HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Tan Malaka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tan Malaka. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Agustus 2018

Sejarah Indonesia | Pemerintahan Darurat Tan Malaka Bukan untuk Saingi Proklamasi

Oleh: Iswara N Raditya - 25 Agustus 2018

Tan Malaka

Tan Malaka menyerukan kembali kepada semangat proklamasi 17 Agustus 1945. Namun, ia justru dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah RI.
Situasi negara sedang genting pada pekan-pekan terakhir tahun 1948 itu. Pada 18 Desember, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Yogyakarta sebagai ibukota RI pun diduduki. Indonesia yang sudah menyatakan merdeka sejak 17 Agustus 1945 kini di berada ujung tanduk. 

Sukarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi lainnya ditawan Belanda, lalu dibuang ke luar Jawa. Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan lantas mendeklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 23 Desember 1948 di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Sebelumnya, Tan Malaka melantangkan pidatonya dari Kediri pada 21 Desember 1948 dan disiarkan Radio Republik Jawa Timur. Pendiri Partai Murba ini menyerukan kemerdekaan 100 persen dengan bergerilya dan menentang kebijakan diplomasi yang selama ini diutamakan pemerintah RI pimpinan Sukarno-Hatta.

Anti-Perjuangan Diplomasi

Tan Malaka pernah menjabat wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk kawasan Asia Tenggara. Namun, tokoh asal Sumatera Barat kelahiran 2 Juni 1897 ini justru kerap berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan sejak zaman kolonial.

Menurut Safrizal Rambe dalam Pemikiran Politik Tan Malaka (2003), ketika PKI melancarkan aksi perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat pada 1926/1927, Tan Malaka menentang. Sikap serupa juga ia tunjukkan terhadap pemberontakan PKI 1948 di Madiun yang dipimpin Musso (hlm. 34).

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka memilih berjuang lewat jalur oposisi. Ia disebut-sebut berbeda pandangan dengan Sukarno, Hatta, dan para pemimpin republik lainnya. 

Tan Malaka, seperti dituturkan Onghokham dalam Rakyat dan Negara (1991), amat menentang kebijakan diplomasi yang terus-menerus diutamakan pemerintah RI (hlm. 156). Ia tidak memercayai Belanda yang selalu mengingkari setiap perundingan yang telah disepakati. Dan memang seperti itulah yang kemudian terjadi.

Posisi Tan Malaka sebagai oposan yang sangat gencar “melawan” setiap kebijakan pemerintah membuatnya ditangkap dan dijebloskan ke jeruji besi sejak Maret 1946. Selama tiga tahun lebih enam bulan ia mendekam di bui, dipenjarakan oleh sesama anak bangsa sendiri.

Pada 16 September 1948, dinukil dari buku Mengabdi Republik: Volume 2 (1978) karya Adam Malik, Tan Malaka bebas (hlm. 201). Kini saatnya ia bergerak, berjuang dengan prinsip yang diyakininya, yakni terus melawan, bergerilya, anti-diplomasi, demi kemerdekaan seutuhnya bagi rakyat Indonesia.

Pemerintahan Darurat di Kediri

Pada 1946, Partai Rakyat berdiri. Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 2: Maret 1946-Maret 1947 (2008) menyebutkan, partai ini lahir atas andil Tan Malaka setelah gagal mengambilalih PKI (hlm. 53). Partai Rakyat merupakan kelanjutan dari Partai Republik Indonesia (PARI) bentukan Tan Malaka pada 1927.

Selepas dari kurungan, Tan Malaka bergabung dengan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Partai Rakyat beserta sejumlah partai oposisi lainnya, termasuk Partai Rakyat Jelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Komunis Muda, Barisan Banteng, Laskar Rakyat Jawa Barat, dan lainnya sepakat melebur menjadi Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).

Partai Murba yang dideklarasikan pada 7 November 1948 menjadi kendaraan baru bagi Tan Malaka dan kawan-kawan untuk menentang kebijakan diplomasi yang terus-menerus dilakukan pemerintahan Sukarno-Hatta dengan Belanda.

Ketika Sukarno, Hatta, dan para pemimpin RI lainnya ditangkap kemudian diasingkan ke luar Jawa, juga telah jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda, tiba saatnya bagi Tan Malaka untuk unjuk gigi. Maka, pada 20 Desember 1948, Tan Malaka menyerukan pidato dari Kediri yang disiarkan ke segala penjuru melalui Radio Republik Jawa Timur.

Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire" Indonesia: Volume 4 (2004), menyebut bahwa Tan Malaka dan para pendukungnya mengambil langkah politik dengan mendirikan pemerintahan darurat di Jawa (hlm. 220). Ini merupakan tindak lanjut dari pidato tanggal 20 Desember 1948 itu, karena Tan Malaka tidak yakin dengan PDRI yang dideklarasikan di Bukittinggi.

Para pengikutnya menghendaki Tan Malaka menjadi presiden pemerintahan darurat di Kediri itu. Sedangkan Roestam Effendi, orang Indonesia berhaluan kiri yang juga mantan anggota parlemen Belanda, didapuk sebagai wakilnya. Ini artinya, kelompok Tan Malaka tidak mengakui PDRI yang diklaim telah mendapat restu dari Sukarno untuk membentuk pemerintahan cadangan.

Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949 (2008) juga meyakini hal serupa bahwa Tan Malaka dan para pendukungnya telah membentuk pemerintahan darurat di Jawa Timur (hlm. 158).

Namun, berdasarkan analisis Poeze, pemerintahan darurat ala Tan Malaka ini juga merupakan bagian dari rencana yang dibikin pemerintahan Sukarno. Sebuah laporan intelijen dari Jawa Timur yang diterima pada bulan Maret 1949, ungkap Poeze, menyajikan teori komplotan yang rumit (hlm. 158).

Masih menurut Poeze, pada 19 Desember 1948—sebelum para petinggi RI ditawan—kabinet republik di Yogyakarta telah memutuskan tentang penunjukan dua pimpinan politik, yakni yang moderat dan yang radikal. 

