5:04 PM, April 21, 2016
Sri adalah penyintas, korban penyiksaan pada 1965-1979. Ia melalui penyiksaan demi penyiksaan di penjara sebagai tahanan politik.
Sri Sulistyawati,
salah seorang penyintas tragedi 1965. Foto oleh Rappler
JAKARTA, Indonesia
— Ia menyisir rambut putihnya yang terjuntai hingga sebahu dengan jari
tangannya yang sudah keriput.
Ia kemudian menatap
pada Rappler dan berkata, “Eyang ini bukan siapa-siapa,” kata Sri Sulistyawati
saat dikunjungi di sekretariat Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), Rabu, 20
April.
Sri kemudian
memulai kisahnya sebagai seorang perempuan kelahiran Cirebon, 19 September, 76
tahun yang lalu. Bapaknya adalah seorang guru di Sekolah Pertanian Menengah
Atas (SPMA) Lembang, Jawa Barat, yang selalu ingin anaknya membaca dan menulis
untuk menambah wawasan.
Sri mengaku sudah
menggemari tulis menulis dan seni sejak duduk di bangku sekolah menengah
pertama (SMP). Ia sempat menjadi wakil Jawa Barat untuk kesenian angklung dan
topeng dalam sebuah lomba tingkat nasional.
Sejak SMP itu pula
ia ikut dalam organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Sri yang menikah pada
umur 18 tahun, meneruskan kuliah di Akademi Jurnalistik Jakarta yang didirikan
oleh kantor berita Antara.
Karir pertamanya
sebagai wartawan ia mulai di Harian Ekonomi Nasional dan Suluh Indonesia milik
Partai Nasional Indonesia (PNI), yang dipimpin Sukarno. Ia masih mengenang
liputan pertamanya, blusukan di pasar mencatat harga barang-barang.
Ketika bekerja di
Suluh Indonesia Muda, Sukarno melirik bakatnya dan memintanya untuk
meliput di Istana Negara. “Sebenarnya saya enggak senang politik, jujur,” aku
Sri.
Ia rajin mewawancarai presiden pertama RI itu di pagi hari, sekitar pukul 6:00. “Bung Karno rajin sekali menyiram tanaman dan membersihkan kamarnya sesudah salat Subuh,” ungkap Sri.
Kesempatan langka
itu tidak ia sia-siakan, ia menanyai Sukarno tentang berbagai macam isu, mulai
dari politik hingga pribadi.
“Terakhir ia mengatakan begini, 'Bapak sudah tidak sanggup lagi mengelola negara karena penyakit yang menggerogoti di dalam tubuh, dan juga karena kabinet sendiri menggerogoti',” tutur Sri menirukan Sukarno, sebelum pecah pemberontakan 1965.
Menurutnya saat itu, Sukarno ingin Jenderal Ahmad Yani menggantikannya. “Tapi Pak Nasution (Jenderal Abdul Haris Nasution) tidak setuju karena Yani tidak ikut revolusi kok dijadikan presiden,” ujarnya.
Sukarno bersikukuh
ingin Ahmad Yani menggantikannya karena dinilai memiliki visi dan misi yang
sama dengannya.
Perseteruan di
dalam tubuh angkatan bersenjata itu akhirnya berbuah pergolakan di masyarakat
yang kemudian berdampak pada nasib Sri.
“Yang jadi masalah ini bukan sipil apalagi PKI (Partai Komunis Indonesia), itu masalah tubuh di Angkatan Darat sendiri,” katanya.
Apalagi setelah
Nasution akhirnya merangkul Mayjen Suharto yang ia dorong sebagai calon
pengganti Sukarno.
Perseteruan di
tubuh kabinet ini menguat dan berdampak pada masyarakat, terutama mereka yang
mengikuti Bung Karno secara ideologis.
“Bung Karno rajin sekali menyiram tanaman dan membersihkan kamarnya sesudah salat Subuh.”
Puncaknya pada 1
Oktober 1965, tersiar kabar kudeta di Jakarta. Saat itu, Sri sedang berada di
Langsa, Aceh, untuk mengikuti safari Kabinet Dwikora yang dipimpin oleh
rombongan Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dalam rangka menggalakkan
perekonomian.
