HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Surat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Surat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Februari 2020

Demi Kebenaran, Keadilan dan Keterbukaan


·         Masalah Mahid-eksil di luar negeri

Kitir: 
MD Kartaprawira 


Dewasa ini telah berviral status-status tentang mahid yang tidak bisa pulang kembali ke tanah air, karena dicabut paspornya oleh rejim orba/Suharto berkaitan kasus 1965.

Status-status tersebut menyatakan bahwa sudah 50 tahun kasus mahid tidak dikutak-kutik (tidak ditangani) oleh Negara. Hal tersebut tidak benar dan tidak tepat, justru menyesatkan. Kita harus obyektif terhadap fakta yang ada, yang putih harus dikatakan putih, yang hitam harus dikatakan hitam.

Seperti kita ketahui, bahwa sebagai akibat perjuangan para mahid-eksil di luar negeri dan para peduli HAM di tanah air pada era reformasi, pemerintah terpaksa mengeluarkan UU Kewarganegaraan Indonesia /2006. Maka sejak itu sesuai Pasal 42 telah terbuka “lobang” kesempatan bagi para mahid-eksil untuk mendapatkan Kewarganegaraannya kembali dalam jangka waktu 3 tahun (sampai 01 Agustus 2009). Itulah politik pemerintah (SBY) yang oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin diformulasikan: “Tolak penyelesaian politik, tetapi setuju pemberian paspor/kewarganegaraan kembali kepada mahid-eksil” (bahkan juga kepada mereka yang bukan mahid-eksil).

Maka di Jerman, Belanda dan Kuba sebagian mahid-eksil telah berhasil mendapatkan kembali kewarganegaraannya. Bahkan saya pribadi pernah membantu/mendampingi seorang kawan ke KBRI Den Haag untuk mengurus masalah tersebut.

Tetapi ada banyak mahid-eksil yang menolak kebijakan berdasar UU Kewarganegaraan tersebut di atas. Alasannya a.l.:

1. Esensi kaidah kebenaran dan keadilan dalam kaitannya kasus 1965 tidak nampak dan tidak ada bau-baunya dalam UU tersebut, meskipun dalam considerannya banyak pasal-pasal HAM yang disebutkan. Bagi kami pengembalian kewarganegaraan/paspor hanyalah suatu buntut dari akibat penyelesaian masalah politik yang selalu diingkari oleh penguasa.

2. Bahkan berdasarkan Pasal 42 para mahid-eksil dimasukkan dalam satu ombyokan atau satu kotak dengan: a). orang-orang yang kehilangan kewargegarannya karena sesuatu hal selama 5 tahun atau lebih tidak melapor ke KBRI; b). Para pemberontak GAM, OPM dan lain-lainnya.
Pada hal para mahid-eksil teguh setia kepada NKRI, tidak pernah berontak, tapi dengan semena-mena dicabut paspornya oleh rejim Suhato. Dan para mahid-eksil tidak melarikan diri ke luar negeri, tapi dikirim untuk tugas belajar oleh Pemerintah sah Soekarno.

3. Dalam UU Kewarganegaraan/2006, para mahid-eksil diharuskan juga menyatakan sumpah setia kepada Negara RI. Nah ini suatu penghinaan yang menyedihkan dan memalukan. Sebab para mahid-eksil tidak pernah berontak kepada NKRI. Kami bukan anggota GAM dan OPM. Justru Suharto sendiri yang melakukan pemberontakan kepada Pemerintah sah RI melalui kudeta merangkaknya.

Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65) di Belanda tidak bisa menghalang-halangi anggotanya yang ingin memfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kewarganegaraan kembali. Sebab hal tersebut adalah hak asasinya untuk menentukan kelanjutan kehidupan dirinya.
LPK65 sebagai satu-satunya lembaga legal di luar negeri tetap berjuang demi menegakkan kebenaran dan keadilan bagi para korban 1965.

Khusus untuk mahid-eksil LPK65 melakukan usaha-usaha terobosan atas UU Kewarganegaraan RI/2006 dengan segala cara dan jalan.

LPK65 telah berusaha untuk menyiarkan UU Kewarganegaraan/2006 beserta komentar-kritiknya melalui: website LPK65, milis-milis Nasional-list, HKSIS, Wahana dll, wawancara media-cetak dan radio, diskusi, dialog dengan pejabat dan privat. Saya sendiri telah berdiskusi dengan Bp. Hamid Awaludin (architek UU Kewarganegaraan/2006) di KBRI Moskwa ketika beliau menjabat sebagai dubesnya. Di samping itu telah saya siarkan artikel bersama kritiknya (3 seri) untuk menanggapi sosialisasi UU Kewarganegaraan/2006 yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata di Den Haag. Jadi sangat disayangkan sekali sudah hampir 14 tahun orang tidak tahu hal-hal tersebut di atas (terutama mereka yang menamakan dirinya Mahid dan mereka yang sedikit banyak pernah bersinggungan dengan ilmu hukum).

Saya ( sebagai Ketum LPK65) telah berusaha keras untuk bertemu dan berdialog mengenai masalah eksil/mahid-eksil dengan Presiden Jokowi ketika tahun 2015 berkunjung ke Negeri Belanda. Tapi tidak berhasil mendapatkan undangan dalam salah satu pertemuan-pertemuan dengan masyarakat Indonesia, meski saya telah mengemis-ngemis melalui WAKAPRI KBRI Den Haag. Semoga pemerintah Jokowi bisa menyempatkan perhatiannya kepada masalah-masalah tersebut diatas. Bagaimana pun kami/mahid-eksil adalah Bangsa Indonesia.

Kalau mengenai masalah kepulangan para ex-WNI-ISIS jelas sikap saya dan mahid-eksil lainnya: TOLAK MEREKA!!! Presiden harus tegas. Mereka ini akan menyebabkan malapetaka yang lebih dahsyat kepada Negara dan bangsa - karena menyebarkan virus terorisme.

Sekian terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat, terutama bagi penegakan kebenaran dan keadilan berkaitan sejarah tragedi nasional 1965. Salam.

Den Haag, 14 Februari 2020
  •   Tembusan/CC kepada:
Presiden Jokowi
Menteri POLHUKAM
KOMNASHAM
Para Peduli HAM
Semua fesbuker



Kamis, 01 Agustus 2019

Surat untuk Presiden

Kepada Yang Mulia Bapak Presiden RI (Bapak Joko Widodo)
Periode 2019-2024
Di
Istana Negara Jakarta

Tegakkan  Supermasi Hukum untuk tuntaskan Pelanggaran HAM Berat masalalu
( Oleh Hs. Dian Sisa Cirebon )

