Jumat, 22 April 2016
JAKARTA- Simposium Nasional, ‘Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan’,
Jakarta, 18-19 April 2016 pagi itu dibuka dengan topik yang cukup
berat. Dalam sambutannya, Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan menantang
para ahli dan peserta simposium untuk membuktikan bahwa telah terjadi
pembunuhan massal dalam Tragedi 1965. Sebagai pelaksana lapangan dimasa
itu, dirinya membantah telah terjadi pembunuhan massal terhadap anggota,
simpatisan PKI dan para Soekarnois.
Memastikan jumlah korban penting untuk
menentukan katagori pelanggaran HAM yang terjadi dalam kurun 1965-1966.
Pemerintah Indonesia secara resmi tidak pernah menyebutkan berapa banyak
korban dari Tragedi 1965.
Menkopolhukam, Luhut B. Panjaitan dalam
akun facebooknya, Senin (19/4) menyampaikan bahwa ada kuburan massal
korban kekerasan 1965. Ia juga mengutip pernyataan Sarwo Edhi Wibowo
yang mengatakan jumlahnya mencapai tiga juga orang. Tapi kebenaran atas
pernyataan ini sulit untuk ditelusuri karena yang menjadi sumber
informasi sudah wafat.
“Komnas HAM pun saat ini masih kesulitan
menemukan bukti. Dokumen CIA yang pernah dikatakan dapat mengungkap
persoalan ini juga tidak pernah ada,” ujarnya.
Luhut Panjaitan mengatakan, menurut
Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan yang dalam terlibat operasi ia tidak
pernah melihat jumlah korban sebanyak itu.
“Jika ada korban, maka kita harus
mengidentifikasi korban secara jelas. Maka dari itu jika ada pihak yang
menyampaikan mengenai jumlah korban, melaporkan menyangkut siapa berbuat
apa, di mana, dan bagaimana, maka saya selalu siap untuk melihat
langsung ke lokasi,” ujarnya.
Dalam sambutannya, Jenderal (Purn)
Sintong Panjaitan menjelaskan bahwa setiap tahanan PKI, diperiksa 2-3
hari setelah itu dilepaskan. Menurutnya banyak juga rakyat dari
kampung-kampung yang datang ke RPKAD menyerahkan diri sebagai pengikut
komunis dan hanya dikenakan wajib lapor.
“Banyak orang dikatakan dibunuh. Itu
tidak benar. Semua orang tahu, saya pimpinan di Pati. Kita tangkap
sekitar 700 orang. Satu orang lari, ditembak dan mati. Selama Saya tugas
di sana, hanya 1 orang itu saja yang ditembak. Hampir semua daerah
yang diinterogasi tidak ada pembunuhan,” tegasnya.
Sintong Panjaitan mempertanyakan laporan
yang mengatakan korban sampai 500.000 orang. Presiden Soekarno memang
menurutnya membentuk Komisi Pencari Fakta dipimpin Mayjen Soemarno, yang
waktu itu Mendagri. Tim pencari fakta menyatakan korban kematian
80.000.
Setelah itu menurut Sintong, Bung Karno
menanyakan pada Oei Tjoe Tat, yang mengatakan 5 atau 6 kali sehingga
kira-kira 500.000-an korban. Jumlah ini jadi laporan pertama yang
disebutkan oleh negara yang dianggap benar.
“Saya akan berikan tantangan, terutama
mereka yang datang dari Yogyakarta, katakanlah kalau benar yang korban
80.000 orang Tunjukkan dimana mayat-mayatnya, siapa yang mati, kok
sampai 100.000. Saya lihat dengan mata kepala saya ini, hanya satu
orang yang ditembak, bagaimana korban bisa sampai jutaan orang,”
jelasnya dalam sambutan.
Ia mempertanyakan dimana mahasiswa Yogyakarta jika benar ada mayat ribuan orang bergelimpangan di jalan-jalan.
“Menurut saya, ini pembohongan. RPKAD
memang ke Jawa Tengah untuk menumpas G-30S PKI. Saya keberatan (angka
itu-red), karena ini ditanya kepada Mayjen Soemarno. Termasuk Bung Karno
adalah orang yang tidak suka dengan gerakan kami,” ujarnya.
Ia menegaskan lagi bahwa semua data yang
banyak tertulis dibuku-buku kajian selama ini tentang jumlah korban di
Jawa Tengah dan seluruh Indonesia adalah tidak benar.
“Universitas Gadjahmada sekarang mulai.
Jawab dulu berapa yang mati di Yogyakarta. Kalau sampai 2.000 itu aneh.
Saya tantang, berapa orang, kuburannya dimana? Tidak usah ribuan tapi
otentik,” ujarnya.
Gubernur Lemhanas, Jenderal (Purn) Agus
Widjojo menjelaskan bahwa Simposium Nasional yang dipimpinnya ini
membuka sejarah untuk mencapai kedalaman hakekat peristiwa 65
sedalam-dalamnya. Pentingnya membuka sejarah Tragedi 1965 menurutnya
adalah untuk menarik pembelajaran dari Tragedi 1965 supaya tidak
terulang lagi.
