LUTFY MAIRIZAL PUTRA - Kompas.com
- 29/04/2016, 15:57 WIB
Jaringan Solidaritas Korban
untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat,
Kamis (24/4/2014). mereka menuntut dituntaskannya kasus tragedi kemanusiaan
yaitu peristiwa 65, tragedi Talangsari, tragedi Tanjungpriok, tragedi 27 Juli
1996, tragedi Penculikan, tragedi Trisakti, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi
I, tragedi Semanggi II, dan pembunuhan Munir. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTOPURNOMO (KRISTIANTO
PURNOMO)
JAKARTA, KOMPAS.com — Salah seorang penyintas dalam tragedi kekerasan
periode 1965-1966, Putu Oka Sukanta, menilai pembahasan masalah hak asasi
manusia (HAM) tidak mengenal batas wilayah teritorial negara maupun suku
bangsa.
"Masalah HAM adalah masalah borderless (tanpa batas). Kenapa orang ketika bicara bisnis bisa borderless. Kenapa ketika bicara HAM harus ada sekat," kata Putu saat dihubungi, Jakarta, Jumat (29/4/2016).
Hal itu disampaikan Putu menanggapi Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengatakan, dirinya
tidak menyukai proses pengadilan tragedi 1965 di Den Haag, Depok, Rabu
(20/4/2016).
Menurut Luhut, Pengadilan Rakyat atau People's Tribunal
tidak perlu dilakukan.
Upaya mencari fakta yang terjadi pada tahun 1965 dapat
dilakukan di dalam negeri. Putu menduga Luhut tidak melihat HAM dalam konteks
era globalisasi.
Di dalam pengadilan itu, putusan sela Pengadilan Rakyat
Internasional (IPT) tentang peristiwa tahun 1965 memutuskan adanya pengakuan
atas terjadinya pelanggaran HAM berat.
Pada era globalisasi, menurut Putu, peristiwa yang
terjadi di suatu negara dapat segera diketahui oleh negara lain, apalagi
masalah HAM.
"Jangan mengira masalah HAM di Indonesia ini tidak diketahui oleh orang dari negara lain. Orang luar juga concern mengenai penyelesaian HAM di Indonesia," ucap Putu.
Menurut Putu, upaya membawa masalah HAM pada tahun 1965
ke Den Haag merupakan salah satu langkah yang ditempuh karena tidak kunjung
mendapat penyelesaian di Indonesia.
Penulis Lutfy Mairizal Putra – Editor Sabrina Asril
Penulis Lutfy Mairizal Putra – Editor Sabrina Asril
0 komentar:
Posting Komentar