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum, Wr.Wb
Salam cinta Indonesia Merdeka !!!
Dengan bertolak ukur yang dipicu oleh semangat berkemauan dari sumber 6 pokok agenda reformasi 1998, dimana salah satunya adalah “agar ditegakannya supermasi hukum untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat tahun 1965 dengan segala bentuk manifestasinya". Itu semua adalah buah perjuangan mahasiswa dan seluruh pemuda Indonesia yang mendapat dukungan rakyat secara luas, Itu semua adalah amat sangat berpotensi untuk diri saya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari segenap insan bernasib sama dalam komunitas pelanggaran HAM berat tahun 1965 yang dilakukan oleh rezim otoriter orde baru dibawah pimpinan Suharto. Maka pada kesempatan yang baik ini, saya hendak menyampaikan beberapa permasalahan melalui surat ini untuk mengingatkan para pemimpin Bangsa yang beriman, yang di atas pundaknya terletak amanah  untuk hadir berbuat yang terbaik demi kepentingan bangsa. Lain dari itu juga saya ingin bertanya kepada Bapak Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo dan kepada wakil Presiden Bapak kyai Ma'ruf Amin yang saya muliakan sejauh mana kepedulian Bapak dalam menyikapi hal tersebut. Serta menuntut atas pernyataan Bapak sebagai kaum nasionalis religius yang berjiwa patriotisme untuk menyelesaikan pokok permasalahan tersebut di atas.
Saya bersama seluruh korban bernasib sama telah melihat kenyataan dan merasakan apa yang terjadi, bahwa sejak gerakan reformasi 1998 dengan lengsernya Suharto dari Keprabon telah mengalami pergantian empat kali Presiden melalui pemilihan umum yang demokratis. Satupun tak ada yang melaksanakan amanah reformasi tersebut seperti apa yang dimaksud dalam judul surat ini kecuali Presiden ke empat yaitu Kyai Abdurahman Wahid yang merespon tuntutan masa korban, ini namun sayang tidak bisa menuntaskan tugas Kepresidenannya karena dihimpit MPR untuk dijatuhkan sehingga tidak dapat meneruskan tugasnya sampai akhir jabatan dan kandaslah tugas luhur dan mulia tidak mencapai tujuan.
Sehingga dengan demikian bahwa selama 21 tahun agenda Reformasi tersebut bidang penegakan Supermasi hukum untuk penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu sebagian besar terabaikan, yang hanya merupakan retorika sandiwara belaka sehingga berakibat bagi komunitas korban merasa sedih dan prihatin yang tak kunjung akhir. Apalagi kalo mengingat 54 tahun yang lalu semasa rezim otoriter orde baru 32 tahun berkuasa, korban langsung pelanggaran HAM berat tahun 1965 bahwa orang-orang PKI dan yang di PKI-kan saat itu hidupnya selalu di bawah telapak kaki penguasa orde baru, dimana selamanya merasa tercekam dan pahit getir yang tiada tara. Dimana kehidupannya dimarginalkan, dijadikan warga bangsa nomor dua, dirampas hak Azasinya dan dipersetan kemanusiaannya. Sehingga selama itu semua nasib korban dan anak cucu cicit keturunannya harus mengendap penyakit stigma dapat dirasakan sampai saat ini.
Namun walaupun demikian saya bersama segenap korban dimanapun berada, senantiasa berdoa kepada Allah SWT Tuhan yang maha Esa teriring rasa tawakal dan sabar penuh harap dengan tidak merasa lelah untuk selalu dan selalu mengingatkan, menuntut dan menagih kepada pimpinan yang berjiwa Negarawan sesuai dengan janjinya tatkala mengharapkan kepercayaan rakyat, untuk sanggup dan mampu tulus dan ikhlas merespon terhadap perjuangan korban sehingga semua korban dapat menikmati masa depannya yang lebih baik.
Selanjutnya saya bersama seluruh korban pelanggaran HAM berat 1965 dimanapun berada, merasa tercerahkan dan optimis bahwa dengan terpilihnya kembali Bapak Joko Widodo bersama Bapak Kyai Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan wakil Presiden terpilih dalam pemilu 17 Mei 2019 untuk masa jabatan 2019 sampai 2024, bahwa saya merasa hakkul yakin sekalipun tidak diuraikan dalam pidato pertama pasca menang pemilu visi dan misi nya tidak menyatakan tentang penekanan Hukum dan HAM, itu semua pasti Bapak Jokowi dan Bapak Kyai Ma'ruf Amin dalam hati nuraninya beliau merasa tersentuh untuk melaksanakan tuntutan korban tanpa reserve dalam rangka memimpin negara, "hadir untuk melaksanakan semua apa yang menjadi tuntutan korban seperti yang tertera dalam judul surat ini". Justru saya percaya bahwa Bapak Jokowi dan Bapak Kyai Ma’ruf Amin mengatakan “bahwa gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan jasa”. Jadi periode inilah menjadi kesempatan yang harus dimanfaatkan oleh Bapak sebelum masa jabatan berakhir.
Lain dari itu saya mengharap pula kepada pimpinan Komnasham untuk merespon ungkapan isi surat ini, sehingga mendapat perhatian semua pihak. Tidak ketinggalan pula saya minta perlindungan dari LPSK apabila ungkapan saya lewat surat ini tidak direspon oleh pihak intoleransi. Akhirnya saya berharap kepada semua korban bernasib sama dimanapun berada seperti berikut : “Sebelum menginterpretasikan masalah harapan, terlebih dahulu perkenankan saya membedah sedikit memori untuk sepenggal sejarah perjuangan Bangsa yang bersumber dari tolak ukur sebab dan akibat, sebagai faktor demi terungkapnya kebenaran sejati agar jelas duduk perkaranya.
Harapan itu adalah identik dengan cita-cita sebagai keinginan setiap manusia ke arah yang lebih baik. Secercah harapan yang lahir dari berfikir sebagai gejolak jiwa dalam dunia hayal, walau bagaimanapun setumpuk muncul harapan di hadapan mata tidaklah mungkin menjadi suatu kenyataan kalau hanya sekedar dihayati dalam alam mimpi belaka.
Akan tetapi lain halnya bahkan jauh berbeda dengan harapan setiap komunitas korban bernasib sama yang terkena imbas pelanggaran HAM berat tahun 1965, karena hasil dari cara berfikir objektif di atas kesadaran manusia untuk merebut haknya yang dirampas dan dipersetanan oleh penguasa Rezim Pemerintahan Orde Baru Suharto yang otoriter a'la fasis dengan menghalalkan segala cara dan bahkan saya yakin sepenuhnya bahwa cepat atau lambat apa yang diperjuangkan oleh segenap komunitas korban yang bernasib sama, pasti akan menjadi kenyataan untuk dinikmati bersama tanpa kecuali oleh setiap korban, walaupun harus melalui proses perjuangannya yang sulit dan berat dengan penuh segala pengorbanan. Sebab perjuangan itu esensinya adalah sebagai usaha manusia untuk mencapai tujuan, sedangkan pengorbanan itu adalah merupakan referensi pendorong semangat juang demi terwujudnya dan ternikamtinya kebenaran hakiki dan keadilan sejati serta demi terciptanya kemanusiaan yang beradab.
Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan, tetapi perjuangan dan pengorbanan yang kita lakukan adalah demi memanusiakan korban sebagai manusia yang setara dengan kehidupan manusia pada umumnya. Maka oleh karena itu semua, kita yang merasa diri terdzalimi oleh sekelompok manusia yang bertabeat dan berkarakter serakah rakus dan ambisius, mari kita “Berkholupiskuntulbaris” merapatkan barisan dengan tekad bulat bersama YPKP 65 yang visi dan misi perjuangannya adalah untuk ; pencerdasan dan pelurusan sejarah perjuangan bangsa yang proyek kerjanya yaitu produk politik rezim kekuasaan Suharto dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, pemenjaraan dan perampasan hak azasi serta mempererat kemanusiaan kepada sejumlah orang-orang PKI dan yang di PKI kan serta sejumlah pengikut Bung Karno yang setia, "tanpa melalui proses hukum yang benar dan adil, padahal saat itu negara dalam keadaan sedang tidak berperang". Kemudian mari kita segenap komunitas korban bernasib sama mendesak kepada Komnas HAM sebagai satu-satunya lembaga tinggi Negara yang berpotensi untuk sanggup dan mampu menyelesaikan visi dan misinya demi memanusiakan manusia yang data-datanya didapat dari YPKP 1965, syarat untuk berani mendorong dan mendesak pemerintah RI yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo sesuai dengan nawacitanya "bahwa negara harus hadir untuk menuntaskan pelanggaran berat HAM masalalu dan menegakkan Supermasi hukum secara benar dan adil di Negeri tercinta Indonesia ini".
Demikianlah pokok-pokok harapan saya yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari komunitas korban bernasib sama imbas daripada peristiwa tragedi nasional 1965, akhirnya saya ucapkan terimakasih atas segala perhatiannya dan mohon maaf atas segala kekurangannya.
Wabillahitaufikwalhidayah wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Cirebon, 1 Agustus 2019
Hormat saya

