Selasa, 26 April 2016 | 11:48 WIB
Agus Widjojo, Putra Pahlawan Revolusi Mayjen Anumerta Sutoyo
Siswomiharjo berbicara dalam acara Simposium Nasional Membedah Tragedi
1965 di Jakarta, 18 April 2016. Ketua panitia pelaksana Simposium
Nasional Tragedi 1965, Suryo Susilo, menyatakan bahwa, Simposium ini
diharapkan dapat menjadi perjalanan akhir dari peristiwa yang penuh
polemik selama lima puluh tahun ini. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengarah Simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" Letjen (Purn) Agus Widjojo mengungkapkan latar belakang mengadakan simposium itu. "Ini bermula dari rasa penasaran saya," kata Agus dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis pekan lalu.
Sebagai putra pahlawan revolusi, Agus mengaku terusik tidak tuntasnya penyelesaian Tragedi 1965 selama lebih dari setengah abad. Karena itu, ia bersama beberapa rekan lainnya yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa mengambil inisiatif mengadakan simposium yang kemudian didukung oleh pemerintah.
Seperti apa kisah di balik penyelenggaraan simposium? Berikut ini penuturan pria yang sekarang menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional itu. Wawancara selengkapnya dapat dibaca di majalah Tempo edisi 25 April 2016.
Seperti apa cerita awal sampai ada simposium tersebut?
Sebetulnya ini bermula dari rasa penasaran saya. Setelah 50 tahun berlalu, kita tidak kunjung menemukan konsensus nasional tentang tragedi 1965 itu. Kalau dilihat dari segi politis, memang diametral, banyak pertentangan. Saya mencari sebuah pendekatan yang paling obyektif dan faktual tapi juga memberi manfaat untuk kita. Karena itu, judul akhirnya "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan". Kebetulan juga ketemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan, dan dia punya pendapat yang sama. Menteri pun memberi arahan untuk melaksanakan simposium tersebut.
Kapan proses itu berlangsung?
Forum Silaturahmi Anak Bangsa mengadakan seminar dalam rangka memperingati 30 September tahun lalu. Tapi kami berpikir untuk topik semacam ini sayang sekali kalau dibahas dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa saja. Saya ingin tragedi 1965 ini jadi pembelajaran bangsa karena masalah tersebut ada pada tataran kebangsaan. Karena itu, saya kembangkan untuk berbicara kepada berbagai komponen di luar forum. Kira-kira waktu persiapan simposium itu, sejak dibicarakan dengan Pak Luhut sampai pelaksanaan, tidak lebih dari sebulan. Oleh Pak Luhut diberi tenggat supaya selesai hasilnya sebelum 2 Mei.
Simposium ini adalah peristiwa bersejarah yang tidak terjadi dalam pemerintahan sebelumnya. Apakah faktor Presiden Joko Widodo punya peran?
Kita menganut sistem presidensial. Segala sesuatu yang terjadi ataupun tidak terjadi sangat banyak dipengaruhi sikap presiden terhadap sebuah isu. Dan Presiden Jokowi meletakkan fondasi bagi keterbukaan pembahasan isu ini.
Termasuk juga keterbukaan terhadap hampir semua masalah nasional. Itu menjadi faktor pendorong yang kuat, yang mungkin tidak ada pada presiden sebelumnya. Karena memang besarnya risiko yang harus dihadapi. Dan Presiden Jokowi tidak ada keterkaitan langsung dengan peristiwa tersebut, sehingga melihatnya sebagai beban masa lalu yang harus diselesaikan.
Lalu, siapa saja yang terlibat dalam panitia?
Kami membuka seluas mungkin keterlibatan dalam panitia. Kami undang yang dari kiri, yang punya pandangan, dan yang pernah mengalami. Karena di Forum Silaturahmi Anak Bangsa juga ada yang dari kiri.
TITO SIANIPAR
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/26/078765940/ini-cerita-di-balik-penyelenggaraan-simposium-1965
0 komentar:
Posting Komentar