Soekarno-Hatta sebagai budak Jepang, juga Amerika. "Sudah 3 tahun revolusi nasional kita berjalan di bawah pimpinannya kaum borjuis-nasional yang bersifat goyang menghadapi imperialis umumnya dan terhadap Amerika khususnya. Inilah sebab yang terakhir, bahwa keadaan ekonomi dan politik dalam Republik semuanya menjadi terus-menerus buruk,&qout; seru Musso.

Oleh Hatta, pasukan dikerahkan ke Madiun., lalu Cepu, Kudus dan Blora. 
"Memang Madiun diserbu oleh Yogyakarta. Dalam hal ini Hatta dan Nasution. Sesungguhnya pada awalnya Jenderal Soedirman keberatan atas penyerangan ke Madiun. Karena menurut Soedirman kasus Madiun itu perselisihan antar laskar yang ia yakini dapat dilerai. Nah, tetapi kemudian ada tindakan militer," jelas Yunantyo.

Perburuan pasukan Hatta ini lantas membuat basis kekuatan militer Front Nasional kocar-kacir, termasuk Musso. Apalagi setelah Mayor Jenderal Atmadji, Letkol Kusnandar dan Letkol Dachlan yang prokomunis ditangkapi pasukan pemerintah.

Pada 31 Oktober 1948, pengembaraan Musso berakhir. Tak mudah prajurit Batalion Sunandar menangkap Musso di Desa Balong, Ponorogo. Musso sempat melarikan diri dengan berlari, menggowes sepeda hingga saat mocong senjata persis di hadapan, ia tak menyerah.
"Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta supaya saya menyerah pada engkau. Lebih baik meninggal daripada menyerah. Walaupun bagaimana, saya tetap Merah Putih," tegas Musso dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie. 
http://kbr.id/simposium65/#bagian-2 

0 komentar:

Posting Komentar