(H.s Dian Sisa )
No. SKKPH : 815/S.KET/PNGK/TUA/IX/2016


(TTD)



Tembusan Kepada :
1. Yth Ketua Komnas HAM
Jl. Latu har-hari 4B Menteng Jakarta Pusat 10310
2. Yth Ketua LPSK
Gedung Perintis Kemerdekaan (Gedung Pola) Lt.4 Jl.Proklamasi No.56 Jakarta Pusat 10320
3. Yth Ketua YPKP 1965 (Bapak Bejo Untung)
Jl. M.H Thamrin Gg Mulia No.21 Kp. Warung Mangga Rt.01 Rw.02 Panunggangan Kec. Pinang Kab/Kota Tanggerang 15143
4. Yang tercinta segenap korban bernasib sama Pelanggaran HAM berat tahun 1965 dimanapun berada.

Minggu, 29 April 2018

Mengenal Pramudya Ananta Toer lebih dekat lewat catatan dan surat-surat

29 April 2018

Sastrawan kawakan Pramudya Ananta Toer, yang karyanya selama ini menjadi inspirasi orang dalam memaknai sejarah perjuangan di tengah penindasan, ternyata memiliki sisi-sisi lain yang tak banyak orang mengetahuinya. Apa saja?
Hallo, Gus.
Kau sudah besarkah sekarang? Kau sudah di klas 1 SD sekarang? Bagaimana angka-angkamu? Ingin benar aku lihat kau.
Gagahkah kau? Pasti kau bakal gagah seperti kedua kakekmu. Kau rajin belajar dan membantu bunda bukan? Cium padamu, dan sampaikan juga cium papah pada semua kakakmu dan pada bundamu.
Ayahmu selalu,
Pram.
Surat itu tertanggal 6 Oktober 1972, atau tepat tiga tahun setelah si pencerita ulung meninggalkan keluarganya. Dia 'dibuang' ke Pulau Buru.
Tak terbayang bagaimana orang itu, Pramudya Ananta Toer, di usia yang tak lagi muda, menahan kerinduan akan keenam putrinya dan putra satu-satunya, Yudisthira Ananta, yang pada saat itu baru menginjak tingkat pertama sekolah dasar.
Begitu banyak tanya di suratnya, menandakan rasa ingin tahunya akan kabar keluarganya yang terpisah sekian lama. Memastikan keluarganya tetap baik-baik saja meski dia terpaksa ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan di pulau terpencil di Timur Indonesia.
Surat menyurat memang sudah menjadi kebiasaan Pram dan keluarganya untuk bertukar kabar selama satu dekade mereka terpisah. Sayangnya, mereka harus mati-matian bersabar untuk menerima balasan dari sang ayah yang sepulangnya dari Pulau Buru memiliki hobi membakar sampah.
Itu diakui oleh salah satu putri Pram, Astuti Ananta Toer, "Kalau surat, kirim surat dari Jakarta ke Pulau Buru itu satu tahun. Lain halnya kalau ada pejabat yang mau ke Pulau Buru, kita baru titip," kepada BBC Indonesia usai membuka pameran 'Namaku Pram: Catatan dan Arsip' di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Selasa (17/04)
Itu pun butuh waktu berbulan-bulan untuk menanti pejabat yang kebetulan akan berkunjung ke Pulau Buru.
Namaku PramHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionBerpuluh lembar surat, foto-foto yang sudah memudar dipajang di diorama selama pameran berlangsung hingga 20 Mei 2018
"Pak Pram tuh biar pun dia di Pulau Buru, dia pasti mengirim surat selalu. 'Hormatilah ibumu, sayangilah ibumu, jangan sakiti hati ibumu'. Selalu dia bilang seperti itu di dalam surat," ungkap perempuan yang akrab disapa Titi itu.
Dalam surat-surat balasannya dengan tulisan tangan yang sangat rapi, Titi bercerita banyak hal, termasuk celotehnya soal cedera kepala yang harus dideritanya lantaran kecebur got.
Gaya bertuturnya sangat runtut dan lugas, mirip seperti ayahnya.

Mengenal Pram lebih dekat

Surat-surat Titi kepada sang ayah merupakan salah satu dari surat-surat anak-anak Pram yang kini sedang dipajang dalam pemeran bertajuk Namaku Pram di Dia.Lo. Gue artspace, Kemang.
Pameran arsip dan catatan penulis yang sudah menulis lebih dari 50 judul buku seumur hidupnya ini membuat kita lebih mengenal dia secara lebih dekat.
Pameran ini memperlihatkan bagaimana Pram mengumpulkan cerita, mencari data, menjilid potongan-potongan berita untuk kemudian dirangkai dan diceritakan kembali, melalui tokoh-tokoh yang telah menggerakkan pemuda-pemudi yang tak terhitung jumlahnya.
Selama ini, Titi menjelaskan, orang mengenal Pram dari karyanya, namun tidak pernah tahu bagaimana proses berkarya seorang Pram.
"Jadi Pram itu menulis bukan asal menulis saja, Pram menulis hasil riset. Hasil Pram mempelajari sekian tahun untuk mendapatkan karyanya," papar Titi.
Namaku PramHak atas fotoIMAGE DYNAMICS
Image captionAstuti Ananta Toer mengaku butuh waktu satu tahun untuk menerima balasan surat ayahnya yang kala itu diasingkan di Pulau Buru
"Untuk membuat seperti Bumi Manusia saja, Pram itu harus berhari-hari di perpustakaan," ungkapnya kemudian.
Di balik buku-buku, tumpukan hasil riset yang dilakukannya bertahun-tahun, catatan-catatan soal ingatan yang dimilikinya dan sikap yang dibentuk oleh ketidakadilan yang dirasakan sekelilingnya, masih banyak tentangnya yang tidak diketahui, tertimbun dalam tumpukan buku dan pelan-pelan jadi tipis tergerus zaman.
Berpuluh lembar surat, foto-foto yang sudah memudar dipajang di diorama, termasuk tiruan ruang kerja Pram dan lembar-lembar ensiklopedia yang belum sempat jadi.
Salah satu ensiklopedia yang belum selesai itu adalah Ensiklopedia Citrawi Indonesia, kumpulan sejarah nusantara yang mulai Pram susun sejak 1958.
Sempat terhenti lantaran dia harus ditahan di Nusakambangan dan kemudian di Pulau Buru, Pram kemudian melanjutkan penyusunan ensiklopedia ini pada tahun 1980an, setelah dia dibebaskan dari Pulau Buru.
"Panjangnya bisa sampai 16 meter," cetus Titi.
Namaku PramHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionSalah satu pengunjung pameran tengah menikmati nukilan Ensiklopedia Citrawti Indonesia yang dipamerkan
"Ensiklopedia Citrawi Indonesia, itu sebagian sudah dirampas sama pemerintah. Jadi ini tinggal sebagian, penggalan-penggalan," imbuhnya.
Lalu bagaimana sang putri memandang ayahnya yang tak pernah berhenti menjadi inspirasi banyak orang demi memaknai sejarah perjuangan di tengah berbagai penindasan?
"Oh dia bapak yang baik, bapak yang adil yang bijaksana," ujarnya sambil tersenyum.
Dia lalu menuturkan bahwa selama ayahnya hidup, Pram tidak pernah berhenti bekerja sampai-sampai sang ibu membebas tugaskan ayahnya untuk urusan dapur.
"Pram itu tidak pernah tahu urusan dapur. Jadi ibu bilang 'Papah ini aja, menulis. Urusan dapur, urusan saya.' Jadi Pram seumur hidupnya bekerja, bekerja terus makanya dia menghasilkan banyak karya," tutur Titi.
Namaku PramHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionDinding perjalanan hidup yang memuat sepak terjang sejak Pramudya Ananta Toer
Siapa sangka, pameran arsip Pram ini bermula dari nazar yang diucapkan Happy Salma, artis yang menjadi sutradara pementasan Bunga Penutup Abad, adaptasi dari karya Pram, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dua tahun lalu.
"Apabila pementasan ini menuai kesuksesan, saya ingin sekali membuat sebuah pameran yang berfokus pada Pram. Karya-karya Pram telah memberikan pengaruh besar dalam cara saya memandang dan menjalani hidup," tutur Happy.
Dia lalu mengungkapkan pameran ini merupakan bentuk rasa terima kasihnya untuk Pram yang secara tidak langsung menjadi guru hidupnya.
"Saya ingin lebih banyak lagi orang yang tahu tentang Pram dan membaca karya-karyanya. Bahwa karya sastra mampu menggerakkan hati banyak orang dan membangun karakter seseorang dan pada akhirnya karakter bangsa adalah benar," kata dia.
Namaku PramHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionLukisan dan sketsa Pram beserta keluarganya turut dipamerkan di pameran arsipnya
Gaung bersambut, pemilik Dia.Lo. Gue Artspace yang juga penggemar Pram, Engel Tanzil menyediakan ruang agar arsip dan bibliografi Pram bisa dinikmati khalayak.
"Pelan-pelan kami berproses bersama untuk mencari fokus dari pameran ini. Pameran inipun tidak mungkin terselenggara tanpa kerja sama dari keluarga besar Pramoedya Ananta Toer," ujar Happy.
Lalu, mengapa pameran ini diberi judul Namaku Pram?
'Namaku Pram'Hak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionTiruan ruang kerja Pram, menjadi salah satu yang dipamerkan di pameran 'Namaku Pram'
Engel mengaku tak mudah memberi judul pameran ini, apalagi untuk seorang Pram. Namun, pada intinya, melalui pameran ini dia ingin berbagi dengan orang-orang tentang apa yang dia lihat dari Pram dalam proses pameran arsipnya ini.
"Mungkin dalam satu abad hanya satu orang seperti dia, bagaimana dia bekerja, bagaimana dia mengumpulkan catatan dan menggabungkan itu sebagai sebuah alur cerita bagaimana dia memberikan pemikiran itu begitu intens. Itu saya rasa adalah sebuah perkenalan, makanya judulnya adalah Namaku Pram," kata Engel.
Sumber:  BBC Indonesia 