Selama hampir satu
bulan, Sri berada di luar Jakarta. Ia tak tahu menahu soal prahara di ibu kota,
apalagi terkait tujuh jenderal yang dibunuh dan dibuang di Lubang Buaya.
Hingga ia kembali ke Jakarta pada 3 Oktober tahun yang sama. “Situasi di Jakarta saat itu sunyi tapi sangat menakutkan,” ujarnya.
Saat tiba di bandara, seseorang memberitahunya agar tidak pulang ke rumahnya di Bungur Besar, tapi mengungsi. “Katanya rumah saya sudah banyak militer. Lho kok militer? Apa hubungannya saya dengan militer?” ujarnya bingung.
Ia sempat bersikukuh pulang tapi lagi-lagi dicegat oleh tetangganya yang memberi nasihat senada. "Jangan pulang, rumah sudah dikepung militer," ujar tetangganya kala itu.
Sri kemudian
memutuskan untuk mengungsi ke rumah mertuanya di Sunda Kelapa dengan berjalan
kaki. Karena waktu itu sudah memasuki jam malam, ia memilih menelusuri jalan
setapak di gang-gang agar tak memancing perhatian militer.
Sesampainya di
Sunda Kelapa, mertua Sri tak mau menerimanya. Nalurinya sebagai wartawan
kemudian mengantarkannya ke Istana Negara untuk mencari keterangan tentang apa
yang terjadi.
Saat itu ia hanya
berbekal daster.
Di Istana, alih-alih mendapat penjelasan, ia malah diolok-olok oleh rekannya. “Ngapain kamu ke sini? Kan udah dibredel (harian Suluh Indonesia Muda).” Usut punya usut, ia ternyata dicari pihak militer karena kedekatannya dengan Sukarno.
Ia pun langsung sadar, bahwa ia kini terasing, tak ada orang yang mau berpihak padanya. “Orang tua (mertua) saya juga takut mau menerima,” ujarnya.
Sehingga ia mencari
kios di Tanah Abang dan memutuskan berjualan dengan teman sekantornya. Mereka
menjual bawang merah, cabe merah, dan tomat.
Ia bertahan hidup
dengan berpindah-pindah. Dari Jakarta ke Surabaya hingga akhirnya ia ditangkap
oleh pasukan Batalion Lintas Udara 18 di Blitar, Jawa Timur pada 18 Juli
1968. Ketika ditangkap, ia sedang beternak siput untuk menyambung hidup.
Tiga hari sebelum Sri ditangkap, suaminya tertangkap di Malang dan langsung
dieksekusi.
Kehidupan yang sunyi dari satu penjara ke penjara lain pun dilaluinya. “Ini cerita sebenarnya tentang wanita-wanita pada tahun 1965,” katanya.
Penjara pertama
yang ia huni terletak Suruhwadang, Blitar, kemudian Lodoyo. Penyiksaan pertama
ia terima di Lodoyo, ketika dua pasukan militer yang berlogat Batak menindihnya
dengan bangku kayu dari bahan jati.
“Saya pendarahan sampai satu bulan,” katanya. Ia sempat terkapar dan kritis. Beruntung pemilik rumah di tempat para tahanan ditampung membuat minuman jamu secara sukarela.
“Mereka yang memberikan asem kunyit pada saya tiap hari. Kalau ngirim satu gelas, dan nasi serta ayam goreng,” katanya.
Padahal konsumsi
makanan untuk tahanan yang tersedia hanya gaplek atau tiwul, makanan khas orang
Jawa dari singkong.
Ia kemudian dipindah lagi ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Malang. Dan di situlah ia ditanya tentang Lubang Buaya. “Saya enggak tahu Lubang Buaya itu di mana,” ujarnya.
Tak memuaskan
interogator, ia kemudian dipindah ke Posko Gang Buntu di Kebayoran Lama.
“Tempat itu terkenal sebagai neraka dunia. Di situlah gigi saya disetrum menggunakan cincin, rasanya rontok,” ujarnya.
