Febriana Firdaus
Yunantyo Adi
langsung beranjak dari tempat duduknya, ketika panitia Simposium 65
mengumumkan akan ada kejutan dari panitia, pembacaan puisi oleh Taufik
Ismail.
Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya dan meninggalkan saya yang duduk di
sampingnya. Saya terheran-heran mengapa dia meninggalkan ruangan ini
tanpa sepatah kata pun.
“Lho mas mau ke mana, seh?” kata saya.
“Taufik Ismail mau berpuisi, aku males,” katanya sembari berlalu.
Dia
meninggalkan sebuah buku berjudul Musso, dari seri kumpulan buku Tempo
yang diterbitkan Gramedia. Yang di dalamnya dijelaskan mengenai tragedi
tewasnya sejumlah kyai di Madiun pada 1948 yang kasusnya sudah
diselesaikan oleh negara.
Saya menatap kepergiannya dengan heran.
Memangnya kenapa kalau Taufik Ismail berpuisi? (Bingung)
Lalu
setelah itu, muncullah si penyair yang sudah sangat uzur itu, Taufik
Ismail. Dia menarik kertas yang ia pegang mendekati mikrofon. Taufik
mulai membacakan sajaknya.
Dua orang cucuku, bertanya tentang angka-angka
Datuk-datuk, aku mau bertanya tentang angka-angka
Kata Aidan, cucuku laki-laki
Aku juga, aku juga, kata Rania cucuku yang perempuan
Aku juga mau bertanya tentang angka-angka
Dari sini saya masih tenang, lumayan ada hiburan.
Lalu beranjaklah ke paragrap kedua.
Rupanya mereka pernah membaca bukuku tentang angka-angka dan ini agak mengherankan
Karena mestinya mereka bertanya tentang puisi
Tetapi baiklah,
Rupanya mereka di sekolahnya di SMA ada tugas menulis makalah
Mengenai puisi, dia sudah banyak bertanya ini itu, sering berdiskusi
Sekarang Aidan dan Rania datang dengan ide mereka menulis makalah tentang angka-angka
Begini datuk,
Katanya ada partai di dunia itu membantai 120 juta orang…
DHUAR.
Kepala saya pun mau pecah. Ternyata ujung-ujungnya, puisi itu tentang
pembantaian yang dilakukan partai komunis di negara lain. Pantes dia
kabur duluan.
Saya lalu mendengar hadirin mulau bersorak, “Huuuuuu”
Sesekali Taufik yang meski uzur itu ikut menimpali, “Huuuuuuu”
Tak ada yang mengalah, hadirin berteriak ‘Huuuuuu’ disambut Taufik yang juga berteriak ‘Huuuuuuuuu’
Suasanya semakin memanas, canggung, dan kikuk. Tapi Taufik melanjutkan puisinya dengan cuek.
Kemudian cucuku bertanya
Datuk-datuk, kok ada orang begitu ganas..?
Dan
Taufik tetap membaca puisi itu sampai habis di tengah paduan suara
‘Huuuu’ peserta Simposium 65 yang sebagian adalah penyintas.
Sebabnya adalah mereka membantai bangsanya sendiri,
Mereka membantai bangsanya sendiri
Di Indonesia
Pertama kali dibawa oleh Musso, dibawa Musso.
Di Madiun mereka mendengarkan pembantaian
Mungkin Taufik Ismail belum baca buku yang dibawa Yunantyo ini, kitab suci maksud gw
Lalu dari
samping saya, pria setengah baya yang sudah tak asing lagi berdiri tegak
sambil mengacungkan tangannya pada sosok Taufik. Dia adalah Ilham
Aidit, putra tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Provokator!
Berhenti! Pemerintah kenapa diam saja!” tegur Ilham pada panitia.
Alih-alih menghentikan puisi, seorang pembawa acara malah mengatakan,
“Tolong jangan ada yang protes, tolong diterima apa adanya.” Kira-kira
begitu.
Kuping saya sampai geli mendengar suara si pembawa acara, yang sesekali melempar senyum itu.
Usai acara saya menghampiri Aidit, maksud saya Ilham. (Tapi tetap saja dalam wawancara live FB saya memanggilnya Aidit)
Mudah ditebak, Ilham geram dengan aksi Taufik Ismail. Ia mencap Taufik sebagai provokator murahan.
“Suasana ini sudah cair tapi rusak karena….” (Teruskan sendiri).
Saya
memahami perasaaan Ilham. Karena kira-kira 2 jam sebelum insiden sajak
provokatif itu, saya memotret Ilham dan Agus Widjojo, ketua panitia
pengarah Simposium 65 yang juga anak Jenderal Sutoyo, 1 dari 7 jenderal
yang gugur dalam peristiwa 1965 itu, sedang bertatap muka di lobi Hotel
Aryaduta, tempat acara diselenggarakan.
Meski
seakan-akan saling berkacak muka sambil melipat tangannya, keduanya
tampak serius saling menatap penuh arti, sedikit kata yang terucap dari
mulut Agus dan Ilham, tapi sepertinya mereka sudah mengerti ke mana arah
pembicaraan.
Momen langka itu membuat perasaan saya pribadi sebagai keluarga penyintas mencair. Oh inikah generasi masa depan, generasi move on.
Ketika keluarga tentara dan keluarga partai komunis mencari jalan
terbaik untuk penyelesaian tragedi 1965? (Dengan muka polos).
Apapun
agenda Agus atau Ilham, saya sebagai generasi muda melihat harapan di
antara keduanya. Saya diam-diam bahagia, sedikit. Semoga yang mereka
bicarakan adalah apa yang saya harapkan, pelan tapi pasti, pengungkapan
kebenaran.