Sabtu, 23 September 2017

Tentang Kebangkitan PKI

Oleh: M. Kholid Syeirazi*

ilustrasi
Ini bukan narasi ilmiah, cuma uneg-uneg yang mewakili pendapat subjektif saya tentang isu kebangkitan PKI. Anda boleh berpendapat, saya juga. Ini pendapat saya.
Saya sama sekali tidak percaya komunisme bangkit di Indonesia. Tanya kenapa? Ideologi itu sudah tidak laku, tidak diminati orang, apalagi oleh generasi milenial. Ayo jujur, emang gampang jadi komunis? Prinsip komunisme adalah: “From each according to his ability, to each according to his needs.” Ini dawuh Eyang Kakung Karl Marx. Aslinya dalam bahasa Jerman: “Jeder nach seinen Fähigkeiten, jedem nach seinen Bedürfnissen.“
Dalam masyarakat ‘kominis’ (ejaan khas mbah-mbah buyut saya), “Setiap orang memberi sesuai kemampuannya, setiap orang mendapat sesuai dengan kebutuhuannya.” Anda doktor, lulus S3 luar negeri, tidak usah pamer ijazah. Jika anak Anda cuma 1, Anda tidak berhak dapat bayaran lebih tinggi dari tukang parkir lulusan SMP yang anaknya 5. Itu adil dalam perspektif komunisme.
Apa yang gini laku? Emang enak “sama rata sama rasa”? Mimpi komunisme kiri-kira begini: “kalau mau kaya ya kaya bareng, kalau miskin ya miskin bareng.”
Alamak! Sama rata-sama rasa hanya ada di surga. Di surga pun ada tingkatan-tingkatannya. Ada surga kelas VVIP, ada surga kelas ekonomi. Ada juga al-A’raf, tempat di antara surga dan neraka.
Jika Mbak Marx bilang kapitalisme mengidap kontradiksi internal dan menggali kuburnya sendiri, komunisme juga. Mana ada masyarakat bisa tumbuh dan berkembang kalau tidak ada kompetisi? Tanpa kompetisi, tidak ada inovasi, tidak ada kreativitas, tidak ada kemajuan. Kompetisi adalah kodrat manusia. Islam juga mengajarkan orang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Tetapi, kompetisi juga harus tandem dengan koperasi. Ini ajaran tawassuth dalam Islam, yang tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945.
Ajaran komunisme yang utopis ini tadi tidak pernah ada dalam praktek sejarah. Di Rusia, Lenin mendirikan negara sosialis. Ajaran Marx dimodifikasi menjadi: “From each according to his ability, to each according to his works” (Setiap orang memberi sesuai kemampuannya, setiap orang mendapat sesuai prestasinya). Di sini kerja orang dihargai. Hasrat untuk maju tumbuh. Orang tidak perlu sama-sama miskin. Orang boleh kaya, tetapi jangan terlalu timpang.
Ini pun tidak bertahan karena kendali negara terlalu kuat. Orang gerah, tidak bisa kreatif, tidak bebas ekspresi. Uni Soviet tumbang, Tembok Berlin jebol. Sosialisme-komunisme kandas. Sejarah usai, kapitalisme berjaya, kata Fukuyama. Komunisme tinggal nama. Tidak ada negara komunis. Yang ada adalah negara otoriter, dengan sistem politik tertutup, tetapi pro-pasar seperti RRT (Republik Rakyat Tiongkok).
Kalau Anda bilang RRT negara komunis, karena itu Jokowi berarti antek komunis karena akrab dengan RRT, Anda diketawai kecebong. RRT itu negara kapitalis, cuma dimodifikasi. Karena sistem politiknya tertutup, porsi negara besar. Namanya kapitalisme negara. Model begini banyak, termasuk Singapore.
Jika Jokowi akrab dengan RRT, itu bukan karena beliau turunan PKI dan antek ‘kominis’, tetapi karena yang pegang duit sekarang ini RRT. Jangankan Indonesia, Amerika aja tergantung duit RRT. Raja Salman tempo hari juga berusaha menggangsir duit RRT dalam rangka pelepasan saham perdana Saudi Aramco.
Alhasil, komunisme usang, tidak laku. Yang masih laku, dan tetap dipelajari dengan penut minat di kampus-kampus, adalah marxisme. Marxisme tidak sama dengan komunisme. Marxisme adalah filsafat kritis terhadap kapitalisme. Karena yang berjaya sekarang adalah kapitalisme dan janji kapitalisme adalah mewujudkan kesejahteraan seperti titah Adam Smith (The Wealth of Nations) dan ternyata terjadi ketimpangan dan masih banyak orang melarat, orang pinjam teori Karl Marx untuk menyoal kemiskinan. Mempelajari marxisme tidak sama dengan menjadi komunis. Orang sekadar pinjam pisau Marx untuk membedah anatomi kapitalisme.
Dan tidak usah takut, banyak pengikut Marx yang tidak paham marxisme. Karena apa? Buku babon Marx tentang kritik kapitalisme adalah Das Kapital. Tidak seperti buku lain, buku ini sulit dicerna dan dipahami, termasuk oleh pentolan partai komunis di seluruh dunia. Dulu, sewaktu kuliah dan Orde Baru lagi berjaya, kiri itu ‘seksi.’ Saya juga ingin terlihat seksi dengan menenteng-nenteng buku Das Kapital (edisi Inggris yang saya punya Capital), meski tidak paham isinya.
Sekarang kita pindah ke soal PKI. Saya tidak percaya PKI bangkit. Apa indikatornya? Mayjen (Purn) Kivlan Zen dalam acara ILC TVOne bilang, indikatornya adalah adalah suara-suara yang ingin Tap MPRS No. 25/1966 dicabut. Saya merasa ini dibesar-besarkan.
Dulu Gus Dur punya ide mencabut Tap ini untuk membuka pintu rekonsiliasi. Apa berarti Gus Dur komunis?