Pemerintahan darurat di Sumatera (PDRI) dianggap terlalu lemah untuk ditanggapi dengan serius. Maka, kelompok Tan Malaka yang dinilai lebih bernyali memimpin republik darurat di Jawa Timur, tepatnya di Kediri.

Poeze, berdasarkan laporan-laporan rahasia yang ditemukannya, mengungkapkan bahwa antara Tan Malaka dan Sukarno sebenarnya terjalin hubungan khusus, meskipun keduanya selama ini diketahui tidak sejalan (hlm. 158).

Infografik Tan Malaka

Gerilya, Mati Dieksekusi TNI

Pidato Tan Malaka 20 Desember 1948 menjadi semacam proklamasi atau deklarasi dibentuknya pemerintahan darurat di Kediri. Salah satu poin penting pidato ini adalah penolakan Tan Malaka terhadap upaya diplomasi dengan Belanda, juga seruan perjuangan gerilya untuk mewujudkan kemerdekaan sepenuhnya.

Tan Malaka amat menyesalkan jalan perundingan yang selalu diingkari Belanda dan menyebabkan wilayah RI kian tergerus. 
“Sekarang, kita sudah mempunyai pengalaman pahit dengan politik diplomasi. Mari kita beralih pada perjuangan dengan bambu runcing,” tegasnya, dikutip dari Poeze (2008: 153),
“Dari sini,” lanjut Tan Malaka, “saya menyerukan pada seluruh rakyat di Indonesia, khususnya yang ada di daerah-daerah pendudukan, untuk melancarkan perlawanan gerilya, bebas dari perintah dan pengaruh kolonial, serta terlepas dari diplomasi perundingan.”
“Rebut kembali setiap jengkal tanah yang telah diduduki musuh, dan usirlah ia sampai laut dan kembalikan ke negeri asalnya… Tolak semua perintah gencatan senjata, dari siapapun datangnya, sebelum Belanda meninggalkan Indonesia!” serunya.
Berkali-kali Tan Malaka menegaskan rakyat Indonesia harus kembali kepada semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan demikian, pidato Tan Malaka—yang menjadi landasan berdirinya pemerintahan darurat di Kediri—bukan untuk menggantikan proklamasi yang tiga tahun lalu dinyatakan oleh Sukarno-Hatta.
“Sudah tiga tahun perjuangan berjalan. Tapi politik diplomasi telah mengembalikan perjuangan kita pada taraf awal revolusi kita. Apakah kita akan berjuang dengan semua yang ada pada kita, ataukah akan kita biarkan Belanda mengatur nasib kita?” tukas Tan Malaka.
“Jika kita masih tetap percaya pada Proklamasi (17 Agustus 1945), dan tidak akan melakukan pengkhianatan terhadap para pahlawan, yang telah mempertahankannya dengan memberikan hidup mereka, maka seharusnya kita kembali kepada semangat Proklamasi, pada bambu runcing.”
Tan Malaka menutup pidatonya dengan seruan yang amat heroik. 
“Satu menit pun kedaulatan rakyat Indonesia tidak boleh ditunda-tunda, dan kebulatan kemerdekaan kita tidak boleh dikurangi. Sekali merdeka, tetap merdeka!”
Setelah itu, dikutip dari buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) yang ditulis Benny G. Setiono, Tan Malaka mengimbau agar dilakukan perang semesta melawan Belanda, tapi gagal memperoleh respons yang berarti (hlm. 672). Tak patah arang, Tan Malaka terus berjuang, bergerilya dari pelosok ke pelosok.

Perjuangan gerilya Tan Malaka ternyata bukan berakhir di ujung senapan serdadu Belanda. Pada 21 Februari 1949, ia ditembak mati oleh tentara republik. Pidato alias “proklamasi” yang diserukan Tan Malaka dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan bangsa sendiri.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Tan Malaka ditembak mati tentara republik saat bergerilya.

Sumber: Tirto.Id 

Jumat, 01 Juni 2018

Tan Malaka, Muslim yang Marxis


Juni 1, 2018 - Rudi Hartono*

Tan Malaka. Foto Istimewa.

Hampir semua tokoh gerakan kiri di tahun 1920-an lahir dari gerakan Islam. Meski mereka belajar marxisme, tetapi keimanannya pada ajaran Islam tidak ditanggalkan. Bahkan, tidak jarang, mereka memadukan antara marxisme dan Islamisme. Sampai lahir jargon yang sangat terkenal zaman itu:

“Kami Islam se-Islam-Islamnya. Dalam menghadapi kapitalis, kami Marxis se-Marxis-Marxisnya.”

Begitu juga dengan Tan Malaka. Pemilik nama asli Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka ini sepanjang hidupnya selalu berusaha menjadikan Marxisme dan Islamisme seiring-sejalan dalam perjuangan menentang kolonialisme dan kapitalisme.

[1]

Tan Malaka lahir dari keluarga pemeluk Islam di Sumatera Barat. “saya lahir dalam keluarga Islam yang taat,” katanya di dalam risalah berjudul Islam Dalam Tinjauan Madilog (1948). Bahkan, melebihi orang-orang yang sering mengkafirkannya, Tan Malaka kecil sudah bisa menafsirkan Al-Qur’an dan menjadi guru muda.

Tan Malaka sangat mengagumi Nabi Muhammad SAW. Semasa masih kecil, ketika Ibunya menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW yang yatim-piatu, air mata Tan Malaka mengucur. Bahkan, seperti dituturkan keponakan Tan, Zulfikar, “Tan Malaka kecil–sering dipanggil Ibra–tidak pernah meninggalkan sembahyang dan hafal Al-quran.”

Ketika belajar di Haarlem, negeri Belanda, Tan Malaka tidak putus dengan ajaran Islam. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda beberapa kali ditamatkannya. Buku-buku tentang Islam, termasuk karya  Snouck Hurgronje, terus dibacanya. Kendati demikian, Tan Mengakui bahwa pengaruh bacaan baru dan situasi dunia kala itu, terutama Revolusi Rusia 1917, banyak mempengaruhi pandangan hidupnya.

