April 25, 2016
DESAKAN agar kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu segera diselesaikan terus disuarakan. Sudah seharusnya
pemerintah meminta maaf dan melakukan pelurusan sejarah. Berpuluh tahun
lamanya sejarah telah dibengkokkan demi kepentingan rezim Orde Baru.
Pelurusan sejarah merupakan bagian penting dari proses rekonsiliasi.
Selama ini, negara masih belum mau melakukan hal itu sementara rakyat
terus dibiarkan mengenyam hasil ‘cuci otak’ Orde Baru.
Seperti yang
tampak dengan sikap saling curiga di masyarakat sipil. Walhasil, setiap
kali ada upaya untuk melakukan pelurusan sejarah, muncul stigma dan
kengerian bahwa komunis akan bangkit kembali, terutama sering diserukan
kalangan agamawan.
Sungguh ironis bila kemudian ada seorang
figur publik yang sudah kenyang asam garam sejarah negeri ini, lantas
melontarkan lelucon yang kering lantaran tadinya garang ‘melawan lupa’,
justru kini menginginkan agar korban tragedi ’65 melupakan peristiwa itu
dan membuka lembaran baru dengan cara memanipulasi kata ‘maaf’.
Begitulah kiranya yang saya tangkap dari tulisan Goenawan Mohamad (GM)
dalam Catatan Pinggir-nya yang berjudul Maaf.
Dia menyimulasikan bahwa para korban
tragedi ’65 sedang menyimpan dendam selama setengah abad, dan barulah
setelah reformasi, mereka bisa meledak-ledak. Kemudian GM mencoba
mengambil pembenaran dari satu dialog dalam lakon musikal Fiddler on the Roof:
Orang dusun: Satu mata dibalas satu mata, dan sepotong gigi dibalas sepotong gigi.
Tevye: Bagus, bagus! Dengan demikian seluruh dunia akan buta dan ompong.
Ambivalensi Goenawan Mohamad sudah tidak mengherankan lagi. Sosoknya disebut oleh Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, sebagai
makelar kebudayaan dalam membentuk selera intelektual Indonesia. Dengan
kata lain, nama kondang Goenawan Mohamad sedikit banyak juga akibat
relasi timbal balik dengan Orde Baru.
Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan
keberadaan surat-surat antara Goenawan Mohamad dan Ivan Kats sejak
1968-1973 yang katanya tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B.
Jassin. Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga filantropi bernama
Congress for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950
yang dimaksudkan sebagai covert action untuk ‘menciptakan dasar
filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat
dan anti-komunisme.’ Diketahui pula bahwa, sosok bernama Ivan Kats
merupakan perwakilan CCF untuk Program Asia. Dalam surat itu, Goenawan
diminta untuk menulis pamflet yang bercerita tentang upaya-upaya PKI
dalam menghancurkan identitas dan pengalaman kultural dari mereka semua
yang tidak berpihak padanya. Secara spesifik Kats menginstruksikan agar
Goenawan menuliskannya dalam ‘middle level abstraction—not too highbrow’ dan dengan arahan agar isi tulisan itu memuat ‘lebih banyak cerita.
Terlepas dari sikap ‘selebritis’-nya
ketika memanfaatkan tema Frankfurt Book Fair 2015 tentang 1965,
ambiguitas GM sangat kentara dalam Caping-nya kali ini. Justru
ia ingin agar para korban 65-lah yang memaafkan para pelaku dan
melupakan tragedi kelam tersebut. Ia terlebih dahulu menempatkan korban
sebagai pendendam. Bukankah ia sedang memainkan perannya lagi, dan kini
memakai stigma baru?
Lantas mengapa, menurut saya, negara
harus meminta maaf kepada para korban? Karena selama 50 tahun lebih,
negara telah gagal melindungi dan malah menelantarkan hak-hak para
korban untuk mendapatkan perlakuan yang pantas, terlepas salah atau
benar (salah atau benar belum terbukti karena korban tidak diadili)
Walaupun pemerintahan telah berganti,
tapi amanat undang-undang untuk melindungi para korban yang telah
mendapatkan salah-perlakuan, harus tetap dijalankan, oleh siapa pun yang
menjalankan pemerintahan. Ini adalah kerusakan terhadap bangsa, yang
merupakan hutang negara (selama belum dilunasi) yang akan terus diwarisi
oleh siapapun penyelenggara negara Republik Indonesia, kecuali Republik
Indonesia telah lenyap.
Sebagai salah satu
dari barisan Manikebu, GM mungkin tidak mau terlalu dikontrol Orde Baru,
tapi juga masih tidak mau mengakui kesalahan terhadap orang-orang kiri,
tentang bagaimana tulisan-tulisannya di masa lalu yang menyerang
mereka-mereka yang dianggap ‘orang-orang kiri’, termasuk kepada
Pramoedya Ananta Toer. Namun, justru dengan negara meminta maaf terhadap
korban–setelah setengah abad berlalu–maka upacara resmi itu tidak hanya
menjadi bagian dari perhitungan politik atau ‘komedi permaafan’,
seperti yang ditudingkan GM.
Mari kita coba telaah bunyi UUD 45:
Pasal 27 (1), “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Jadi, para korban berhak mendapatkan
pengadilan dan keadilan yang layak, sama seperti semua warga negara
(yang dicurigai terlibat, maupun yang tidak dicurigai terlibat). Para
penegak hukum/negara, wajib menjalankan asas keadilan ini bagi seluruh
warganya.
(2), “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Dengan demikian, lagi-lagi dalam
penafsiran saya, para korban ’65 berhak mendapatkan perlakuan manusiawi,
sama dengan semua warga negara lainnya, yang terlibat maupun yang tidak
terlibat.
Pasal 28, “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Pemerintah seharusnya menjalankan
undang-undang ini secara konsisten, kecuali kemudian pemerintah
mengeluarkan peraturan pemerintah. Tetapi mereka yang berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pikiran melalui lisan maupun tulisan sebelum
dikeluarkan peraturan pemerintah, seharusnya tidak boleh ditahan, dengan
kata lain peraturan pemerintah pelengkap pasal 28 ini tidak boleh
berlaku surut (karena apa yang ‘telah terjadi’ tidak mungkin diubah
menjadi ‘tidak pernah terjadi’).
Saya jadi ingat ketika Presiden Joko
Widodo mengunjungi situs Lubang Buaya, Oktober 2015, ia menyampaikan
kepada publik, “Pertama, kita tetap harus waspada. Jangan sampai ada
kurangnya kewaspadaan sehingga peristiwa seperti ini terulang lagi,
meskipun saya yakin tidak akan terjadi lagi. Dan kita berharap peristiwa
G30S ini tidak akan terjadi lagi di bumi pertiwi kita.”
Kalau tidak mau terjadi lagi maka sebuah
peristiwa memilukan jangan lagi ditutup-tutupi, melainkan dibongkar dan
sejarah yang bengkok pun diluruskan. Para korban direhabilitasi
namanya. Semua itu semata agar bangsa ini benar-benar mau belajar dari
sejarah. Terkecuali jika memang terus menutup mata, pantaslah bila
komedi yang disebut GM–dengan mengutip Derrida–dalam tulisannya di
Tempo, 25 April 2016 itu, sungguh terjadi. Seperti yang dibilang Karl
Marx pula, “History repeats itself, first as tragedy, second as farce.”
Fabian Chandra, pemerhati arus informasi media seputar isu-isu hak asasi manusia.
http://bhinnekanusantara.org/mengapa-negara-harus-meminta-maaf-kepada-korban-65-kritik-atas-caping-goenawan-mohamad/
0 komentar:
Posting Komentar