Ada banyak tafsir dan teori seputar kejadian tahun 1965. Selama ini tafsirnya dimonopoli Orde Baru: PKI bersalah, berontak, dan layak dibantai semua pengikut dan simpatisannya. Titik! Saya orang NU dan yakin PKI bersalah di tahun 1965 dan tahun 1948. Di tahun 1950-an, abah saya adalah santri Tebuireng, Jombang. Pengasuhnya waktu itu KH. Abdul Kholiq Hasyim, putra Hadlratus Syeikh yang terkenal ‘jaduk’ alias sakti. Semua santri waktu itu digembleng hizib. Untuk apa? Melawan PKI yang aktif memprovokasi kekerasan, termasuk di kantong-kantong NU.
Setelah gagal berontak di Madiun tahun 1948, PKI terus berambisi mengambil alih kekuasaan dan mempengaruhi Bung Karno. Situasi di bawah panas. Kediri, Blitar, Jombang, dan tempat-tempat lain bergolak. Berdasarkan hikayat lisan, banyak kiai-kiai NU dipersekusi PKI. NU tentu saja melawan.
Jadi, teori yang bilang PKI murni korban dalam kasus 1965, pasti ditolak NU. Mereka berhadap-hadapan di lapangan. Sepanjang tahun 50-60an, situasinya seperti “kill or to be killed.” Namun, teori yang menimpakan semua kesalahan kepada PKI sehingga mereka layak dihabisi secara brutal, juga tidak adil.
Sudah banyak sumber kritis yang menyebut tensi sosial yang eskalatif itu ditunggangi oleh lanskap Perang Dingin yang agendanya membersihkan pengaruh komunisme di seluruh dunia. Mereka pakai alat ABRI yang terbelah dan kemudian menyuplai logistik untuk membantai PKI. Tensi sosial di bawah yang keras cocok dengan skenario benturan. NU yang sudah sering bersitegang dengan PKI menjadi mitra dalam mewujudkan skenario itu. Terjadilah kemudian peristiwa berdarah yang mengerikan. Semua orang gelap mata. Korban juga banyak berasal dari orang yang tidak bersalah. Tahu-tahu mereka diangkut, disiksa, asetnya dijarah.
Gus Dur bilang, banyak pihak dalam peristiwa 1965 adalah korban keaadaan. Karena itu, beliau berbesar hati meminta maaf. Tetapi saya syok, Pram (Pramoedya Ananta Toer), sastrawan Lekra yang karya-karyanya dikagumi, tidak menunjukkan akhlak terpuji. Dengan pongah dia menampik uluran tangan Gus Dur.
Prahara 1965 adalah salah satu bab terkelam dari sejarah Indonesia. Kita tahu, pihak-pihak yang ingin kejelasan duduk perkara 1965 tidak bisa serta merta dianggap mewakili aspirasi PKI. Menuntut negara meminta maaf kepada PKI dan menyatakan PKI tidak bersalah pasti ditolak banyak orang, karena PKI terbukti terlibat dalam kekerasan sosial dan pemberontakan. Tetapi, memberikan keadilan kepada korban yang tidak bersalah: korban salah tangkap, korban stigma, dan korban keadaan perlu dilakukan.
Caranya rekonsiliasi kultural alamiah seperti yang dilakukan NU. Banyak kiai NU di Jawa menjadi ayah asuh bagi anak-anak keturunan PKI. Cara ini merupakan mekanisme kultural terbaik ketimbang menyeret Indonesia ke Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 di Den Haag oleh satu pihak dan membangkitkan sentimen anti-PKI sebagai dagangan politik di pihak lain. Dua-duanya tidak elok! Hanya bikin perpecahan bangsa.
Saya ingin mencapai kesimpulan saya sendiri. Anda boleh menyimpulkan yang lain.
Pertama, orang-orang yang menuntut keadilan dan kejelasan peristiwa 1965 tidak otomatis PKI. Seperti Gus Dur, banyak kalangan adalah pejuang keadilan dan kemanusiaan.
Kedua, kebangkitan PKI hanya dagangan politik. Komunisme sudah tidak laku. Dia hantu yang dipelihara untuk konsolidasi agenda politik. Siapa pelakunya dan apa agendanya? Kalau Anda baca buku Robert Dreyfus, Devil’s Game, isu komunisme ini mengena di kelompok Islam Kanan. Dulu, Jamaluddin al-Afghani membangkitkan Pan-Islamisme dengan dukungan Inggris. Agendanya adalah menyingkirkan pengaruh komunisme di Asia Tengah, Afrika, dan Asia Barat Daya. Spirit revivalisme Islam dibangkitkan untuk melawan pengaruh Rusia di daerah-daerah itu. Dan berhasil!
Pola ini terus digunakan. Dalam lanskap Perang Dingin, Amerika dan Inggris melatih para Jihadis di Afghanistan untuk melawan Rusia. Isunya Islam lawan komunisme. Setelah sukses mengusir Rusia, mereka kelak membentuk al-Qaeda dan menabrak Pentagon dan WTC. Senjata makan tuan! Di Indonesia, petanya jelas sekali. Setelah sukses memenangkan Gubernur DKI, politik Islam bersiap-siap menyongsong Pilpres 2019. Banyak di antara pendukung Gubernur DKI terpilih kemarin yakin bahkan haqqul yaqin Jokowi adalah keturunan PKI. Dan, seperti pola di belahan dunia lain di masa lalu, isu Pilpres 2019 adalah Islam lawan komunisme. Sekarang baru pemansan.
Anda tahu sendiri, siapa yang dianggap representasi Islam, siapa yang dianggap wakil PKI. Dalam politik, wakil Islam tidak harus mengerti Islam. Yang penting, dia mendengungkan aspirasi kelompok Islam. NU adalah pelaku sejarah yang tidak akan mengikuti agenda begini. NU cintra NKRI, cinta Islam, dan cinta Indonesia. Demikian.
___
*M. Kholid Syeirazi, Sekjen PP ISNU

Sabtu, 16 September 2017

Apa Yang Masih Bisa Diharapkan?

Surat: Dewi Kartika*

Saya menuliskan ini sambil menunggu jadwal kembali ke Jakarta. Perasaan dan pikiran saya untuk kawan-kawan di LBH Jakarta dan YLBHI, yang menyelenggarakan diskusi tentang peristiwa 65 dan dibubarkan polisi.

Kalau diskusi di LBH Jakarta saja, bertempat di Gedung YLBHI yang sohor itu bisa dibubarkan paksa, spanduk-spanduk bisa dicopot paksa oleh polisi, tanpa bisa dicegah oleh tangan-tangan kekuasaan. Apakah yang masih bisa diharapkan?

