Rabu, 27 April 2016 | 06:49 WIB
Koordinator Kontras Haris Azhar menyampaikan pernyataan terkait konflik
tentara dengan polisi di Jakarta, Senin (24/11). Mereka antara lain
menyatakan bahwa penegakan hukum harus dikedepankan untuk penyelesaian
konflik tersebut.
Padahal, menurut Haris, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah pernah melakukan penyelidikan terkait Tragedi 1965.
Dalam hasil penyelidikan itu dinyatakan pada tahun 1965 telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan yang dilakukan secara sistematis dan meluas serta menimbulkan jumlah korban yang massif.
Oleh karena itu, Haris mendesak Komnas HAM untuk mengungkap fakta atau temuan terkait lokasi kuburan massal dan menyerahkannya ke Pemerintah.
"Kenapa Komnas HAM diam saja soal ini? Seharusnya mereka membuka data-data terkait kuburan massal yang pernah mereka selidiki," ujar Haris saat dihubungi, Selasa (26/4/2016).
Haris menilai, niat pemerintah mengungkap data-data mengenai kuburan massal korban Tragedi 1965 sebagai langkah awal yang baik dalam proses pengungkapan kebenaran.
Ia mengatakan, sebenarnya data-data tersebut sudah ada. Data itu kini berada di tangan beberapa pihak, seperti organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu kemanusiaan maupun komunitas korban sendiri.
Namun, menurut Haris, persoalannya adalah Presiden Joko Widodo harus memberi mandat pembentukan wadah khusus guna menampung data-data yang akan diserahkan.
Wadah tersebut harus terjamin keamanannya agar data tersebut tidak mudah dirusak atau dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu.
"Kami dan beberapa organisasi punya data-data itu. Tapi kami bingung mau diserahkan ke siapa," ujar Haris.
"Ke Luhut? Ke Teten? Kan belum ada jaminan data itu aman. Makanya kami minta pemerintah bikin kanal khusus," ucap Haris.
Pemerintah cari kuburan massal
Presiden Joko Widodo sebelumnya memerintahkan Luhut untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965.
Kuburan massal itu, kata Luhut, untuk pembuktian sekaligus meluruskan sejarah terkait isu pembantaian pengikut PKI pasca-tahun 1965.
"Presiden tadi memberi tahu, disuruh cari saja kalau ada kuburan massalnya," ujar Luhut seusai bertemu Presiden di Istana, Jakarta, Senin (25/4/2016).
"Selama ini, berpuluh-puluh tahun, kita selalu dicekoki bahwa ada sekian ratus ribu orang yang mati. Padahal, sampai hari ini belum pernah kita temukan satu kuburan massal," lanjut dia.
Luhut mengatakan bahwa negara tidak tertutup kemungkinan akan meminta maaf terkait kasus Tragedi 1965.
Luhut menjelaskan, peluang negara meminta maaf akan selalu terbuka apabila ada pengungkapan fakta-fakta terjadinya pembunuhan massal pascaperistiwa G-30-S 1965.
Fakta-fakta itu, misalnya, dengan menunjukkan data mengenai kuburan massal.
Ia menjelaskan, hingga saat ini, pemerintah belum menerima data ataupun bukti sah yang bisa menunjukkan adanya peristiwa pembunuhan massal.
Data yang ada hanya menunjukkan fakta mengenai peristiwa pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat. Oleh karena itu, kata Luhut, pemerintah tidak tahu harus meminta maaf kepada siapa.
"Sampai hari ini tidak ada data mengenai kuburan massal. Kepada siapa pemerintah akan minta maaf? Yang jelas, sudah ada enam jenderal TNI yang dibunuh. Itu sudah jelas. Yang lain kan belum ada," kata Luhut.
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Sandro Gatra |
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/27/06495571/Kontras.Desak.Komnas.HAM.Ungkap.Data.Kuburan.Massal.Korban.1965
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)