Lantas, apakah ketika sudah terpengaruh bacaan baru, terutama marxisme, Tan Malaka meninggalkan keislamannya? 
 Pada bulan November 1922, di hadapan perwakilan partai komunis dari berbagai belahan dunia, Tan Malaka menegaskan, “ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”
[2]

Sekarang kita tengok pandangan Malaka sebagai marxis terhadap Islam. Ketika berbicara soal konsep Tauhid dalam Islam, yakni pengakuan terhadap ke-Esaan Allah SWT, Tan menghubungkannya dengan sejarah ekonomi dan politik masyarakat Arab.

Menurut Tan, masyarakat Arab pra-Muhammad SAW adalah masyarakat yang terbelah dalam banyak suku dan masing-masing menyembah bermacam-macam berhala. Situasi itu membawa bangsa-bangsa Arab dalam peperangan saudara yang panjang dan sangat keji. Karena itu, bagi Tan, masyarakat Arab butuh pemimpin yang bisa menyatukannya.
Tan mengatakan, “persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu, melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.”
Pada saat itu muncullah Nabi Muhammad SAW. Yang menarik, Tan melihat kemunculan Nabi Muhamad SAW sebagai pemimpin bukan karena faktor inmaterial, melainkan dari faktor material. 

Pertama, Muhammad, yang masih muda tapi haus pengetahuan, suka menyendiri dan merenung di pegunungan luar kota Mekah. Di sana ia mengamati berbagai fenomena alam, seperti bulan, peredaran bintang, dan jatuhnya hujan, sembari mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
“Tak heran kalau pemuda Muhammad didesak oleh persoalan sebagai siapakah yang mengemudikan jalannya bulan dan jutaan bintang ini, yang tetap teratur ini. Siapakah yang menjatuhkan hujan yang memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia itu? Apakah asalnya dan akhirnya manusia ini? Tiadakah ada buat mempersatukan bangsaku, memperlihatkan seteru sengketa dan menerangi gelap gulita itu : mengangkat bangsaku jadi obor dunia?” kata Tan Malaka.
Kedua, perjalanan dagang Nabi Muhammad ke berbagai negara-negara di sekitar Arab memberinya pengalaman dan pengetahuan untuk menjadi pemimpin. 
Terhadap hal ini, Tan menjelaskan, “Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.”
Bagi Tan, kendati Nabi Muhammad SAW itu masih buta-huruf, “University of Life” (Universitas hidup) telah menggemblengnya mengenali berbagai persoalan yang dihadapi masyarakatnya dan menemukan jalan pemecahannya. Ini pula yang melahirkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin besar.

Dengan konsep ke-Esaan Tuhan dan ke-Mahakuasaan-Nya, Islam menempatkan semua manusia–tanpa memandang kekayaan, pangkat, suku, warna kulit, jenis kelamin, dan lain– setara di hadapan Tuhan.

Dalam konteks Madilog, kata Tan Malaka, “Yang Maha Kuasa itulah bisa lebih kuasa dari undang alam (hukum alam).” Menurut dia, jangkauan ‘Ilmu Bukti’ hanyalah pada hukum atau kodrat alam, yakni hukum yang mengatur benda-benda di alam raya ini untuk bergerak berpadu, berpisah, saling tolak, saling tarik, dan sebagainya.

Sementara “Yang Maha Kuasa”, juga Surga dan Neraka, jelas berada di luar “Ilmu Bukti”.  Dan berarti diluar jangkauan Madilog. Bagi Tan Malaka, percaya dan tidaknya akan “Yang Maha Kuasa” itu tergantung dari masing-masing orang. “Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri. Dalam hal ini saya mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan kebebasan yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang saya junjung,” kata Tan Malaka.

[3]

Kemudian, kita akan membahas dukungan penuh Tan Malaka terhadap aliansi strategis antara Islam dan Komunis.

Di tahun 1921, Tan Malaka menghadiri kongres Sarekat Islam (SI). Di sana ia bertemu tokoh-tokoh SI, seperti HOS Tjokroaminoto dan Semaun. Tetapi ia lebih terpikat pada Semaun.

Semaun, yang saat itu menjabat Ketua PKI, mengajak Tan ke Semarang. Di sana Semaun meminta Tan membantunya mendirikan sekolah-sekolah yang disponsori oleh SI-Semarang. Namanya SI school atau Sekolahan SI Semarang. Tan Malaka menjadi pengajar utama di sekolah tersebut.

Tak lama kemudian, karena kepiawaian organisatoris dan pengetahuan teoritiknya, Tan ditunjuk sebagai Ketua PKI pada Desember 1921. Yang menarik, seperti dicatat oleh Harry A Poeze, peneliti sekaligus penulis buku berjudul Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ketika menjabat sebagai Ketua PKI dari 1921-1922, Tan Malaka teguh mendukung proyek aliansi Islam-Komunis.

Sejak tahun 1916, pasca kegagalan kerjasama dengan Insulinde, kaum sosialis (ISDV) mulai menjajaki kerjasama dengan Sarekat Islam. Sejak itu, titik temu antara sosialisme dan islam banyak dibicarakan. Apalagi, keduanya sama-sama menentang kolonialisme dan imperialisme.

Tetapi berbagai masalah pribadi muncul mengusik kerjasama itu. Pertama, pada tahun 1920, posisi Tjokroaminoto sebagai ketua SI mulai merosot.

Terutama karena kasus ‘Seksi B’, yaitu pemberontakan rakyat Garut, Jawa Barat, yang dipimpin oleh SI, yang membuat Tjokroaminoto terancam ditangkap. Karena itu, Tjokro meminta agar SI mengendurkan serangan dan menghindari kontroversi yang mengganggung penguasa. SI cabang Semarang, yang dikuasai kaum merah, mengecam sikap mengendur Tjokro tersebut.

Kedua, serangan Darsono, seorang tokoh ISDV, yang membongkar kasus korupsi di tubuh pimpinan SI, Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo. Tuduhan Darsono itu benar-benar menampar tokoh-tokoh SI, terutama para loyalis Tjokro.