Padahal, para pembicara diskusi ini selain orang-orang sepuh yang berjalan pun susah, ada juga orang-orang terpelajar. Ada sejarawan, aktivis, beberapa diantaranya saya mengenalnya sebagai orang-orang yang dekat dengan dan berkawan dengan tokoh-tokoh kekuasaan. Akan tetapi tak ada yang bisa mencegah pembubaran ini.

Gedung YLBHI ini bertempat di Menteng, Jakarta Pusat. Para pembicara dan orang-orang yang duduk di situ juga kawan yang biasa mengadvokasi orang lain. Dibubarkan.

Saya jadi bertanya-tanya apakah ada harapan untuk teman-teman kota petani, nelayan, perempuan, mahasiswa dan masyarakat adat mendapatkan perlindungan dari aktivitas advokasi mereka di lapangan.

Setahu saya, di zaman Orde Baru saja, Partai Rakyat Demokratik bisa dideklarasikan di gedung ini oleh para aktivis. Zaman dimana militer begitu angkuh. Lewat di depan kantor mereka saja, jika sepeda atau motormu terlalu cepat bisa dihukum push up setelah kena tempeleng.

Bukankah ini tahun 2017? Jika diskusi saja tak bisa. Apakah bisa hal-hal yang lain dapat diluruskan, seperti reforma agraria, penyelesaian konflik agraria, reklamasi, kendeng. Ataukah memang tak ada beda sama sekali?

Kita memang tak bisa berharap selain kepada gerakan sosial dan kawan-kawan seperjuangan kita yang tak pernah lelah meluruskan dan menegakkan kemanusiaan di tanah air ini. 

Tirani Pasti Mati!

Dubai, 16 September 2017

*Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria

Surat dari Seorang Kader NU di Bandung

Kepada Kawan-Kawan KMNU, PMII, dan Yang Lainnya...

Kredit Foto: Aksi Menolak Seminar Pengungkapan Sejarah 65 -yang diplesetkan dan diviralkan sebagai Seminar Pembela PKI- di LBH Jakarta (16/9)
Sewaktu Gus Dur menjadi presiden, ia berusaha menghapuskan TAP MPRS No. XXV/1966, yang melarang Marxisme-Leninisme. Alasannya jelas, bagi Gus Dur ini bertentangan dengan demokrasi yang juga dilindungi oleh UU Negara.
Dalam acara Kick Andy, Gus Dur mengatakan "Orang-orang punya hak untuk berpikir dan hak hidup; seperti halnya orang-orang komunis". Kemudian ia berkata, "Gak usah takut sama komunis, ngapain takut, lah mereka sama-sama manusia seperti kita". Kawan-kawan KMNU dan PMII bisa cek di You Tube untuk hal ini.
Bahkan Gus Dur pun meminta maaf kepada para korban kekerasan GS30 yang dilakukan oleh Orde Baru seperti kepada sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku biografi Gus Dur, Greg Barton menjelaskan bahwa di waktu SMP, Gus Dur telah selesai membaca buku-buku Marxisme seperti Marx, Engels, Lenin, dan lainnya.
Hingga saat Gus Dur pertama kali menjadi presiden, ia mempersilahkan siapa saja untuk datang ke istana negara tempat ia berada hanya untuk sekedar berdiskusi atau silahturahim. Dari berbaga latar belakang sosial, seperti para mantan tapol yang diperlakukan sewenang-wenang karena dituduh komunis pada masa pemerintahan Orde Baru. Ini dijelaskan dengan sangat baik dan indah oleh Greg Barton dalam bukunya, Biografi Gus Dur. Hal inilah yang dimaksud sebagai praktik berdemokrasi dengan benar. Gus Dur telah memberikan contoh yang baik pada kita.
Maka untuk kawan-kawan NU dan yang lainnya. Saya berpesan, jangan mudah terprovokasi, dibohongin oleh ormas atau siapapun yang menebar kebencian dan permusuhan. Kawan-kawan harus sering tabayyun, harus kritis, biar gak salah langkah, gak salah kaprah. Akhir-akhir ini sering terjadi perseteruan dan perkelahian akibat kurangnya pemahaman masyarakat kita, ditambah lagi bertebarannya hoax.
Kembali munculnya wacana anti-komunis yang semakin santer. Kawan-kawan KMNU dan yang lainnya harus hati-hati, jangan gampang terprovokasi. Saya pun punya banyak kawan-kawan yang sering dianggal komunis. Padahal komunis itu sudah tidak ada sejak runtuhnya tembok Berlin dan kegagalan Uni Soviet. Di Indonesia sendiri sejak terjadi genosida oleh pemerintah Orde Baru.
Kawan-kawan saya itu yang mengadopsi pemikiran-pemikiran Marxisme, seperti juga para founding father kita seperti Tjokroaminoto, Haji Misbach, Soekarno, Hatt, Sjahrir, Tan Malaka, dan lainnya, yang nyantanya pada baik-baik aja, solid, dan penuh simpatik. Saya suka ngobrol, bahkan terkadang sampai mondok bareng sama beberapa kawan komunis (?) atau tepatnya yang mengadopsi pemikiran Marxis ini. Meski harus diakui ada juga kekurangan dalam hal pemikiran atau sikap mereka. Namanya juga manusia, gak ada yang sempurna toh?
Seperti kata Gus Dur, jadi tidak usah takut sama komunis, ngapain ditakutin, lah mereka juga sama-sama manusia seperti kita. Kalau takut berarti tuhannya wong komunis. Kawan-kawan yang baik ini pasti nggak mau disebut murtad secara gak langsung?
Mereka, orang-orang selalu dicap komunis, sebenarnya punya tujuan yang baik, hanya saja landasannya berbeda dengan kita. Sekali lagi, jangan pernah membenci apapun atau siapapun sebelum kawan-kawan tahu kejelasannya, tahu yang sebenernya. Contohlah para sesepuh kita di NU atau yang lainnya, dari Mbah Wahab, Gus Dur, Gus Mus, Gus Fayyadl sampai Mba Alisa Wahid dan Mba Kalis. Mereka sangat rendah hati, cerdas, kritis, dan toleran. Sekali lagi jangan mudah terprovokasi. Harus sering tabayyun, harus sabar, dan hati-hati. Kawan-kawan KMNU dan lainnya harus tetep waras, biar bisa terus membenahi dan menjaga laju demokrasi di negara ini.
___
dituturkan oleh Yunantyo AS

Minggu, 21 Mei 2017

Surat Tapol kepada TKW, Cucunya

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 21 Mei 2017)

