Rizky Sekar Afrisia, Suriyanto & Rizky Sekar Afrisia, Suriyanto
CNN Indonesia | Sabtu, 30/04/2016 13:32 WIB
Tumiso. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lazimnya, umpatan membuat orang tersinggung, bahkan tak jarang menimbulkan pertikaian. Namun tidak demikian halnya umpatan "bangsat" yang kerap dilontarkan Pramoedya Ananta Toer kepada sahabatnya, Tumiso.
Bagi Tumiso, umpatan itu tidak benar-benar berarti negatif. Itu justru bisa dianggap pujian, karena Tumiso rela mengorbankan diri, menjadi objek kekhawatiran kawan-kawannya, hanya untuk menyelamatkan sekarung pupuk urea.
Tapi karung itu pun tidak sembarangan. Ada harta berharga bagi kebesaran sastra Indonesia di dalamnya. Di antara tumpukan pakaian Tumiso yang dibawanya dari Pulau Buru saat dilepaskan pada 1979, ada bundelan naskah-naskah Pram yang ditulisnya semasa di pembuangan.
Bagi Tumiso, umpatan itu tidak benar-benar berarti negatif. Itu justru bisa dianggap pujian, karena Tumiso rela mengorbankan diri, menjadi objek kekhawatiran kawan-kawannya, hanya untuk menyelamatkan sekarung pupuk urea.
Tapi karung itu pun tidak sembarangan. Ada harta berharga bagi kebesaran sastra Indonesia di dalamnya. Di antara tumpukan pakaian Tumiso yang dibawanya dari Pulau Buru saat dilepaskan pada 1979, ada bundelan naskah-naskah Pram yang ditulisnya semasa di pembuangan.
"Termasuk Arus Balik, Arok Dedes, Mangir dan beberapa lembar Ensiklopedia Citrawi Indonesia," ujar Tumiso menyebutkan.
Tumiso dan Pram sama-sama menjadi gelombang pertama yang diasingkan ke Pulau Buru, sekaligus terakhir yang dikeluarkan dari sana. Tapi mereka tidak langsung dilepas setelah dibebaskan. Masih ada penjara di Magelang yang menanti tahanan politik.
Tahu barang bawaannya akan diperiksa petugas, Tumiso lantas pura-pura sakit. "Saya yakin akan masuk rumah sakit. Kalau begitu, bontotan [barang bawaan] pasti tidak akan diperiksa," cerita Tumiso mengenang, saat bersama CNNIndonesia.com mendatangi kembali pulau pengasingannya di Maluku, pada awal Maret lalu.
Benar saja. Ia langsung ditandu, sama sekali tidak diperiksa. Seorang dokter mendatanginya, Djayus namanya. "Dia dokter asma kaliber dunia yang bergabung dengan rombongan," katanya. Dokter itu ternyata tahu akal bulus Tumiso. Ia ditanya, rencana "sakit" berapa lama. Katanya, di dalam aman.
"Kalau begitu saya mau tetap masuk dengan status sakit, supaya dalam kawalan dokter," ujar Tumiso menjawab.
Tumiso pun ditidurkan di kasur rumah sakit selepas dari tandu. Kawan-kawannya langsung mengerubungi. Tapi Dokter Djayus berkata, "Sudah, sudah. Dia sakit parah, jangan dikerubungi." Pram yang ada di lokasi yang sama menyempatkan bertanya, "Memang kamu sakit apa?"
Jawaban Tumiso sederhana, "Sakit Minke." Tahulah Pram, kawan dekatnya itu hanya pura-pura sakit demi menyelamatkan naskah yang dititipkan padanya. Minke merupakan tokoh dalam Tetralogi Buru, karya Pram yang hingga kini mendunia, dan ditulis di Buru. Sosok Minke diinspirasi dari tokoh nasionalis Tirto Adhi Soerjo.
Seketika itu Pram pun mengumpat, "Kamu ini memang bangsat."
Tapi keberanian Tumiso itulah yang sedikit banyak membuat Pram percaya padanya. Kata Tumiso, penulis asal Blora itu sosok yang pendiam. Sekali bicara, kalau tidak terbata, akan memarahi lawannya karena datang tanpa isi di kepalanya. Karena itu hanya sedikit yang berani bicara padanya.
