Selasa, 19 April 2016 | 18:45 WIB
Budayawan Taufik Ismail menyampaikan orasi budaya dalam Pentas Budaya
Integritas bertema "Jujur dan Terbuka Adalah Budaya Asli Indonesia" di
@america Pacific Place Mall, Jakarta, Selasa (30/10/2012). Foto
JAKARTA, KOMPAS.com — Penyair Taufik Ismail mendapat cemoohan dari para korban tragedi 1965 yang menghadiri Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2016).
Saat itu, di sela-sela simposium, panitia simposium meminta Taufik Ismail untuk tampil membacakan sebuah puisi.
Namun, ketika puisi dibacakan, Taufik mendapat respons negatif dari sejumlah peserta simposium yang hadir.
Ilham Aidit, anak dari Dipa Nusantara Aidit, yang menjadi salah satu peserta simposium, berteriak ke arah Taufik. "Provokator!"
Kemudian, peserta lain pun mengikuti sikap Ilham.
Salah satu peserta simposium, Nurlaela, dari Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulawesi Tengah, memberikan penjelasan kepada Kompas.com bahwa puisi yang dibacakan memang bernada provokatif.
Sebelum pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan sejumlah kekerasan yang terjadi setelahnya, Taufik Ismail merupakan salah satu sastrawan pendiri Manifes Kebudayaan.
Ketika itu, Manifes Kebudayaan terlibat perseteruan budaya dengan seniman atau sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang merupakan underbouw Partai Komunis Indonesia. Taufik Ismail menyebut perseteruan itu dengan istilah "Prahara Budaya".
Nurlaela mengatakan, meskipun PKI dan Lekra dibubarkan setelah tragedi 1965, puisi-puisi karya Taufik Ismail pasca-peristiwa 1965 dinilai sering kali menyudutkan PKI. Taufik, menurut Nurlaela, juga menyebut PKI sebagai pelaku G 30 S.
"Sikap seperti itu kan tentunya merugikan keluarga korban untuk menuju proses rekonsiliasi dan menuntut rehabilitasi," ujarnya
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/19/18454931/Baca.Puisi.di.Simposium.Tragedi.1965.Taufik.Ismail.Diteriaki.Provokator.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
0 komentar:
Posting Komentar