Fadjriah Nurdiarsih
- 24 Apr 2016, 13:21 WIB
Kisah perempuan eks tapol
1965 menghuni kamp terisolir
Semarang Heryani Busono, mantan eks tahanan politik 1965, tak pernah
melupakan malam saat ia dibawa secara paksa dan ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta. Enam
bulan ia dipenjara tanpa tahu pasti tuduhan apa yang disangkakan kepadanya.
Hingga suatu hari di tengah malam ia dipindahkan secara
diam-diam dengan truk. Bersama banyak tahanan lainnya, Heryani dipindahkan ke
suatu tempat terpencil, yakni di Plantungan,
Kendal, Jawa Tengah.
Di Lembah Gunung Prahu, di bangunan bekas penderita lepra pada zaman Belanda itulah Heryani menjalani hari-harinya. Wilayah itu selalu berkabut, sehingga sebenarnya cocok disebut seperti negeri para dewa. Namun di sana berkumpul para wanita tapol 1965 kelas B dan C.
Di Lembah Gunung Prahu, di bangunan bekas penderita lepra pada zaman Belanda itulah Heryani menjalani hari-harinya. Wilayah itu selalu berkabut, sehingga sebenarnya cocok disebut seperti negeri para dewa. Namun di sana berkumpul para wanita tapol 1965 kelas B dan C.
Artinya, mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam
peristiwa 1965. Namun bisa jadi keluarganya atau suaminya masuk dalam PKI atau
organisasi lainnya yang dicurigai terlibat.
Di Plantungan inilah Heryani berjumpa dengan banyak tahanan politik dari berbagai kota. Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011) mengisahkan rencana pemindahan para tapol yang tersebar di sejumlah penjara itu mencuat pada April 1971.
Di Plantungan inilah Heryani berjumpa dengan banyak tahanan politik dari berbagai kota. Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011) mengisahkan rencana pemindahan para tapol yang tersebar di sejumlah penjara itu mencuat pada April 1971.
Seperti yang ditulis Amurwani dalam buku tersebut, salah
seorang yang masuk dalam kamp
Plantungan adalah dr Sumiyarsi, aktivis Himpunan Sarjana Indonesia.
Dokter kelahiran Solo yang menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Gajah
Mada itu ditangkap lantaran pihak berwenang menemukan secarik dokumen dari
sekretaris komite seksi (CS) PKI setempat.
Komite meminta dr Sumiyarsi menulis surat keterangan izin
libur bagi orang-orang PKI yang akan berlatih dalam rangka Dwikora. Dokumen
kecil itu nyatanya membuat dia dicap sebagai dokter Lubang Buaya.
Sumiyarsi ingat betul pada 13 Oktober 1965, ketika hendak pulang ke rumah bersama suami dan anak pertamanya, ia menemukan rumahnya telah dijarah oleh gerombolan. Perabotannya dan aneka buku, pakaian, serta barang-barang lain telah dijarah.
Ia segera melarikan diri, sementara anak pertama dan keduanya sudah diungsikan beberapa hari sebelumnya. Setelah itu Sumiyarsi hidup berpindah-pindah sambil menyamar untuk menghindari kejaran aparat. Ia terpisah dengan suami dan anak-anaknya, serta membangun informasi dengan aktivis bawah tanah PKI dan bertukar informasi mengenai tempat persembunyian yang aman. Setelah bersembunyi dua tahun lamanya, dr Sumiyarsi ditangkap di Sukabumi pada 1967.
Sumiyarsi ingat betul pada 13 Oktober 1965, ketika hendak pulang ke rumah bersama suami dan anak pertamanya, ia menemukan rumahnya telah dijarah oleh gerombolan. Perabotannya dan aneka buku, pakaian, serta barang-barang lain telah dijarah.
Ia segera melarikan diri, sementara anak pertama dan keduanya sudah diungsikan beberapa hari sebelumnya. Setelah itu Sumiyarsi hidup berpindah-pindah sambil menyamar untuk menghindari kejaran aparat. Ia terpisah dengan suami dan anak-anaknya, serta membangun informasi dengan aktivis bawah tanah PKI dan bertukar informasi mengenai tempat persembunyian yang aman. Setelah bersembunyi dua tahun lamanya, dr Sumiyarsi ditangkap di Sukabumi pada 1967.