Tumiso termasuk salah satu dari yang sedikit itu. Berbekal sedikit informasi tentang suatu hal, Tumiso yang sejak awal sudah satu "penjara" bersama Pram di Unit 3 Pulau Buru, pria 70-an tahun itu memberanikan diri mendekati sang penulis. "Misalnya saya bilang, 'Pak Pram kok di film ini perangnya begini sih.' Pak Pram akan menjelaskan kejadian lebih lengkapnya dari buku-buku yang dia baca."
Itu lebih baik ketimbang bertanya terang-terangan tanpa bekal. Pram lebih suka orang yang mengonfirmasi informasi bukan langsung bertanya.
Keakraban Pram dan Tumiso memang tak bisa dicari bukti autentiknya. Tapi memasukkan Tumiso dalam salah satu dari sedikit orang yang dititipi naskah sudah menjadi bukti tak terbantahkan. Pram mengetik naskah-naskahnya rangkap enam. Selain diberikan pada Tumiso, naskah itu juga diserahkan pada pakar hukum Suprapto, seniman Oey Hay Djoen, dua orang lain, dan disimpan Pram sendiri.
Naskah dibuat rangkap enam bukan hanya agar aman dibawa keluar. Pram juga melakukannya agar naskah bisa dikoreksi orang lain. Karya Pram mendapat banyak masukan dari kawan-kawannya di Pulau Buru. Naskah itulah yang kini banyak dinikmati pembaca, bahkan diterjemahkan ke banyak bahasa.
Tumiso bukan hanya berjasa menyelundupkan naskah-naskah itu. Ia juga yang mengantarkannya sampai ke gerbang penerbitan. Setelah dilepas di Surabaya, Tumiso segera ke Jakarta pada awal 1980-an. Naskah yang dititipkan padanya dibawa serta.
Tangan Tumiso langsung yang menyerahkan itu ke penerbit Hasta Mitra. Itu merupakan penerbit yang didirikan Pram bersama dua sahabatnya, Hasjim Rachman dan Joesoef Isak. Penerbit itu yang kemudian menjadikan naskah-naskah Pram sebagai buku, yang sempat dilarang peredarannya.
Naskah hasil karya Pram dari Buru bukan hanya Tetralogi, tetapi juga Mangir, Arus Balik dan Arok Dedes. Pram juga menulis naskah lain yang diinspirasi dari pengalamannya semasa di Buru, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Ia juga menuliskan ungkapan hati kepada anak perempuannya, dalam naskah berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
"Banyak [eks tapol] yang bilang, mereka menyelamatkan naskah Pram. Tapi yang diterbitkan di Hasta Mitra itu dari naskah yang saya pegang. Tanda terimanya ada pada saya. Pernyataan saya ini, sampai sekarang belum ada yang membantah," Tumiso menegaskan.
Berkat sang pahlawan yang pura-pura sakit demi mengamankan karung urea itu, naskah Pram sampai sekarang masih terus diterbitkan ulang dan dipajang di toko-toko buku modern di Indonesia. Naskah itu bahkan abadi, meski penulisnya sendiri telah mengembuskan napas terakhir satu dekade lalu.
Tumiso dan Pram sama-sama menjadi gelombang pertama yang diasingkan ke Pulau Buru, sekaligus terakhir yang dikeluarkan dari sana. Tapi mereka tidak langsung dilepas setelah dibebaskan. Masih ada penjara di Magelang yang menanti tahanan politik.
Tahu barang bawaannya akan diperiksa petugas, Tumiso lantas pura-pura sakit. "Saya yakin akan masuk rumah sakit. Kalau begitu, bontotan [barang bawaan] pasti tidak akan diperiksa," cerita Tumiso mengenang, saat bersama CNNIndonesia.com mendatangi kembali pulau pengasingannya di Maluku, pada awal Maret lalu.
Benar saja. Ia langsung ditandu, sama sekali tidak diperiksa. Seorang dokter mendatanginya, Djayus namanya. "Dia dokter asma kaliber dunia yang bergabung dengan rombongan," katanya. Dokter itu ternyata tahu akal bulus Tumiso. Ia ditanya, rencana "sakit" berapa lama. Katanya, di dalam aman.
"Kalau begitu saya mau tetap masuk dengan status sakit, supaya dalam kawalan dokter," ujar Tumiso menjawab.
