Selasa, 26/04/2016 08:26 WIB
Kuburan massal korban
tragedi 1965 di hutan Plumbon, Kelurahan Wonosari, Mangkang, Semarang,
Jawa Tengah. (CNN Indonesia/Damar Sinuko)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Asvi Warman Adam menampik ucapan Menteri Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan terkait ketiadaan bukti fisik dugaan
pelanggaran hak asasi manusia 1965.
Asvi menyatakan pembunuhan massal pada periode 1965 benar terjadi, termasuk bukti-bukti atasnya. Yang jadi pertanyaan, kata Asvi, bukan ada atau tidak adanya bukti, tapi jumlah korban yang sampai saat ini masih diperdebatkan.
“Sejumlah temuan telah mengungkapkan bahwa pembunuhan massal itu benar ada, itu itulah yang terpenting,” kata Asvi kepada CNNIndonesia.com.
Apabila pemerintah saat ini mempertanyakan bukti fisik, termasuk para korban, maka menurut Asvi hal itu justru menjadi aneh. Sebab pengakuan akan adanya korban sudah dikemukakan langsung oleh Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Sudomo. Sudomo menyebut angka korban tewas mencapai 78 ribu orang.
Investigasi atas tragedi kemanusiaan itu pun telah dilakukan Komisi Pencari Fakta bentukan Presiden Sukarno awal tahun 1966 meski mereka hanya bekerja dalam waktu singkat, hitungan hari.
Saat itu, ujar Asvi, memang ditemukan 78 ribu korban di Jawa Tengah dan Jawa Timur –meski kemudian salah seorang anggota Kopkamtib mengatakan ada kurang angka nol pada jumlah tersebut.
Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo yang memimpin operasi penumpasan Partai Komunis Indonesia, ketika itu bahkan menyebut angka korban mencapai 3 juta jiwa.
“Jadi bukti jelas ada, tapi kita berdebat soal jumlah. Jumlah korban paling rendah 78 ribu, paling tinggi 3 juta. Saya sendiri beranggapan angka yang sesungguhnya di tengah, 500 ribu orang,” kata Asvi.
Sebelumnya, Luhut mengatakan meski selama ini banyak laporan yang
menyebut terdapat ratusan ribu orang mati akibat pelanggaran hak asasi
manusia periode 1965, tak ada satu kuburan massal pun yang ditemukan
pemerintah.
Jika kuburan massal itu ada, kata Luhut, ia akan langsung mendatanginya. “Silakan tunjukkan, Menkopolhukam akan pergi dengannya (orang yang bisa menunjukkan kuburan massal korban 1965),” kata Luhut.
Kemarin di Istana Kepresidenan, Presiden Jokowi meminta Luhut untuk mencari bukti fisik terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia 1965.
Sementara terkait ucapan Jokowi pekan lalu yang menyatakan belum pernah menerima laporan tentang perkembangan penanganan penyelesaian perkara HAM berat seperti kasus 1965, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan hasil penyelidikan lembaganya telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Presiden, kata Sandra, memang tidak akan menerima dokumen hasil penyelidikan tersebut karena bersifat rahasia. Meski demikian, bukan berarti Presiden tidak dilapori sama sekali.
“Itu dokumen rahasia antara lembaga-lembaga penegak hukum. Tapi kalau rangkuman atau executive summary terkait itu sudah kami serahkan ke Presiden pada perayaan Hari HAM 2014 walau sifatnya tidak detail,” ujar Sandra.
(agk)
Asvi menyatakan pembunuhan massal pada periode 1965 benar terjadi, termasuk bukti-bukti atasnya. Yang jadi pertanyaan, kata Asvi, bukan ada atau tidak adanya bukti, tapi jumlah korban yang sampai saat ini masih diperdebatkan.
“Sejumlah temuan telah mengungkapkan bahwa pembunuhan massal itu benar ada, itu itulah yang terpenting,” kata Asvi kepada CNNIndonesia.com.
Apabila pemerintah saat ini mempertanyakan bukti fisik, termasuk para korban, maka menurut Asvi hal itu justru menjadi aneh. Sebab pengakuan akan adanya korban sudah dikemukakan langsung oleh Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Sudomo. Sudomo menyebut angka korban tewas mencapai 78 ribu orang.
Investigasi atas tragedi kemanusiaan itu pun telah dilakukan Komisi Pencari Fakta bentukan Presiden Sukarno awal tahun 1966 meski mereka hanya bekerja dalam waktu singkat, hitungan hari.
Saat itu, ujar Asvi, memang ditemukan 78 ribu korban di Jawa Tengah dan Jawa Timur –meski kemudian salah seorang anggota Kopkamtib mengatakan ada kurang angka nol pada jumlah tersebut.
Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo yang memimpin operasi penumpasan Partai Komunis Indonesia, ketika itu bahkan menyebut angka korban mencapai 3 juta jiwa.
“Jadi bukti jelas ada, tapi kita berdebat soal jumlah. Jumlah korban paling rendah 78 ribu, paling tinggi 3 juta. Saya sendiri beranggapan angka yang sesungguhnya di tengah, 500 ribu orang,” kata Asvi.
|
Jika kuburan massal itu ada, kata Luhut, ia akan langsung mendatanginya. “Silakan tunjukkan, Menkopolhukam akan pergi dengannya (orang yang bisa menunjukkan kuburan massal korban 1965),” kata Luhut.
Kemarin di Istana Kepresidenan, Presiden Jokowi meminta Luhut untuk mencari bukti fisik terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia 1965.
Sementara terkait ucapan Jokowi pekan lalu yang menyatakan belum pernah menerima laporan tentang perkembangan penanganan penyelesaian perkara HAM berat seperti kasus 1965, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan hasil penyelidikan lembaganya telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Presiden, kata Sandra, memang tidak akan menerima dokumen hasil penyelidikan tersebut karena bersifat rahasia. Meski demikian, bukan berarti Presiden tidak dilapori sama sekali.
“Itu dokumen rahasia antara lembaga-lembaga penegak hukum. Tapi kalau rangkuman atau executive summary terkait itu sudah kami serahkan ke Presiden pada perayaan Hari HAM 2014 walau sifatnya tidak detail,” ujar Sandra.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160426082658-20-126495/asvi-pembunuhan-massal-dan-kuburan-korban-1965-benar-ada/
0 komentar:
Posting Komentar