Beruntung, pada kongres SI di bulan Maret 1921, berbagai masalah itu berhasil diredam sementara. Semaun dan Haji Agus Salim sepakat menyusun program bersama berdasarkan prinsip Islam dan komunis. Salah satu poin kesepakatan itu adalah: Sarekat Islam sepakat bahwa kejahatan penindasan secara nasional dan ekonomi merupakan produk kapitalisme, karenanya rakyat koloni harus bebas dari kejahatan tersebut, berjuang melawan kapitalisme dengan sekuat tenaga dengan kekuatan dan kemampuan, terutama melalui serikat buruh dan tani.

Namun, kerjasama ini hanya sementara. Rupanya, sentimen anti-komunis makin merasuki segelintir pimpinan SI, terutama Tjokroaminoto dan Haji Agussalim. Keduanya mulai berpikir untuk menendang kaum komunis dari SI. Pada kenyataannya, sentimen anti-komunis dari tokoh SI ini tidaklah ideologis maupun politis, melainkan didorong oleh persaingan politik.

Propaganda anti-komunis pun dilancarkan. Tjokro, misalnya, berkampanye bahwa SI berdasarkan agama islam, sedangkan komunis tidak percaya Tuhan dan tidak mengakui agama Islam. Agus Salim, yang berada dibalik proposal Disiplin Partai, menyatakan bahwa SI mendasarkan perjuangannya pada semua klas, sementara komunis hanya pada satu klas: proletar. (Lihat, Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, hal 326).

Tak hanya itu, Tjokro dan Agus Salim menuding kaum komunis sebagai ‘tukang pecah-belah’. Tak hanya itu, dengan meminjam tesis Komunis Internasional (Komintern) tentang Pan Islamisme, keduanya mempropagandakan bahwa kaum komunis menentang proyek Pan-Islamisme.

Akhirnya, pada kongres SI di Surabaya, Oktober 1921, proposal Disiplin Partai diajukan. Yang berarti: menendang kaum komunis dari tubuh SI. Pada saat itulah Tan Malaka muncul. Menurut dia, PKI tidak boleh dikecualikan dari program Disiplin Partai. Alasannya, komunisme secara alami menjadi Islam dalam melawan imperialisme.

Tan Malaka menunjukkan bahwa di luar negeri kaum komunis bisa beraliansi dengan gerakan Islam. Ia mencontohkan, kaum Bolsevik beraliansi dengan kaum muslim di Kaukasus, Persia, Afghanistan, dan Bukhara. Bagi Tan, kalau SI memang organisasi religius internasional, maka mereka harus belajar dari komunitas islam di luar negeri yang beraliansi dengan komunis.

Namun Agus Salim mengeluarkan bantahan. Menurutnya, semua yang disebutkan oleh Marx sudah ada dalam Al-Quran. Selain itu, kata dia, sekalipun muslim timur tengah menerima bantuan Bolshevik, tetapi mereka tetap merdeka dan tidak membiarkan Bolshevik memasuki masyarakatnya. ( Lihat: Ruth McVey, Kemunculan Komunis Indonesia, hal 170-171)
Pada bulan Desember 1921, PKI menggelar Kongres. Tan Malaka menjadi pembicara penting di Kongres itu. Dia menekankan, “kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan rakyat Indonesia.”
Pasca kongres, berkat pengaruh Tan Malaka, PKI banyak menarik kesesuaian antara komunisme dan islamisme. Misalnya, dalam aspek propaganda, mereka merujuk ke ayat Al-quran untuk untuk menunjukkan simpati kepada rakyat dengan mengecam penindasan dan keserakahan. Tak hanya itu, PKI Semarang membentuk Komite Haji untuk mengubah peraturan Haji pemerintah yang memberatkan ataupun bertentangan dengan hukum Islam.

Tak hanya di partainya, dukungan Tan Malaka terhadap aliansi Islam-Komunis juga ditunjukkan di forum komunis Internasional. Pada Kongres Komunis Internasional ke-empat, 12 November 1922, Tan Malaka menyatakan perlunya dukungan terhadap Pan-Islamisme dalam kerangka melawan imperialisme.
Di kongres itu Tan Malaka berseru, “Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas.Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.”
Seruan Tan Malaka didukung oleh seorang perwakilan dari Tunisia dan seorang delegasi Belanda.
“Saya tidak mendapat jawaban apapun, kendati pidato saya mendapat sambutan hangat dari Kongres,” kata Tan Malaka. 
 Kendati tidak menyalahkan taktik PKI yang beraliansi dengan Sarekat Islam, tetapi Komintern tetap mengutuk Pan-Islamisme.

Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Selasa, 24 April 2018

Film Tan Malaka dilarang karena otoritas 'masih terjebak narasi sejarah versi Orba'

24 April 2018






FILM MAHA GURU TAN MALAKA
Image captionFilm Maha Guru Tan Malaka berkisah tentang Marko yang menelusri jejak-jejak masa lalu Tan Malaka
Pelarangan film dokumenter tentang pahlawan nasional Tan Malaka di Padang, Sumatera Barat, diakibatkan karena pengambil keputusan 'masih terjebak oleh narasi sejarah versi Orde Baru'.
Hal ini disampaikan pengamat sejarah Universitas Indonesia, Bonnie Triyana, mengomentari pelarangan penayangan film Maha Guru Tan Malaka di Padang, pada Sabtu (21/04).
"Kita termakan oleh isu atau cerita yang difabrikasi sejak zaman Suharto. Ini bisa dilihat dari kebijakan otoritas, pemerintah, atau pihak keamanan yang hampir selalu antisipatif terhadap film atau hal-hal lain yang diduga berkaitan dengan isu-isu komunisme," kata Bonnie kepada BBC Indonesia, hari Senin (23/04).
"Padahal sebetulnya nggak segitu-gitu amat, maksudnya tak perlu ada yang dikhawatirkan. Apalagi tentang Tan Malaka," imbuh Bonnie.
BBC Indonesia sudah menghubungi pihak-pihak terkait yang dilaporkan melarang pemutaran film Maha Guru Tan Malaka di Padang, namun hingga berita ini diturunkan, sambungan telepon ke kapolda Sumatera Barat, kepala Polresta Padang dan komandan Korem Wirabraja tidak terjawab.
Diduga pelarangan ini terkait dengan kekhawatiran bahwa film tersebut 'bisa menjadi medium paparan atau penyebaran ideologi komunisme', kekhawatiran yang ditolak oleh sutradara film ini, Daniel Rudi Haryanto.
Ia menjelaskan film dokumenter yang ia garap berkisah tentang perjalanan seorang pemuda bernama Marko menyusuri kembali jejak-jejak Tan Malaka di Belanda.
"Dan tidak ada sama sekali kata komunis, logo komunis, maupun semua yang dituduhkan itu," kata Rudi.

