Selasa, 26 April 2016 | 13:33 WIB
Bejo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965
meemberikan keterangan terkait peristiwa pembubaran pertemuan penyintas
kekerasan 1965 dari seluruh Indonesia, pada Jumat (15/4/2016) di kantor
LBH Jakarta. Rencananya lokakarya tersebut akan diadakan pada 14
april-16 april 2016 di kawasan Cisarua.
Upaya tersebut, menurut Bejo, dibantu oleh anggota-anggota cabang YPKP yang ada di daerah.
Rata-rata mereka merupakan bekas tahanan politik di Pulau Buru dan Nusakambangan.
"Dalam penggalian, ditemukan tulang belulang dari 21 mayat yang terkubur. Tulang belulang itu kemudian diserahkan ke pihak keluarga untuk dimakamkan secara layak," ujar Bejo saat dihubungi, Selasa (26/4/2016).
Bejo menuturkan, Pulau Jawa diindikasi memiliki titik lokasi kuburan massal paling banyak. Menurut perkiraan Bejo, jumlah kuburan massal mencapai puluhan titik.
Bahkan, jika ditelusuri lebih lanjut, kata dia, tidak menutup kemungkinan, jumlahnya mencapai ratusan.
Dia menjelaskan bahwa sejak tahun 2000-an, YPKP 1965 telah melakukan serangkaian investigasi guna mengungkap dan mendokumentasikan lokasi eksekusi tahanan politik pada tahun 1965.
Dengan bantuan dari anggota cabang YPKP 1965 yang ada di daerah, Bejo bersama tim-nya melakukan penelitian lapangan, wawancara mendalam kepada warga masyarakat sekitar lokasi, bahkan sempat melakukan penggalian.
Namun, setelah penemuan di Wonosobo tersebut, YPKP mengaku kesulitan untuk melakukan penggalian selanjutnya.
"Kami tidak mendapatkan izin dan dilarang oleh pemerintah setempat," tuturnya.
Bejo menambahkan, saat melakukan penelitian di Pati, Jawa Tengah, dia menemukan 7 lokasi kuburan massal. Tiga di antaranya memiliki lubang yang masih menganga. Diperkirakan, ada 50 orang yang pernah dieksekusi di situ.
Ia mengatakan, pada tahun 2012, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kabul Supriyadi, pernah datang meninjau lokasi dan melihat langsung kuburan massal tersebut.
YPKP juga berhasil menemui seorang warga yang mengaku pernah ikut menggali kuburan massal itu.
Temuan YPKP di Pati sekaligus menjadi bantahan dari keterangan Sintong Pandjaitan pada Simposium Nasional Tragedi 1965 yang mengatakan bahwa tidak pernah terjadi pembunuhan di Pati.
"Jadi, tidak benar itu yang dikatakan oleh Sintong," kata Bejo.
Bejo menuturkan, salah satu lokasi kuburan massal terbesar di Pati adalah Hutan Pekainan (PKI-nan).
Dinamakan seperti itu oleh warga sekitar karena pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI pada tahun 1960-an.
Menurut kesaksian warga sekitar, kata Bejo, setiap malam, ratusan orang dibawa ke tengah hutan kemudian dibunuh.
Berdasarkan penelitian YPKP tahun 2008, jumlah korban diperkirakan mencapai 200 orang.
Selanjutnya, di Kabupaten Boyolali, tepatnya di Kota Sonolayu, terdapat tempat pemakaman umum tengah kota yang pada sisi pinggirnya merupakan kuburan massal berisi 100-200 jenazah tidak dikenal.
Warga sekitar mengatakan kepada Bejo, sekitar tahun 1965, sebuah lubang besar pernah dibuat. Banyak tahanan politik yang diseret, dipukul, dan dieksekusi, kemudian dikuburkan di situ tanpa nisan.
"Itu menurut pengakuan warga sekitar dan juru kunci pemakaman," ungkapnya.
Menurut Bejo, tempat tersebut juga menjadi lokasi eksekusi Bupati Boyolali Suwali dan anggota DPRD, Siswowitono, pada tahun 1965.
Pemerintah cari kuburan massal
Presiden Joko Widodo sebelumnya memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965.
Kuburan massal itu, kata Luhut, untuk pembuktian sekaligus meluruskan sejarah terkait isu pembantaian pengikut PKI pasca-tahun 1965.
"Presiden tadi memberi tahu, disuruh cari saja kalau ada kuburan massalnya," ujar Luhut seusai bertemu Presiden di Istana, Jakarta, Senin (25/4/2016).
"Selama ini, berpuluh-puluh tahun, kita selalu dicekoki bahwa ada sekian ratus ribu orang yang mati. Padahal, sampai hari ini belum pernah kita temukan satu kuburan massal," lanjut dia.
Luhut mengatakan bahwa negara tidak tertutup kemungkinan akan meminta maaf terkait kasus Tragedi 1965.
Luhut menjelaskan, peluang negara meminta maaf akan selalu terbuka apabila ada pengungkapan fakta-fakta terjadinya pembunuhan massal pascaperistiwa G-30-S 1965.
Fakta-fakta itu, misalnya, dengan menunjukkan data mengenai kuburan massal.
Ia menjelaskan, hingga saat ini, pemerintah belum menerima data ataupun bukti sah yang bisa menunjukkan adanya peristiwa pembunuhan massal.
Data yang ada hanya menunjukkan fakta mengenai peristiwa pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat. Oleh karena itu, kata Luhut, pemerintah tidak tahu harus meminta maaf kepada siapa.
"Sampai hari ini tidak ada data mengenai kuburan massal. Kepada siapa pemerintah akan minta maaf? Yang jelas, sudah ada enam jenderal TNI yang dibunuh. Itu sudah jelas. Yang lain kan belum ada," kata Luhut.
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Sandro Gatra |
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/26/13335891/YPKP.1965.Tulang.21.Jenazah.Ditemukan.di.Wonosobo
0 komentar:
Posting Komentar