Tumiso pun ditidurkan di kasur rumah sakit selepas dari tandu. Kawan-kawannya langsung mengerubungi. Tapi Dokter Djayus berkata, "Sudah, sudah. Dia sakit parah, jangan dikerubungi." Pram yang ada di lokasi yang sama menyempatkan bertanya, "Memang kamu sakit apa?"
Jawaban Tumiso sederhana, "Sakit Minke." Tahulah Pram, kawan dekatnya itu hanya pura-pura sakit demi menyelamatkan naskah yang dititipkan padanya. Minke merupakan tokoh dalam Tetralogi Buru, karya Pram yang hingga kini mendunia, dan ditulis di Buru. Sosok Minke diinspirasi dari tokoh nasionalis Tirto Adhi Soerjo.
Seketika itu Pram pun mengumpat, "Kamu ini memang bangsat."
Tapi keberanian Tumiso itulah yang sedikit banyak membuat Pram percaya padanya. Kata Tumiso, penulis asal Blora itu sosok yang pendiam. Sekali bicara, kalau tidak terbata, akan memarahi lawannya karena datang tanpa isi di kepalanya. Karena itu hanya sedikit yang berani bicara padanya.
Tumiso termasuk salah satu dari yang sedikit itu. Berbekal sedikit informasi tentang suatu hal, Tumiso yang sejak awal sudah satu "penjara" bersama Pram di Unit 3 Pulau Buru, pria 70-an tahun itu memberanikan diri mendekati sang penulis. "Misalnya saya bilang, 'Pak Pram kok di film ini perangnya begini sih.' Pak Pram akan menjelaskan kejadian lebih lengkapnya dari buku-buku yang dia baca."
Itu lebih baik ketimbang bertanya terang-terangan tanpa bekal. Pram lebih suka orang yang mengonfirmasi informasi bukan langsung bertanya.
Keakraban Pram dan Tumiso memang tak bisa dicari bukti autentiknya. Tapi memasukkan Tumiso dalam salah satu dari sedikit orang yang dititipi naskah sudah menjadi bukti tak terbantahkan. Pram mengetik naskah-naskahnya rangkap enam. Selain diberikan pada Tumiso, naskah itu juga diserahkan pada pakar hukum Suprapto, seniman Oey Hay Djoen, dua orang lain, dan disimpan Pram sendiri.
Naskah dibuat rangkap enam bukan hanya agar aman dibawa keluar. Pram juga melakukannya agar naskah bisa dikoreksi orang lain. Karya Pram mendapat banyak masukan dari kawan-kawannya di Pulau Buru. Naskah itulah yang kini banyak dinikmati pembaca, bahkan diterjemahkan ke banyak bahasa.
Tumiso bukan hanya berjasa menyelundupkan naskah-naskah itu. Ia juga yang mengantarkannya sampai ke gerbang penerbitan. Setelah dilepas di Surabaya, Tumiso segera ke Jakarta pada awal 1980-an. Naskah yang dititipkan padanya dibawa serta.
Tangan Tumiso langsung yang menyerahkan itu ke penerbit Hasta Mitra. Itu merupakan penerbit yang didirikan Pram bersama dua sahabatnya, Hasjim Rachman dan Joesoef Isak. Penerbit itu yang kemudian menjadikan naskah-naskah Pram sebagai buku, yang sempat dilarang peredarannya.
Naskah hasil karya Pram dari Buru bukan hanya Tetralogi, tetapi juga Mangir, Arus Balik dan Arok Dedes. Pram juga menulis naskah lain yang diinspirasi dari pengalamannya semasa di Buru, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Ia juga menuliskan ungkapan hati kepada anak perempuannya, dalam naskah berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
"Banyak [eks tapol] yang bilang, mereka menyelamatkan naskah Pram. Tapi yang diterbitkan di Hasta Mitra itu dari naskah yang saya pegang. Tanda terimanya ada pada saya. Pernyataan saya ini, sampai sekarang belum ada yang membantah," Tumiso menegaskan.
Berkat sang pahlawan yang pura-pura sakit demi mengamankan karung urea itu, naskah Pram sampai sekarang masih terus diterbitkan ulang dan dipajang di toko-toko buku modern di Indonesia. Naskah itu bahkan abadi, meski penulisnya sendiri telah mengembuskan napas terakhir satu dekade lalu.
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160430131639-241-127707/tetralogi-buru-pramoedya-diselamatkan-sakit-minke/
0 komentar:
Posting Komentar