Pesan sejarah untuk kaum muda

Dalam film berdurasi setengah jam ini, Marko seakan memasuki relung waktu, berjalan ke masa lalu, dengan gaya video blogging atau vlog, format yang sengaja ia pilih agar pesan yang ia kirim bisa efektif masuk ke kalangan muda di Indonesia.
Rudi ingin, melalui film Maha Guru Tan Malaka ini, generasi muda menjadi lebih memahami perjalanan sejarah Indonesia termasuk kontribusi Tan Malaka di dalamnya.
Film Maha Guru Tan MalakaHak atas fotoFILM MAHA GURU TAN MALAKA
Image captionTan Malaka sebagai pahlawan nasional pada 1963, tetapi 'sejak 1965 namanya tidak ada lagi, meski gelarnya tidak pernah dicabut'.
"Kalau ada tuduhan film ini adalah pintu masuk penyebaran komunisme, itu tuduhan yang tak masuk akal dan tak berdasar," kata Rudi.
"Film ini juga sebagai bentuk terima kasih atas jasa dan perjuangan para pahlawan, termasuk Tan Malaka," tambahnya.
Rudi menggarap film ini atas bantuan dana dari Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, mengatakan film Tan Malaka ini bagus karena memakai pendekatan baru. "Jangan segan belajar sejarah, sejarah itu keren, dan dengan sejarah itu kita tahu, kita ini siapa dan kita mau ke mana," katanya.
Ini adalah pelarangan pertama film Maha Guru Tan Malaka, setelah sebelumnya antara lain diputar untuk kalangan terbatas di Malang (Jawa Timur), Tebet (Jakarta), Tangerang (Banten), dan Lampung.
Menurut pemerhati sejarah Bonnie Triyana, narasi sejarah Tan Malaka versi Orde Baru masih banyak dipegang oleh otoritas. Di luar itu, dari aspek hukum, masih ada ketetapan MPRS tahun 1966 tentang pelarangan ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme.

Diminta adil

"Cakupan ayat dalam MPRS tersebut sangat luas. Dulu Abdurrahman Wahid mengusulkan agar ketetapan MPRS itu dicabut, tapi mendapat penentangan," kata Bonnie.
Ia mengatakan mestinya harus ada batasan yang jelas. Meski demikian, film-film seperti Maha Guru Tan Malaka ini tak semestinya dilarang.
"Jika ada film yang memberikan informasi kepada generasi muda tentang sosok Tan Malaka, yang sebetulnya juga pahlawan nasional, pemerintah sebaiknya memberikan kelonggaran. Apalagi jika pemutarannya dilakukan di kampus-kampus," kata Bonnie.
Bonnie juga meminta semua pihak di Indonesia untuk adil atau fair terhadap sejarah.
Tugu Tan MalakaHak atas fotoIWAN RAKELTA
Image captionTugu penghormatan untuk Tan Malaka didirikan di tanah kelahirannya di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat.
"Kalau kita belajar sejarah pergerakan pada era 1920-an, mau tak mau kita harus membahas siapa itu Tan Malaka, mau tak mau kita harus menyebut orang-orang yang beraliran kiri, kalau tidak itu namanya memanipulasi sejarah dengan menghilangkan sama sekali peran mereka," kata Bonnie.
"Itu persoalannya, kita menjadi tidak adil. Hanya karena peristiwa 1965, yang dituduhkan kepada PKI, lantas kita pukul rata semua gerakan komunisme yang menjadi bagian dari sejarah Republik ini harus dihilangkan," katanya.
Tan Malaka adalah tokoh kiri yang sejak awal mencita-citakan Indonesia merdeka dari kolonial Belanda. Selain pernah diasingkan dan menjadi legenda aktivis politik bawah tanah selama bertahun-tahun, pria kelahiran 1897 ini juga menulis beberapa buku terkenal.
Di mata keluarga, seperti dituturkan Hengky Novaron, Tan Malaka -yang meninggal dunia pada 1949- adalah panutan.
"Bagaimana anak cucu bisa mengambil pelajaran dari sosok Tan Malaka. Insya Allah ke depan lebih dari Datuk Ibrahim Tan Malaka. Ia bukan hanya sekedar milik Minangkabau, milik nasional, tapi milik internasional," katanya.
Menurut sejarahwan Asvi Warman Adam, pemerintah Indonesia telah menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional pada 1963, tetapi 'sejak 1965 namanya tidak ada lagi, meski gelarnya tidak pernah dicabut'.

Sumber: BBC Indonesia 

Senin, 23 April 2018

Diskusi Tan Malaka Dihambat di Kampung Halamannya Sendiri

23 April 2018



Tan Malaka


Film dokumenter yang bercerita soal Tan Malaka dilarang diputar di Padang. Ini menambah deretan panjang kejadian serupa sejak beberapa tahun yang lalu.
Shelter Utara, perpustakaan kolektif dan ruang literasi alternatif yang berlokasi di Padang, Sumatera Barat, seharusnya menyelenggarakan pemutaran film berjudul Maha Guru Tan Malaka di markas mereka jalan Berok Raya, Siteba, Padang, Sabtu (21/4) kemarin. Namun acara tersebut terpaksa dibatalkan. 

Sejak Rabu atau tiga hari sebelum hari pemutaran, penyelenggara mengaku mendapat intimidasi "dari berbagai pihak" yang berusaha menghalangi pemutaran film dokumenter tersebut. Caranya beragam, mulai dari didatangi orang yang mengaku polisi dan intel, ditelpon, sampai dengan dipantau dari jarak dekat. Perizinan pun dipersulit.