Surat Tapol kepada TKW, Cucunya | ilustrasi Mahendra Mangku/Kompas
Febri yang baik, Pelupuk mataku hangat. Basah hidungku. Kau bilang aku tak peka. Engkau juga seperti menimpakan seluruh kesalahan ke pundakku yang tua ini. Karena dari 12.000 yang diasingkan selama sepuluh tahun di pulau pembuangan itu, tak ada yang becus untuk menghasilkan tulisan yang menggugah. Jangankan menggerakkan. Kau katakan, dan terasa seperti menghukumku: “Kakek, tahu enggak,” begitu kau menyindir, “Anne Frank cuma 13 tahun, tapi dia begitu menukik dan agung menghayati kecemasan, ketakutan, yang memenjarakannya di belakang lemari persembunyian, sampai dia digerebek dan dibinasakan. Sementara catatan hariannya menjadi warisan dunia dan lambang kekuatan manusia dalam menghadapi penindasan yang membinasakan.”
10 Tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka.
Dalam surat terakhir, engkau kabarkan belum menonton film dokumenter tentang pulau di mana aku, dan ribuan lainnya, membikin aus otot, tulang, dan otak hanya untuk menghasilkan padi, sementara yang menikmati adalah tentara pengawal. Kau sebutkan ada temanmu yang sudah menyaksikan, namun dia datang membawa sebuah gugatan. Mengapa hanya dua tahanan yang muncul di layar? Di mana yang 12.000 lagi? Dan aku mati kutu ketika kau cecar, kau tekan terus, mengapa judul film yang semula begitu merangsang dan heroik tiba-tiba diganti dengan kata yang hambar, seakan-akan pulau penyiksaan itu sebuah surga lama yang baru ditemukan. Ada apa? Takut…? Menyensor diri sendiri? Hendak bermanis-manis dengan kekuasaan yang telah menistamu? Yang membuat kalian sampai pada kesimpulan bahwa hidup semata-mata untuk memikul siksa.
Aku tak mengerti, Feb. Dan aku cuma bisa bilang itu bukan citra getir pulau pembuangan dari beribu manusia yang dihinakan. Aku bersih dari prasangkamu. Aku tak terlibat. Apa pun yang ingin engkau katakan, ucapkanlah, namun ingat selalu, aku kakekmu.
Kuceritakan dalam catatan yang kutulis setelah aku pulang, bebas, bahwa kami, orang-orang rantai yang hina-dina, itu seperti muatan tak berharga dibongkar, dikeluarkan dari perut perahu, digiring satu-satu menginjakkan kaki di tebing Namlea yang berbau bakau. Penglihatanku menumbuk belantara. Tetapi, dengan lantang aku berteriak di dalam hati bahwa di pulau ini kami pasti akan mampu bertahan. Manusia bisa dikorbankan, tapi takkan mungkin dihancurkan!
Begitu kami menyeruak semak-semak dalam iringan kawalan bersenjata, terlihat sukun. Hatiku memekik. Daun-daunya hijau ramah melambai. Ada sarang lebah. Sarat menggantung penuh madu. Rendah pula. Terbayang, dan aku menelan liur pahit setelah berjalan berjam-jam dengan beban di pundak bahwa kami takkan kekurangan karbohidrat. Ada sukun. Buah yang di kampungku juga disebut roti belanda. Aduhai sedapnya roti yang empur itu dicelupkan atau dioles madu. Pulau pembuangan terasa seperti surga yang sedang hanyut dari langit ketujuh. Kau bayangkan betapa sukacitanya aku yang sudah bertahun-tahun tak mengenal buah segar. Di sepanjang rawa berjejer salak. Daunnya hijau pekat menjulur-julur ke angkasa.
Tetapi…. Ah, dasar tapol. Nasib yang lebih malang yang kami temukan. Pas dengan keinginan kekuasaan yang tak puas-puasnya merendahkan martabat kami. Ternyata yang kulihat itu bukan sukun, tetapi berembang yang kalau disantap bikin mabuk. Yang menggantung menggoda itu bukan sarang tawon, tetapi rayap. Hmm… dikira salak. Padahal, cuma rotan yang menjalar dan tegak berdiri mencari matahari.
Memang tak kasar, Feb. Tetapi, kau menyebutkan aku tak punya imajinasi. Majal…! Hatiku tidak terluka karena label yang kau tancapkan itu. Bagaimanapun, pedih membaca kata-katamu itu. Kau sebutkan tulisan yang kususun dengan berkeringat itu tak lebih dari catatan kerani kelurahan yang terus merengek minta gaji dinaikkan, sementara isi laporannya hanya mengotori halaman.
Engkau harus tahu, sepuluh tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka. Terbang membubung menemukan kekuatan kata. Bagaimana tidak mati kelaparan. Cuma itu isi otakku. Otak kami. Kalau kami berkhayal, itu pastilah tak jauh dari pikiran bagaimana menyelamatkan diri. Kalau kami ikan, maka yang kami renungkan, kerjakan, setiap detik adalah bagaimana air bisa tetap berada di insang, di sirip, kami. Tahukah kau bahwa khayal dan imajinasi, juga ikhtiar untuk itu, bisa berakhir dengan kematian: dibunuh penjaga, dibunuh teman sendiri, atau bunuh diri….
Tak berarti kami mampus sudah. Tinggal sekadar daging yang mau, dan bisa bergerak, lantaran siksaan militer yang sedang pesta kekuasaan. Kau bisa memojokkan tikus dan membunuhnya, tetapi sebelum mati dia masih punya akal untuk menyelamatkan sehelai nyawa. Dan itulah juga kami. Tak ada pintu untuk melawan. Tetapi, sudah dari sananya kezaliman mesti dilawan. Dengan jalan bagaimanapun. Kalah total kakekmu ini tak sudi. Walau tak mau mati konyol. Dan tak sia-sia aku ini pernah menjadi sukarelawan dan anggota resimen mahasiswa Jawa Timur untuk membebaskan Irian Barat tahun 1962 di bawah komando Soekarno.
Aku pernah dilatih melancarkan sabotase. Kemahiran ini tak kusia-siakan di pulau pembuangan yang jauh terpencil bernama Buru itu. Aku mencuri beberapa gulung seng. Menyurukkannya di persembunyian yang sempurna. Dasar sial, si Heru mengambilnya selembar dan dijadikannya tempat penjemuran kopi. Mati aku…. Kepergok pengawal. Saya melompat ke depan tapol yang bodoh itu. Mengambil alih tanggung jawab yang bisa berarti kematian bagiku.
“Dia tidak bersalah, Sersan. Saya yang mengambil seng dari gudang,” kataku mantap.
Empat bulan aku dikurung. Tak pernah melihat matahari. Ditanya macam-macam. Disiksa dengan rupa-rupa cara yang baru ditemukan tentara yang bengis itu di sini. Aku dituduh mempersiapkan gudang golok untuk memberontak membebaskan seisi pulau. Setrum, kaki meja kursi, gada besi bergerigi mendarat di sekujur tubuhku. Kalau tak sadarkan diri, mereka cemplungkan aku ke dalam perigi. Diseret keluar. Dipaksa makan cabai rawit sepiring penuh. Kedua mataku tenggelam ditelan pipi, dagu, dan jidatku yang bengkak mau meletus. Digebuki sampai gempor. Aku tak percaya bahwa aku bisa berdiri lagi. Tapi, perlu kukatakan, rasa sakit, perih, nyeri, dari siksaan itu hanya terasa di hari pertama. Selebihnya syarafku kayaknya sudah mati.
Dua hari selepas aku dibebaskan dari penyiksaan, diadakan apel di bawah terik matahari.
“Hei, kalian semua, jangan coba-coba seperti Tumiseng ini, ya…!” bentak komandan kamp menghardik tapol yang berjejer, yang dia perlakukan tak lebih dari segerombolan tikus. “Atau kalian mau jadi umpan buaya…!” sambungnya lagi, sengit. Aku sakit hati karena dia menodai nama yang diberikan kedua orangtuaku. “Tumiseng,” katanya. Tumiso pencuri seng. Pedih. Tapi, baiklah, aku tak usah membuat perkara lebih besar. Nasib pesakitan memang untuk memuaskan nafsu yang kuasa.