Selama tiga minggu,
ia dicecar dengan pertanyaan yang sama, tentang Lubang Buaya. Karena tak bisa
menjawab, giginya pun disetrum kembali.
Pada malam hari,
penyiksaan pun tak berhenti. Ia dibiarkan tidur tanpa alas, bantal, apalagi
selimut.
Setelah itu, pihak militer menjadikannya sebagai juru masak. Ia pun bertahan hingga enam bulan dan mengajukan diri untuk ditahan saja di LP Bukit Duri. Alasannya, “Saya sebagai perempuan tidak kuat mendengar orang disiksa tiap hari, saya tidak bisa,” katanya.
Akhirnya ia memilih
untuk mendekam di LP Bukti Duri hingga ia dilepaskan pada 1979. Ia mampu
bertahan di lembaga pemasyarakatan itu selama 11,5 tahun meski harus memakan
nasi bercampur pecahan kaca setiap hari.
Sri akhirnya
menghirup udara bebas pada 1979. Konon pelepasan tahanan politik saat itu
disebut karena tekanan dari luar ketika Indonesia memiliki utang dan butuh
donor.
Rezim Suharto
disebut didesak agar membebaskan para tahanan politik. Jika tidak, donor duit
tak akan dicairkan.
Seorang pendonor
bersedia memberikan dana dengan syarat melepaskan tahanan politik.
Lalu apakah tahanan politik bebas setelah tahun 1979? “Belum, sampai Reformasi,” ucap Sri.
Setelah lepas dari
tahanan, Sri harus melapor pada Komandan Rayon Militer (Koramil)setiap hari,
Komandan Distrik Militer (Kodim) setiap pekan, dan Komando Daerah Militer III
Siliwangi setiap bulannya. Ia harus bolak-balik Jakarta-Cirebon setiap bulan.
Ia juga tak
diperbolehkan mencoblos saat pemilihan umum, karena ada tanda "ET"
(eks tapol) di kartu tanda penduduknya.
“Bahkan kami tak boleh keluar rumah saat pencoblosan, dan dijaga Babinsa (Bintara Pembina Desa)," ujarnya
Hingga saat Suharto
turun pada 20 Mei 1998, Sri pun mulai mendapatkan kebebasannya.
Ia mulai berani
muncul di publik. Mantan wartawan ini pertama kali muncul pada masa
Reformasi di sebuah acara Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang
diselenggarakan oleh almarhum Taufiq Kiemas, suami Megawati Sukarnoputri.
FSAB adalah
perkumpulan anak-anak korban tragedi 1965, baik dari pihak militer maupun
sipil.
Kemunculannya terakhir
di muka publik adalah ketika di acara Simposium Nasional 1965 di Jakarta, pada
18 April lalu, sebuah acara diskusi yang difasilitasi pemerintah untuk korban
dan pelaku tragedi 1965.
Di acara itu dia
memegang mikrofon dan berbicara dengan lantang tentang pembantaian massal itu.
“Bukan jumlah korban, tapi kebiadaban cara membunuh berapa manusia yang tidak bersalah, dikubur hidup-hidup,” ujarnya. Hadirin pun bertepuk tangan.
Sumber: Rappler.Com
JAGUARQQ | DOMINO 99 | POKER | BANDARQ ONLINE
BalasHapus* Dengan Minimal Deposit : Rp 15.000,-
* Tersedia 9 Game Dalam 1 User ID
+ BandarQ
+ ADUQ
+ SAKONG
+ DOMINO99
+ BANDAR66
+ POKER
+ BANDAR POKER
+ CAPSA SUSUN
+ PERANG BACCARAT
* Bonus Rollingan 0,5% Setiap minggu
* Bonus Referal 20% Seumur hidup
- Kontak Kami -
WA : +855964608606
TELEGRAM : +855964608606
LINE : csjaguarqq
Website : JaguarQQ
BACA JUGA BLOGSPOT KAMI:
Game Online
Kemenangan JaguarQQ
Berita Gosip
Cerita Seks
Sahabat Wisata