Karena saya kenal Ilham, dia tidak akan menyerah sampai pada rehabilitasi, setidaknya itulah kesan saya saat mewawancarainya.
Dan
saya tahu, Agus tak mungkin hanya membuang waktunya saja untuk
membangun ini semua sejak 2003. Untuk apa? Kalau bukan untuk ketenangan
hidupnya sendiri dan anak cucunya. (Kembali polos)
Mungkinkah
mereka tulus? Tidak tahu. Tapi niat mereka membangun ini semua hingga
sampai hari ini, sekecil apapun hasilnya, tentunya saya tidak bisa
menuduh mereka serampangan sebagai agen pihak tertentu.
Lalu
tiba-tiba datanglah Taufik Ismail, yang menurut saya pribadi, justru
makin mempersulit proses diskusi dan pelurusan sejarah yang sedang
berlangsung di Simposium 65. Langkah-langkah kecil itu tiba-tiba dirusak
oleh selembar puisi dari sang penyair kondang di era orde baru.
Dan,
itu baru ‘serangan’ pertama. ‘Serangan’ kedua dari seorang sebut saja
seniman yang namanya sangat besar, Goenawan Mohamad lewat catatan
pinggirnya di Majalah Tempo pekan ini.
GM, pendiri Tempo, bekas tempat saya bekerja itu, menulis begini di capingnya:
Belum
jelas mengapa pemerintah yang sekarang wajib minta maaf, atau mengapa
Kepala Negara hari ini, Joko Widodo-laki-laki yang baru berumur lima
tahun ketika kekejaman di pertengahan 1960-an itu terjadi-harus minta
maaf untuk itu. Benarkah “Negara” yang sekarang identik dengan “Negara”
yang berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa yang sama?
Stop sampai di sini, saya menelan ludah. Kaget.
Iya
saya tahu siapa dia, selain pendiri kantor berita investigasi ternama
di tanah air, dia juga salah satu pendiri Manifes Kebudayaan alias
Manikebu. Dalam buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia Untuk Pemula, GM
bersama Taufik Ismail, Arief Budiman, HB Jassin, dan segerombol seniman
lainnya mendirikan Manikebu.
Dalam
buku itu, Manikebu disebut lekat dengan jargon humanisme universal,
senin untuk seni, Pancasila sebagai falsafah kebudayaan, yang dianggap
menentang ide-ide Manipol/USDEK Soekarno.
Manipol/USDEK
merupakan akronim dari Manifesto politik/Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia yang oleh Soekarno dijadikan sebagai haluan negara
Republik Indonesia. (Cepetan beli bukunya ama Bilven!)
Stop
sampai di situ. Tapi apa sebenarnya kawan maksud dari pernyataan GM
ini? Dengan segala hormat sebagai mantan junior, anak bawang, anak
pungut, anak siapalah, saya melihat GM hanya sebagai Taufik Ismail yang
tertunda.
Sebagai
anak kecil, anak bawang, saya ingatkan kepada kakak-kakak senior untuk
menyimpan energi, tidak mencurahkan emosi pada seorang bernama GM.
(Mungkin dia sedang cek ombak untuk tujuan yang lebih besar, Kak. Tujuan
‘mulia’ pastinya).
Sudah
jelas bapak yang satu ini mendirikan Manikebu bersama Taufik Ismail,
ini kan hanya masalah waktu dia akan kembali ke asalnya. Apalagi di
tengah gegap-gempitanya kebebasan berekspresi anak-anak muda yang mulai
tumbuh pemikiran kritisnya, kekiri-kirian lah.
Ingat, kiri itu kritis, jenderal.
Tunas atau kuncup bunga gerakan kritis yang mulai mekar kembali ini membuat barisan so called manikebu kembali bersatu. (Hello, anak bawang, shut up, lo belom lahir)
Setidaknya itu khayalan liar saya. (Biarin)
Biarkanlah dia bilang Jokowi tidak perlu minta maaf. Biar saja dia bilang, Jokowi aja masih balita, kenapa dia harus minta maaf?
Sehingga saya juga bisa bilang, saya aja belum lahir waktu kakek saya diculik tentara, kenapa harus protes?
Meskipun
saya tahu ketidakhadiran kakek saya di keluarga besar membuat Ibu saya
saat itu harus menikah muda di umur 16 tahun, putus sekolah, lalu
melahirkan saya. “Enggak ada duit buat sekolah, nduk.”
Beruntun,
kemudian bapak saya harus dilitsus (penelitian khusus) karena mertuanya
seoran tahanan politik, dan akhirnya dia tak bisa naik pangkat. Seumur
hidupnya harus melapor pada Kodim.
Biar saja saya tak perlu protes, karena saya belum lahir saat itu.
Walaupun saya pernah berkhayal, ibu saya bisa menyelesaikan sekolahnya, kalau kakek saya tidak diculik.
Tapi ah, seniman tak akan mengerti ini dunia nyata, mereka hanya memahami indahnya rangkaian kata. (Makin kurang ajar)
Tidurlah
yang nyenyak di kasur, kalian para seniman. Mimpi indah. Jangan lupa
berdoa, di hari yang tua ini. Sehat selalu buat kalian semua.
Mungkin
benar kata Aidit, maksud saya Ilham, “Di dunia ini, masih ada saja
orang yang tak suka rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran. Akan selalu
ada.”
Jakarta, 26 April 2016
https://medium.com/@febrianafirdaus/gm-adalah-taufik-ismail-yang-tertunda-64dcc694ca3d#.crzrjc22d
0 komentar:
Posting Komentar