***
Kisah Istri Pelukis
Selain dr Sumiyarsi, ada pula Mia Bustam, mantan istri
pelukis S. Soedjojono. Waktu itu memang pihak-pihak yang terlibat dalam
organisasi underbouw PKI termasuk yang diamankan. Nah, Mia Bustam
yang memiliki nama asli Sasmiya Sasmojo adalah salah satu anggota LEKRA (Lembaga
Kesenian Rakyat).
Pada 23 November 1965, ucap Mia Bustam mengenang, ada
sebuah truk tentara berhenti di depan rumahnya di pinggir Kota Yogyakarta. Mia
diciduk bertepatan dengan ulang tahun ke-17 anaknya yang ketiga, Watu Gunung.
Saat itu di rumahnya sedang ramai dengan teman-teman anaknya, yakni Gunung dan
Nasti, yang sedang menginap.
Mia Bustam ditangkap bersama Nasti, Harni, dan Proletari. Namun petugas yang melihat enam anak Mia yang masih kecil-kecil menangis di pojokan lantas melepaskan Nasti. Sebab, anak-anak itu meminta Nasti tidak ditahan agar bisa merawat mereka. Harni dan Proletari dibawa untuk ditahan beberapa bulan di Sleman dan Benteng, tapi mereka akhirnya dibebaskan.
Mia sebenarnya sedih sekali karena ditangkap dan harus meninggalkan anak-anaknya, tapi ia bertahan sekuat tenaga agar tidak menangis.
Mia Bustam ditangkap bersama Nasti, Harni, dan Proletari. Namun petugas yang melihat enam anak Mia yang masih kecil-kecil menangis di pojokan lantas melepaskan Nasti. Sebab, anak-anak itu meminta Nasti tidak ditahan agar bisa merawat mereka. Harni dan Proletari dibawa untuk ditahan beberapa bulan di Sleman dan Benteng, tapi mereka akhirnya dibebaskan.
Mia sebenarnya sedih sekali karena ditangkap dan harus meninggalkan anak-anaknya, tapi ia bertahan sekuat tenaga agar tidak menangis.
“Air mataku hanya untuk orang-orang yang kukasihi, tidak untuk diperlihatkan kepada musuh-musuhku,” katanya tegas, seperti dikutip dari wawancara Amurwani dengan Mia Bustam di Cinere, 5 Juni 2005.Soal tuduhan bahwa ia terlibat rapat-rapat gelap dengan orang PKI, Mia Bustam berkata,
“Pak,” jawabku. “Nama Lubang Buaya itu baru saya kenal setelah ramai diberitakan dalam surat kabar. Lokasinya pun saya tidak tahu karena saya belum pernah sampai ke tempat itu. Mengenai latihan-latihan, sama sekali tidak pernah saya ikuti karena selamanya saya tidak tertarik pada latihan-latihan semacam itu. Saya takut memegang bedil..."
"Lalu, tuduhan kedua? Saya tidak tahu menahu tentang oknum-oknum apa pun itu. Yang Bapak sebut oknum-oknum G30S/PKI itu hanya anak-anak teman sekolah anak-anak saya sendiri...”Heryani Busono, dokter Sumiyarsi, dan Mia Bustam hanyalah sebagian dari ratusan tapol wanita yang dicap dengan PKI dan terlibat dalam peristiwa 1965. Di Plantungan mereka hidup serba terkekang dan terbatas. Mereka tidak boleh membaur dengan warga setempat. Segala sesuatunya begitu minim dan buruk.
Banyak di antara mereka yang hingga dibebaskan dari Plantungan tidak tahu kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Setelah ke luar dari sana mereka lantas berusaha bertahan dan kembali menjadi manusia yang bermartabat. Namun ternyata itu pun tidak mudah karena ada sebagian masyarakat yang dengan sengaja menyingkirkan para eks tapol ini.
0 komentar:
Posting Komentar