20/04/2016 - Fathiyah Wardah
Ketua Panitia Pengarah
Simposium Agus Widjojo (tengah-depan/ketiga dari kanan) berbicara dalam
simposium membedah tragedi 1965, pendekatan kesejarahan di Hotel Aryaduta,
Jakarta , Selasa 19/4 (VOA/Fathiyah).
Simposium “Membedah Tragedi 1965 – Pendekatan
Kesejarahan” yang digelar di Hotel Aryaduta, Jakarta merekomendasikan
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tragedi 1965 melalui jalur
rekonsiliasi.
JAKARTA — Ketua Panitia Pengarah Simposium Agus
Widjojo dalam simposium “Membedah Tragedi 1965 – Pendekatan Kesejarahan” hari
Selasa (19/4) mengatakan sangat kecil kemungkinan untuk menyelesaikan kasus
1965 lewat pengadilan karena banyak pelaku dalam peristiwa tersebut yang telah
meninggal dunia. Belum lagi penyelesaikan melalui pengadilan akan memakan waktu
lama dan biaya yang sangat besar. Yang paling sangat realistis ujar Agus adalah
menyelesaikannya melalui rekonsiliasi, yaitu secara non yudisial.
Dalam rekonsiliasi tersebut pengungkapan kebenaran tetap
dilakukan tetapi tidak melalui jalur judisial atau proses pengadilan, dan hanya
berupa pengakuan bahwa peristiwa 1965 memang benar terjadi. Gubernur Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini menegaskan bahwa rekonsiliasi itu penting
dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara dan bukan individu.
"Tantangan rekonsiliasi bukan dengan tantangan regulasi, bukan tantangan pembuktian. Tantangan terbaru kita untuk mencapai rekonsiliasi adalah bagaimana kita melepas masa lalu, putuskan hubungan kita dengan masa lalu," kata Agus.
Lebih lanjut Agus menambahkan rekonsiliasi antara korban
dan pelaku tragedi 65 akan berhasil jika semua pihak sudah berdamai dengan masa
lalunya masing-masing. Sebagaimana diketahui Agus adalah putra Mayjen Anumerta
Sutoyo Siswomiharjo, salah satu dari tujuh jenderal TNI yang dibunuh dalam
peristiwa kudeta tahun 1965, dan kemudian dinobatkan sebagai pahlawan revolusi.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian
Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan pemerintah sedang kembali
menyusun Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang
pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstituti pada 2007.
Jika RUU itu telah disahkan, akan dibentuk semacam komisi
kebenaran untuk menyelidiki dan melaporkan pelanggaran masa lalu. Harkristuti
menyayangkan pembatalan UU itu oleh Mahkamah Konstitusi sebelumnya, yang
membuat sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tidak tuntas,
termasuk kasus 1965. Menurutnya rekonsiliasi bukan proses yang instan.
"Ini bukan suatu kondisi hukum,bukan suatu tribunal tetapo rekonsilias. Itu sebabnya saya mengangkat kembali isu ini (KKR) membuat rancangan Undang-undangnya mungkin Menkopolhukam bisa menyampaikan," papar Harkristuti.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KONTRAS, Feri Kusuma
mengatakan, rekonsiliasi pemerintah itu tidak menjawab permasalahan
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi 1965.
Apabila kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan atau tidak diungkap
siapa pelakunya, berpotensi mengulangi peristiwa serupa di masa depan.
"Apabila kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan, tidak diungkap siapa pelakunya potensi keberulangan peristiwa yang sama sangat besar. Nah disitulah esensi kenapa kita tetap konsisten meminta negara dalam hal ini pemerintah untuk menyelesaikan proses hukum," ujar Feri.
Sebelumnya, anggota Dewan Pengarah Pengadilan Rakyat
Internasional Reza Muharram mengatakan Presiden Joko Widodo harus menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM berat – termasuk peristiwa 1965 – secara tuntas.
Penyelesain kasus 1965 harus dilakukan secara yudisial
dan non yudisial.
Secara yudisial, pemerintah – dalam hal ini Kejaksaan
Agung – harus menindaklanjuti hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) yang menyebut telah terjadi kejahatan kemanusiaan pada
peristiwa atau tragedi 1965. Reza Muharram menilai pemerintah juga harus minta
maaf kepada korban yang sudah cukup lama menderita.
Sementara secara non yudisial, Presiden Jokowi – ujar
Reza – harus mampu dan berani menginstruksikan dibentuknya komisi kepresidenan
yang akan mengumpulkan semua data-data yang ada sehubungan dengan pelanggaran
HAM yang terjadi tahun 1965, sekaligus memfasilitas kesaksian korban yang masih
hidup dan mengalami kekerasan fisik maupun psikis. [fw/em]
0 komentar:
Posting Komentar