Pengakuan tersebut datang dari Andini, salah satu pegiat Shelter Utara. Ia heran karena baru kali ini penolakan terjadi, meski sebetulnya pemutaran sejenis sudah sering mereka selenggarakan. Sebelumnya, Shelter Utara juga pernah menggelar nonton bareng film Istirahatlah Kata-kata, bercerita soal Wiji Thukul, aktivis cum sastrawan yang dihilangkan Orde Baru. 

"Padahal ini sama saja seperti sebelumnya, program bulanan kami," katanya kepada Tirto, Minggu (22/4) kemarin. 
Katanya, motivasi Shelter Utara menyelenggarakan pemutaran film semata "ingin mengenal bagaimana pemikiran dari Tan Malaka." 

Maha Guru Tan Malaka berkisah tentang pemikiran dan perjalanan hidup Tan Malaka ketika studi di Belanda sejak 1913. Film karya Daniel Rudi Haryanto ini menggabungkan video blogging (vlog) dengan animasi. Di sana ia dibantu Harry Albert Poeze, seorang sejarawan asal Belanda yang mengabdikan seluruh karier akademisnya dan lebih dari separuh hidupnya untuk meneliti sosok ini. 

Film ini dibuat dengan bantuan dana dari Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp175 juta.

Andini menduga penolakan dilatari oleh alasan "klasik": polisi memang kerap mempermasalahkan acara-acara yang mengundang keramaian, terutama di lingkungan warga, karena takut terjadi kericuhan atau hal-hal sejenis. "Shelter Utara itu gedungnya memang di tengah-tengah warga," kata Andini. 

(Ralat 23 April pukul 15.59, sebelumnya tertulis: Andini menduga penolakan dilatari oleh alasan "klasik": Tan Malaka dianggap seorang komunis, dan ideologi ini tak boleh lagi ada di Indonesia lewat TAP MPRS Nomor XXV 1966. Definisi klasik baru dijelaskan kemudian setelah dikonfirmasi ulang). 

Aulia Rizal, staf Divisi HAM Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menyayangkan kejadian tersebut. 

"Oknum pejabat kepolisian dan yang diduga militer seolah-olah mempersulit mereka [Shelter Utara]. Mereka banyak bertanya soal perizinan RT, RW, dinas pendidikan, hingga pemerintah daerah," kata Aulia kepada Tirto.
Aulia terus mendampingi Shelter Utara saat mengurus perizinan. Mereka sempat dipanggil Polsek hingga Polres setempat. Setelah merunut berbagai alasan yang disampaikan aparat, ia menyimpulkan bahwa ini karena arahan langsung dari Polda Sumatera Barat.
"Kan perizinan itu diperlukan kalau jumlah peserta yang hadir di atas 300 orang (jumlah peserta tidak sampai sebanyak itu -ed). Peraturan seharusnya mempermudah, tapi kepolisian mempersulitnya. Mereka mengatakan bahwa flyer sudah tersebar, bahkan sampai dunia internasional. Kami hanya tersenyum kecut dengar itu," kata Aulia.
"Sangat disayangkan tidak ada pemahaman dari pihak-pihak terkait tentang substansi film maupun tokohnya. Tindakan ini dapat mengancam iklim demokrasi," tambahnya.
Tak mau mengecewakan yang sudah mendaftar, pemutaran film kemudian dipindah ke kantor LBH Padang, pada hari yang sama dengan jadwal semula, tetapi molor satu jam dari waktu yang ditentukan. Setidaknya ada 50 orang yang menghadiri acara tersebut. 

Meski demikian pemutaran ini bukan tanpa gangguan sama sekali. Ketika acara sedang berlangsung, debat tetap terjadi antara panitia dan aparat, termasuk Pol PP, RT, dan RW. 

Polisi juga sempat datang dan bertanya mengenai izin pemutaran film. LBH Padang bilang bahwa kegiatan yang dilakukan di dalam kantor tak mesti ada izin formal dari polisi. Dan memang demikian.

Tirto berupaya menghubungi Kapolresta Padang AKBP Yulmar Tri Himawan untuk mengklarifikasi dugaan bahwa pihak kepolisian mempersulit perizinan. Akan tetapi, baik panggilan telepon maupun pesan singkat yang dikirimkan tidak direspons.

Bukan Kali Pertama

Tan Malaka merupakan pejuang kemerdekaan asal Suliki, Sumatera Barat. Tokoh dengan nama kecil Sutan Ibrahim ini telah jauh-jauh hari mengemukakan gagasannya soal kemerdekaan Indonesia ketika para tokoh bangsa lain seperti Sukarno bahkan masih duduk di bangku sekolah dan belum masuk di gelanggang politik nasional. 
Infografik Kota yang pernah ditinggali Tan malaka


Naar de 'Republiek Indonesia', bukunya yang mahsyur itu, adalah karya pertama yang bicara soal konsep republik bagi Indonesia merdeka. Sementara Aksi Massa, disebut jadi buku sakunya Sukarno kala memimpin Algemeene Studieclub, sebuah klub studi di Bandung.

Meski termasuk salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI), Tan tidak menginduk sepenuhnya ke Uni Soviet sebagai pusat gerakan komunis dunia kala itu. Tan, misalnya, dalam kongres ke-4 Komunisme Internasional (Komintern), justru menyerukan agar gerakan komunis bersatu dengan pan-Islamisme karena sama-sama menentang penjajahan. Namun usulan tersebut ditolak. 

Diskusi tentangnya kerap dihalang-halangi karena riwayat hidup tersebut, meski Tan Malaka sebetulnya telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1963 oleh Presiden Sukarno.

Pada 2016, pementasan monolog Tan Malaka berjudul Saya Rusa Berbulu Merah di Bandung sempat mendapatkan ancaman dari sejumlah ormas. Para penentang menuduh acara itu menyebarkan komunisme.

