Penulis: Martahan Lumban Gaol
19:12 WIB | Senin, 25 April 2016
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hampir seminggu
berlalu setelah Simposium Nasional ‘Membedah Tragedi 1965, Pendekatan
Kesejarahan’ diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Namun,
hingga hari ini rekomendasi acara yang diprakarsai Dewan Pertimbangan
Presiden didukung Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan
(Menko Polhukam) itu tak kunjung terlihat.
Padahal, saat Simposium Tragedi 1965 berlangsung, Ketua Panitia Pengarah, Agus Widjojo mengatakan rekomendasi akan dikeluarkan dua atau tiga hari setelah acara selesai dilaksanakan. Menurutnya, berbagai masukan yang disampaikan dalam acara akan coba dirumuskan oleh Tim Perumus, kemudian disampaikan kepada Pemerintah.
Namun, hingga hari ini, Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan, masih sibuk mempertanyakan jumlah korban dan mencari lokasi kuburan massal Tragedi 1965, saat bertemu awak media. Dia pun belum bisa memastikan opsi yang akan diambil Pemerintah, meminta maaf atau tidak.
"Tidak benar bahwa kami tidak mungkin minta maaf. Saya buka (opsi meminta maaf) kalau ada kuburan massal yang bisa diidentifikasi dengan jelas," ucap Luhut di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, hari Senin (25/4) pagi.
Posisi Pemerintah saat ini, menurutnya, masih menunggu laporan rekomendasi yang dirumuskan panitia Simposium Tragedi 1965.
Dia pun meminta bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki data terkait jumlah korban dan lokasi kuburan massal Tragedi 1965 berkoordinasi dengan Pemerintah. Bila ada informasi tersebut, Luhut berjanji akan turun langsung ke lapangan untuk memeriksa.
"Kepada siapa pemerintah akan minta maaf? Yang jelas sudah ada enam jenderal TNI yang dibunuh. Itu sudah jelas, yang lain kan belum ada," kata Luhut.
Harus Diakui Terjadi
Di tempat berbeda, Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo juga mengaku belum menerima hasil rekomendasi Simposium Tragedi 1965.
Meski demikian, Prasetyo berharap rekomendasi yang dikeluarkan nantinya dapat menunjukkan keberhasilan penyelenggaraan Simposium Tragedi 1965, sehingga dapat menjadi pertimbangan Pemerintah untuk menyelenggarakan acara serupa bagi kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu lainnya.
“Semoga berhasil, semua pihak bisa memahami,” katanya.
Lebih jauh, Prasetyo menyampaikan, Pemerintah harus mengakui bahwa Tragedi 1965 pernah terjadi, meskipun berbagai bukti terkait sudah sulit ditemukan. Karena, dengan demikian, Pemerintah bisa melangkah ke tahap penyelesaian selanjutnya, seperti rehabilitasi korban.
“Peristiwa sudah lama terjadi, jumlah korban tidak jelas, bukti sulit dicari. Namun yang pasti peristiwa ada dan harus diakui, kita harus ungkap kebenarannya,” katanya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/seminggu-berlalu-rekomendasi-simposium-1965-ada-di-mana
Padahal, saat Simposium Tragedi 1965 berlangsung, Ketua Panitia Pengarah, Agus Widjojo mengatakan rekomendasi akan dikeluarkan dua atau tiga hari setelah acara selesai dilaksanakan. Menurutnya, berbagai masukan yang disampaikan dalam acara akan coba dirumuskan oleh Tim Perumus, kemudian disampaikan kepada Pemerintah.
Namun, hingga hari ini, Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan, masih sibuk mempertanyakan jumlah korban dan mencari lokasi kuburan massal Tragedi 1965, saat bertemu awak media. Dia pun belum bisa memastikan opsi yang akan diambil Pemerintah, meminta maaf atau tidak.
"Tidak benar bahwa kami tidak mungkin minta maaf. Saya buka (opsi meminta maaf) kalau ada kuburan massal yang bisa diidentifikasi dengan jelas," ucap Luhut di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, hari Senin (25/4) pagi.
Posisi Pemerintah saat ini, menurutnya, masih menunggu laporan rekomendasi yang dirumuskan panitia Simposium Tragedi 1965.
Dia pun meminta bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki data terkait jumlah korban dan lokasi kuburan massal Tragedi 1965 berkoordinasi dengan Pemerintah. Bila ada informasi tersebut, Luhut berjanji akan turun langsung ke lapangan untuk memeriksa.
"Kepada siapa pemerintah akan minta maaf? Yang jelas sudah ada enam jenderal TNI yang dibunuh. Itu sudah jelas, yang lain kan belum ada," kata Luhut.
Harus Diakui Terjadi
Di tempat berbeda, Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo juga mengaku belum menerima hasil rekomendasi Simposium Tragedi 1965.
Meski demikian, Prasetyo berharap rekomendasi yang dikeluarkan nantinya dapat menunjukkan keberhasilan penyelenggaraan Simposium Tragedi 1965, sehingga dapat menjadi pertimbangan Pemerintah untuk menyelenggarakan acara serupa bagi kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu lainnya.
“Semoga berhasil, semua pihak bisa memahami,” katanya.
Lebih jauh, Prasetyo menyampaikan, Pemerintah harus mengakui bahwa Tragedi 1965 pernah terjadi, meskipun berbagai bukti terkait sudah sulit ditemukan. Karena, dengan demikian, Pemerintah bisa melangkah ke tahap penyelesaian selanjutnya, seperti rehabilitasi korban.
“Peristiwa sudah lama terjadi, jumlah korban tidak jelas, bukti sulit dicari. Namun yang pasti peristiwa ada dan harus diakui, kita harus ungkap kebenarannya,” katanya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
0 komentar:
Posting Komentar