Selasa, 19 April 2016 | 18:22 WIB |
Penulis: Kristian Erdianto | Editor: Sandro Gatra
Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan bersama Mendagri Tjahjo Kumolo,
Menkum HAM Yasonna Laoly, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Gubernur
Lemhanas Agus Widjojo, tokoh masyarakat Buya Syafii Maarif serta Romo
Franz Magnis Suseno dan mantan Danjen Kopassus Letjen Purnawirawan
Sintong Panjaitan menghadiri Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965,
di Jakarta, Senin (18/4/2016).
JAKARTA, KOMPAS.com - Konsep rekonsiliasi dinilai masih menjadi opsi yang paling mungkin dilakukan untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, khususnya Tragedi 1965.
Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Agus Widjojo, mengatakan bahwa saat ini seluruh elemen masyarakat dan Pemerintah harus bisa menemukan satu konsep rekonsiliasi sebagai dasar penyelesaian.
Konsep rekonsiliasi tersebut, kata Agus, harus mengungkap versi tragedi 1965 dari berbagai sudut pandang sejarah.
Rekonsiliasi sebagai opsi bisa mencairkan batas-batas pemikiran masyarakat terhadap peristiwa masa lalu dan meninggalkan dendam.
"Ini bukan rekonsiliasi antarindividu, tapi dalam tataran kebangsaan. Bukan hanya perdamaian saya dengan Ilham Aidit (anak DN Aidit) saja," ujar Agus saat menjadi panelis Simposium Nasiomal Membedah Tragedi 1965 hari ke-2, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2016).
Agus menjelaskan, konsep rekonsiliasi bisa dimulai dengan upaya pengungkapan kebenaran. Dari upaya itu, masyarakat bisa mendapatkan fakta penting seperti penyalahgunaan kewenangan oleh aparat keamanan, pelaku dan korban.
Menurut dia, proses pengungkapan kebenaran tidak harus dilakukan melalui proses pengadilan. Pasalnya, ia menilai konsep rekonsiliasi sudah mencakup segala tuntutan yang diinginkan oleh korban, seperti hak kebenaran, hak rehabilitasi dan hak reparasi.
"Dalam konsep rekonsiliasi akan lebih komprehensif daripada melalui pengadilan. Semua komponen yang dituntut ada semua, hak reparasi dan rehabilitasi ada di situ. Tidak harus lewat pengadilan, tetap memberikan keadilan," kata dia.
Selain itu, tambahnya, penyelesaian melalui jalur rekonsiliasi akan membawa dampak positif bagi kerja-kerja pemerintah ke depannya. Pengungkapan kebenaran melalui rekonsiliasi akan mampu memaksa seluruh lembaga negara menjadi lebih akuntabel.
Selain itu, Agus memandang perlunya reformasi kelembagaan agar kejadian serupa tidak terulang.
"Perlu ada akuntabilitas kekuasaan agar tidak sewenang. Harus ada reformasi kelembagaan agar tidak terulang. Hal tersebut bisa dicapai melalui
rekonsiliasi," kata Agus.
Ia menambahkan, keberhasilan proses rekonsiliasi mengharuskan adanya kesepakatan dan kemauan pihak yang bertikai untuk berdamai dengan masa lalu.
Rekonsiliasi tidak bisa dibangun atas pendekatan hitam putih. Ada kebutuhan untuk saling percaya yang ditunjukkan.
"Kalau kita tergelincir ke arah yudisial akan sulit untuk selesai. Dalam rekonsiliasi kita harus memutus masa lalu. Berdamai dengan diri sendiri. Kalau masih berputar dalam penyelesaian pengadilan, tidak akan selesai," pungkasnya.
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/19/18222681/Agus.Widjojo.Rekonsiliasi.Akan.Lebih.Komprehensif.Ketimbang.Pengadilan.HAM?utm_campaign=related&utm_medium=bp-kompas&utm_source=news&
0 komentar:
Posting Komentar