Hal serupa juga terjadi di Surabaya beberapa tahun sebelumnya. Diskusi buku mengenai Tan Malaka yang sedianya digelar pada 7 Februari 2014 akhirnya dibatalkan penyelenggara karena terhalang izin dari kepolisian setempat. Bahkan sejumlah anggota ormas datang ke acara dan mengintimidasi

Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino

Sumber: Tirto.Id 

Minggu, 22 April 2018

Sempat Dilarang, Pemutaran Film Maha Guru Tan Malaka tetap Berlangsung

Penulis: Purba WirastamaPada: Minggu, 22 Apr 2018, 16:30 WIB


youtube

SETELAH dikabarkan batal, pemutaran film Maha Guru Tan Malaka di Padang tetap berlangsung di kantor Lembaga Bantuan Hukum Kota Padang pada Sabtu malam, 21 April 2018. Namun menurut Komunitas Shelter Utara selaku pembuat acara, sejumlah pihak otoritas lokal sempat datang ke lokasi dan berusaha memastikan acara dihentikan.
Kabar ini dibagikan Shelter Utara di media sosial lewat akun Instagram @shelterutara. Dalam beberapa video pendek Instagram Stories, tampak aktivitas di luar dan di dalam kantor LBH Padang, termasuk mobil polisi dengan lampu rotator biru.
"Intelijen, Pol PP (polisi pamong praja), (ketua) RT, (ketua) RW, lurah bertandang untuk memastikan dipaksa batal atas pemutaran film Mahaguru Tan Malaka," tulis @shelterutara dalam salah satu video.
Ada Intimidasi, Pemutaran Film Maha Guru Tan Malaka di Padang Batal
Dalam video lain, terdengar dua orang mewakili kedua pihak sedang berdebat soal pelaporan agenda acara pemutaran ini. Sementara itu, video lain juga menunjukkan aktivitas menonton film dari beberapa orang di dalam ruangan.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam foto media sosial yang dibagikan pada Sabtu sore, Shelter Utara mengumumkan bahwa agenda pemutaran film dibatalkan karena "intimidasi dari berbagai pihak" tanpa menyebutkan pihak mana yang dimaksud. Sebelum dipindah ke kantor LBH di Jalan Pekan Baru, acara ini sedianya hendak digelar di kawasan Jalan Berok Raya, Siteba, Padang.
Medcom.id telah menghubungi pihak Shelter Utara untuk meminta konfirmasi dan penjelasan lebih lanjut, tetapi belum ada respons hingga berita ini diturunkan.
Maha Guru Tan Malaka adalah film dokumenter garapan Daniel Rudi Haryanto yang dibuat dengan bantuan dana dari Rp175 juta dari Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Film ini menceritakan jejak riwayat pahlawan nasional Tan Malaka lewat perspektif Marko, lulusan sekolah drama Paris yang pergi ke Belanda menemui sejarawan Harry A Poeze.
Film ini pernah diputar di sejumlah tempat, seperti Malang dan Jakarta.
Sebelumnya, ada beberapa insiden pembubaran diskusi terkait topik Tan Malaka di beberapa tempat. Dua di antaranya, seperti dicatat Setara Institute, terjadi di Semarang dan Banyumanik pada 2014. Setelah didesak organisasi massa FPI dan PP, pihak kepolisian membubarkan acara ini. (medcom/OL-6)
Sumber: Media Indonesia 

Tan Malaka, Sang Pejuang Bawah Tanah



Tulisan ini adalah critical review dari buku “ Kisah Tan Malaka Dari Balik Penjara dan Pengasingan“ karya Badruddin. Buku ini mengisahkan bagaimana proses perjalanan kehidupan seorang pejuang revolusioner yang malang-melintang dari tanah airnya ke pengasingan. Buku ini juga menggambarkan pemikiran Tan Malaka menghadapi fenomena sosial yang dijalani dalam hidupnya. Tan Malaka selama ini dikenal sebagai sosok misterius, karena kisahnya cenderung “disembunyikan“, Selama puluhan tahun oleh rezim Orde Baru. Namun semenjak era reformasi, mulai banyak kajian mengenai kisah hidup Tan Malaka yang dipublikasikan.  Banyak yang belum tau tentang sejarah seorang Tan Malaka yang merupakan salah satu pendiri negara Indonesia. berikut ini akan di paparkan tentang Tan Malaka, Sang Pejuang Bawah Tanah;

Tan Malaka Adalah Perintis Negara Indonesia

Tan Malaka adalah seorang pejuang dan perintis berdirinya negara Indonesia terbukti pada tahun 1925, ia telah menerbitkan buku berjudul Naar de Republiek Indonesia (Badruddin, 2014). Tan Malaka sejak muda memang memiliki pemikiran dan analisis yang matang ditambah dengan pembelajaran terhadap jiwa revolusioner membuat dia menjadi pribadi yang tegar. Sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh tindakan bangsa Kolonial. Tan Malaka tidak mempermasalahkan meskipun dia harus keluar masuk penjara dan beberapa kali diusir dari tanah airnya sendiri. Tan Malaka tidak ingin membuat kompromi dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil yang tertindas, baginya harus terwujud kemerdekaan 100 % ( Malaka, 2012 ). 

Tan Malaka Memiliki Konsep Komunis yang Berbeda

Konsepsi Tan Malaka terhadap pemaknaan bagaimana komunisme dijalankan juga sedikit berbeda dengan pemikiran Karl Marx. Tan Malaka mengkontekstualisasikan pemikiran sosialis dengan penyesuaian-penyesuaian yang terjadi di Indonesia waktu itu. Bagi Tan Malaka, sosialisme Indonesia dapat dijalankan dengan cara-cara revolusioner dengan membantu dan mengangkat derajat para petani kecil dan kuli. Tan Malaka juga menekankan pentingnya pkendidikan bagi anak-anak kuli melalui sekolah rakyat ( Badruddin, 2014 ) . Dan hal tersebut pernah dilakukannya dengan membuka sekolah rakyat yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia di Semarang dan Bandung pada era tahun 1921-1922. Namun sayang baru saja program sekolah rakyat tersebut berjalan, Tan Malaka harus “ diusir “ ke luar negeri karena tindakannya yang diduga ikut menyulut pemogokan buruh pegadaian.