“Kita mencari akuntabilitas, bukan
mencari siapa yang salah. Kita saudara sebangsa. Apa yang salah dengan
bangsa ini, hingga mampu membunuh dalam skala besar dalam waktu
berkesinambungan? Maka, digunakanlah pendekatan sejarah. Apakah betul
kita sebagai bangsa punya sifat buruk yang cepat menjadi amok. Apakah
ada yang salah dalam psikoanalisis masyarakat Indonesia?” demikian dalam
sambutannya.
Laporan Komnas HAM
Dalam Ringkasan Eksekutif Laporan
Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat yang diterbitkan
pada tahun 2012 disebutkan telah terjadi bentuk perbuatan (type of acts)
dan pola (pattern) kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam
peristiwa 1965-1966 adalah sebagai berikut berbentuk pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, Pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa, Perampasan Kebebasan Fisik Lain Secara Sewenang-wenang,
Penyiksaan, Perkosaan, Penyiksaan dan Penghilangan Orang Secara Paksa Penduduk sipil yang menjadi korban
pembunuhan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh
aparat negara yang terjadi diberbagai tempat seperti di INREHAB: Pulau
Buru, Sumber rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasu,
Nanga- Nanga, Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota
Tomohon, Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut-
Manado.
Pembunuhan juga dilakukan di
tempat-tempat Tahanan: Salemba, Pabrik Padi di Lamongan, Gedung milik
Yayasan Thionghoa di Jl. Liloyor – Manado, Penjara Wirogunan –
Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar, Tempat yang diduga adanya
penyiksaan: Markas Kalong (Jl. Gunung Sahari), Gang Buntu (Kebayoran),
Gedung Jl. Latuharhari, Rumah China di Jl Melati – Denpasar, Sekolah
Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung Jl. Nusakambangan – Malang; RTM :
TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, Budi Kemulyaan,
Penduduk sipil yang menjadi korban
pemusnahan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh
aparat negara dengan sebarannya antara lain; Sragen 300 orang, Sikka –
Maumere 1.000 orang, LP Kali Sosok – Surabaya 600 orang.
Penduduk sipil yang menjadi korban
perbudakan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh
aparat negara tercatat sebagai berikut : Pulau Buru kurang lebih 11.500
orang (terdiri dari 18 unit dan tambahan 3 unit RST masing- masing diisi
oleh 500 tahanan), dan di Moncong Loe, Makassar.
Penduduk sipil yang menjadi korban
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa sebagai akibat dari
tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat sebanyak
kurang lebih 41.000 orang.
Penduduk sipil yang menjadi korban
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara
sewenang-wenang sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara
tercatat sebanyak kurang lebih 41.000 orang.
Penduduk sipil yang menjadi korban
penyiksaan sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara
tercatat diberbagai seperti di INREHAB : Pulau Buru, Sumber rejo,
Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasu, Nanga-Nanga,
Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon,
Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut- Manado;
Tempat-tempat Tahanan : Salemba, Pabrik Padi di Lamongan, Gedung milik
Yayasan Thionghoa di Jl. Liloyor – Manado, Penjara Wirogunan–
Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar, Tempat yang diduga adanya
penyiksaan: Markas Kalong (Jl. Gunung Sahari), Gang Buntu (Kebayoran),
Gedung Jl. Latuharhari, Rumah China di Jl Melati – Denpasar, Sekolah
Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung Jl. Nusakambangan – Malang; RTM :
TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, Budi Kemulyaan,
Penduduk sipil yang menjadi korban
Perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara sebagai
akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara tercatat
sebanyak kurang lebih 35 orang.
Penduduk sipil yang menjadi korban
penganiayaan (persekusi) sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh
aparat negara dibeberapa tempat yaitu; INREHAB : Pulau Buru, Sumber
rejo, Argosari, Pulau Balang, Pulau Kemarau, Tanjung Kasu, Nanga-Nanga,
Moncong Loe, Ameroro, Nusakambangan, Kantor Walikota Tomohon,
Plantungan, Sasono Mulyo, Balaikota Solo, Nirbaya, Ranomut- Manado;
Tempat-tempat Tahanan: Salemba, Pabrik Padi di Lamongan, Gedung milik
Yayasan Thionghoa di Jl. Liloyor – Manado, Penjara Wirogunan –
Yogyakarta, Penjara Solo, Kediri, Denpasar, Tempat yang diduga adanya
penyiksaan: Markas Kalong (Jl. Gunung Sahari), Gang Buntu (Kebayoran),
Gedung Jl. Latuharhari, Rumah China di Jl Melati – Denpasar, Sekolah
Jalan Sawahan – Malang, Sekolah Machung Jl. Nusakambangan – Malang; RTM :
TPU Gandhi, Guntur, Budi Utomo, dan Budi Kemulyaan.
Penduduk sipil yang menjadi korban
penghilangan orang secara paksa sebagai akibat operasi yang dilakukan
oleh aparat negara tercatat sebanyak kurang lebih 32.774 orang.
Untuk itu Tim Adhoc Penyelidirikan
Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965-66 yang dipimpin Nur Cholis, SH, MA
merekomendasikan,-- sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto
Pasal 20 ayat (1) Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung diminta menindaklanjuti hasil
penyelidikan ini dengan penyidikan,
Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 Ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, maka hasil penyelidikan ini dapat juga diselesaikan
melalui mekanisme non yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi
korban dan keluarganya (KKR). (Web Warouw)
http://www.bergelora.com/opini-wawancara/wawancara/3280-menghitung-jutaan-korban-tragedi-1965.html
0 komentar:
Posting Komentar