“Komandan…!” Seruan itu seperti meluncur sendiri dari kerongkonganku. Semua tapol terperangah. “Memang, saya yang mencuri empat gulung seng. Tapi, itu belum cukup,” ucapku gemetar.
“Ha…! Maksudmu apa?” Matanya menelanku.
“Saya perlu enam gulung lagi….” Para tapol yang berjejer kepanasan bergetar dibuat kata-kataku itu. Dagu mereka tergantung. Melongo. Tak percaya pada setengah manusia, kawan senasib mereka, yang baru saja berbicara.
Sersan yang berkuasa atas nyawa kami melangkah mendekati daguku. “Mau kauapakan seng sebanyak itu?” Dia mengucapkannya dengan baik-baik, nada datar. Tidak membentak. Aku menang dalam pertarungan tak seimbang ini, teriakku di dalam hati.
“Komandan ’kan tahu keluarga kami akan menyusul. Seng sebanyak itu kami butuhkan untuk membuat perabot rumah tangga. Ember, panci, anglo, teko, dan cangkir. Juga tetabuhan guna menghibur keluarga yang datang. Supaya mereka betah. Saya dan kawan-kawan akan bekerja lebih keras lagi untuk membuat kamp yang Komandan pimpin ini terbaik dari seluruh kamp yang ada di pulau ini.”
Sersan itu seperti mendapat mukjizat dari ucapanku yang tak pernah dia bayangkan. Lama dia menikam mataku. Lama sekali. Kaki para tapol pada bergeser menunggu peruntunganku. Tiba-tiba dia mengamangkan tangan kanannya. Memberi hormat kepadaku. Aku tegak saja. Diam. Tidak bersorak menyambut kemenangan luar biasa ini.
“Pakai sepedaku. Urus semua kebutuhan.”
“Siap, Komandan! Saya perlu surat jalan dari Komandan.”
Dia melepaskan topi lapangannya. “Ini,” katanya, “tunjukkan ini kalau ada yang bertanya.”
Jumpalitan aku menari-nari di dalam hati. Kutunggang sepeda menuju gudang, 20 kilo jauhnya. Tidak bersiul-siul kegirangan, memang, namun hatiku tak pernah mekar sesemarak hari itu. Aku melewati unit-unit lain. Mampir dan basa-basi di tengah jalan. Dengan Buyung Saleh, Bandaharo, Naibaho, Tom Anwar. Menjenguk Pram yang tidak memedulikan kehadiranku. Apalagi kemenanganku. Dia seperti diburu waktu, kebanjiran kata-kata untuk segera ditumpahkan ke mesin ketik.
Tema besar dalam surat-suratmu, yang kau desakkan adalah kemampuan berimajinasi. Aku bukan pengarang. Cuma guru yang dituduh memilih jalan terkutuk oleh penguasa. Memang, tanpa daya khayal manusia bukan apa-apa. Dia akan menjadi seperti tikus yang terus-menerus ngibrit ke sarang yang sama. Tak perlu aku berdoa supaya kau menempuh jalan yang kulalui. Ditendang masuk bui, dibuang, supaya mampu memberikan nilai tinggi pada kebebasan. Untuk itu terkadang kita bisa menjadi seorang pendurhaka.
Dengarkanlah baik-baik. Tanpa kebebasan, yang hanya jadi bayang-bayang hampa selama bertahun-tahun dijepit tembok penjara dan hutan belantara, kau menjadi tiada sebelum mati. Agama, di tangan mereka yang tak punya hati dan pikiran, tak menolong. Kau tahu, nenek moyang kita pengikut setia para sunan. Tapi, di pembuangan, oleh orang-orang yang pendek pikiran, fanatik seperti batu yang tak berguna, agama berubah menjadi ajaran yang jahat. Para penganjur yang dikirimkan khusus dari Jakarta memperlakukan kami sebagai calon penghuni yang pasti bagi neraka jahanam. Agama di sini menjadi siksaan. Sungguh. Seorang penyair asal Sumatera, seagama denganku, memberontak dengan cara membangun tonil Kristiani, keliling kampung. Naskah dia tulis sendiri. Penderitaan Kristus selalu menggetarkan, memang. Komandan tertinggi mengenal namanya. Sang Kolonel mengirim kopral menemui, mengancam si penyair kembali ke agama orangtuanya atau …
Namun, tak-bisa-tidak, agama jugalah yang membebaskan. Aku kumpulkan lalang kering, bambu yang tak terpakai, juga dolken. Sendirian, kubangun kuda-kuda. Kutegakkan, dan jadilah apa yang kau sangka sebuah dangau. Beberapa hari kemudian, di ujung kuda-kuda yang memuja langit, kupakukan salib dari dahan kering. Buat komandan jaga, ini kelakuan agamawi. Bukan perlawanan. Dia dianggap sebagai sikap kalah dari mereka yang dirantai. Jadi, gereja itu berdiri dengan damai, kedamaian yang didambakan semua agama.
“Sejauh mana Bung tahu tentang Kristen, kok nekat bikin gereja?” tanya tapol berdarah Tionghoa.
“Bertahun-tahun saya membaca Injil. Sering dengan mengeja huruf dan kata-katanya. Tentu tidak sempurna. Aku yakin gereja membebaskan. Paling tidak membuka celah pintu dunia bagi kita,” jawabku.
Minggu hanya beberapa orang yang hadir beribadah. Kadang aku yang memberikan khotbah singkat. Acap kali, ada pastor yang datang dari Namlea. Gereja yang sederhana itu kemudian berubah jadi pintu menuju surga. Aku bebas berjalan kaki ke Namlea, membantu siapa saja yang memerlukan tenagaku. Ikut memuat dan membongkar muatan kapal. Pulang-pulang terkadang aku mengempit potongan kertas koran di pinggangku. Koran yang usianya sudah berbulan-bulan. Untuk memahami dunia luar, potongan koran bekas itu lebih berharga dari kitab suci. Sembunyi-sembunyi kami bergantian seperti menghafal huruf-hurufnya yang lusuh. Kami menyimaknya huruf-demi-huruf, kata-demi-kata. Titik koma. Mengejanya baik-baik layaknya potongan koran yang kumal itu akan membawa kami ke daratan yang dijanjikan.
Di kemudian hari, gereja itu pula yang menyadarkan dunia bahwa ada seorang penulis, yang bertahun-tahun dikurung, telah berkali-kali dicalonkan untuk menerima Nobel. Sementara Presiden Indonesia malah cuma tercantum dalam urutan teratas di antara koruptor di seluruh dunia. Dan aku tidak mabuk dengan pencapaianku melalui gerejaku itu. Walau aku tahu tanpa tanganku yang menyelundupkan naskah Pram ke Namlea, dunia tak bakalan pernah membacanya.
Cucu semata wayangku,
Ingin kusudahi surat ini dengan permintaan agar kau tidak menuduh aku campur tangan dalam urusanmu yang sangat pribadi selama kau bekerja di Jeddah ini. Engkau bilang, Ben kayaknya kesengsem. Mengejarmu ke mana-mana. Kalau menyentuh tangan lekaki di depan umum akan dihukum, kuanjurkan sambutlah tangannya. Cium diam-diam. Jangan terlalu memilih-milih. Jangan sampai “Takut titik lalu tumpah.”
Aku tahu, orang Timur Tengah itu tak bisa dipegang. Mereka pasir yang mudah berpindah kalau diterpa angin gurun. Tetapi, ingat, ngger. Percayalah kepada korban! Ben keturunan Palestina, korban dari permainan kekuasaan. Kesepakatan dunia, kalau Israel berdiri, Palestina juga harus menjadi keniscayaan, tegak sebagai satu negara. Tapi, pada akhirnya aku serahkan padamu. Engkau sendirilah yang tahu bagaimana menghadapi badai di negeri dataran gurun yang jauh itu. Kalau kau tak percaya pada pasir, kecuali pada seruan hatimu sendiri, maka sebagai pemuja kebebasan, aku akan menghormati pilihanmu.
Salam, Tumiso Danuasmoro.

Martin Aleida. Anak Tanjung Balai, Sumatera Utara; menghabiskan lebih setengah abad usianya di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, dan penulis sejumlah fiksi panjang maupun pendek. Sedang menunggu terbitnya catatan perjalanannya, “Tanah Air yang Hilang”, tentang eksil Indonesia yang kelayaban di Eropa.

https://lakonhidup.com/2017/05/21/surat-tapol-kepada-tkw-cucunya/