Tan Malaka Mengkritisi Konsep Komunis

Tan Malaka juga mengkritisi premis yang ditawarkan Marx tentang inti dari perjuangan proletariat adalah perlawanan buruh industri terhadap kapitalisme. Tan Malaka merevisi pernyataan tersebut dengan menjelaskan bahwa proletar dalam konteks Indonesia bukanlah buruh industri, akan tetapi seluruh rakyat Indonesia yang terjerat oleh kungkungan imperialisme ( Malaka, 1987 ) . Tan Malaka bahkan menolak bahwa Negara Soviet telah mewujudkan komunisme, baginya komunisme hanya terwujud jika kaum borjuis dibasmi atau ikut menjadi pekerja ( Malaka, 1987 ) . Pemikiran Tan Malaka mengenai komunisme yang agak berbeda dengan para perintis konsep komunisme tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, serta hal-hal yang dipelajari dalam hidupnya.

Tan Malaka Kukuh Mempertahankan Komunisme

Badruddin dalam bukunya “ Kisah Tan Malaka Dari Balik Penjara dan Pengasingan “ menjelaskan perjalanan kehidupan Tan Malaka yang sangat mempengaruhi perkembangan pola pikir dan tindakan yang diambilnya dalam menghadapi masalah. Dimulai dari perjalanan masa kecilnya di Minangkabau sampai perjuangan di akhir hayatnya yang masih menjadi misteri. Tan Malaka sepanjang hidupnya kukuh mempertahankan pendiriannya terhadap komunisme, meskipun ia juga mempelajari kapitalisme dan demokrasi melalui surat kabar milik temannya Van Der Mij ( Poeze, 2000 ) . 

Pemikiran Tan Malaka yang Menarik Tentang Pembentukan Bangsa

Pemikiran Tan Malaka mengenai pembentukan dan perjuangan bangsa Indonesia terbilang cukup menarik. Tan Malaka sebenarnya ingin menyandingkan ajaran Pan-Islamisme dan komunisme secara berdampingan. Hal ini juga cukup beralasan mengingat latar belakang keluarga Tan Malaka yang berasal dari Minangkabau. Tanah Minangkabau memang terkenal dengan sifat religiusitas penduduknya yang tinggi, sehingga pandangan religius juga masih melekat dalam diri Tan Malaka. Tan Malaka sendiri sewaktu muda adalah seorang penghafal Al-Qur’an, dan dia pernah berkata,” Di depan Tuhan saya seorang muslim “ (Tempo, 2015).

Usaha untuk menyatukan semangat Pan-Islamisme dan Komunisme ini terbukti saat Tan Malaka dihadapkan pada perpecahan antara Sarekat Islam Merah (Komunisme) dan Sarekat Islam Putih (Islamisme). Tan Malaka berusaha memperjuangkan agar SI Merah dan SI Putih tetap bersatu, akan tetapi karena tanggapan yang kurang mengenakan dari pihak SI Putih upaya tersebut gagal. Tan Malaka pada akhirnya tetap berpihak kepada SI Merah.

Namun perjuangannya untuk mendampingkan Pan-Islamisme dan Komunisme tidak berhenti. Pada Kongres Internationile ke-4 di Moscow pada 5 November - 5 Desember 1922, Tan Malaka yang sedang berada di pengasingan mendapatkan kesempatan untuk berbicara di forum. Tan Malaka menegaskan pentingnya perjuangan berdampingan antara Pan-islamisme dan komunisme. Tan Malaka beralasan karena baik Pan-islamisme maupun komunisme sama-sama lahir dari adanya penindasan. Akan tetapi pernyataan tersebut tidak disetujui Komintern, karena tidak disukai ketua delegasi Komintern cabang Asia.

Pemikiran Tan Malaka Tentang Pendidikan

Pemikiran Tan Malaka lain yang menarik adalah berkaitan dengan pentingnya pendidikan rakyat bagi kaum rakyat kecil. Hal ini merupakan berdasar pengalamannya sebagai guru sekolah anak-anak kuli di Deli pada tahun 1919- 1921. Tan Malaka tercengang dengan keadaan wilayah Deli yang sebenarnya adalah daerah kaya karena memiliki banyak pertambangan dan tanah subur, akan tetapi rakyatnya justru menderita ditindas kaum kolonial. Tan Malaka mulai tergerak hatinya untuk memperjuangkan pendidikan para anak kuli tersebut, bahkan ia juga terlibat pertengkaran kala diundang dengan para “ Tuan Besar “. Tan Malaka juga mengkritik tindakan konglomerat Belanda, De Graff, karena bersenang-senang di atas penderitaan. Akibat tindakannya tersebut, Tan Malaka terusir dari Deli.

-- Fakta-Fakta Tokoh--
Sikap Tan Malaka yang menentang keras penindasan dan menginginkan perubahan secara revolusioner juga tak terlepas dari penderitaan yang pernah dialaminya. Sebagaimana ia pernah jatuh sakit menderita pleuritis setelah baru saja tiba di Harleem, Belanda. Tan Malaka tidak mendapatkan perawatan yang baik, ia hanya diperiksa oleh dokter murahan. Tan Malaka tidak memiliki uang untuk membayar biaya dokter yang layak, karena untuk sekolah di Belanda pun ia harus mendapatkan bantuan uang dari gurunya, G.H. Horensma. Di Belanda waktu itu masih menyediakan dokter murahan bagi kaum miskin. Tan Malaka heran dengan keadaan di negeri Belanda kala itu, di mana negeri yang sudah maju akan tetapi memberikan perilaku “ diskriminatif “ terhadap rakyat miskin. Pemikirannya semakin terbentuk setelah Tan Malaka dipindahkan ke kota Bulseem, di sana sangat kontras dengan keadaan Harleem yang banyak orang miskin dan telantar. Di Bulseem yang notabenenya kota bangsawan, Tan Malaka hidup lebih baik sehingga segera pulih dari penyakitnya. Dari pengalamannya tersebut Tan Malaka menjadi belajar bahwa meskipun di negara kapitalis, akan tetapi masih terdapat penindasan. Sehingga dalam diri Tan Malaka mulai terbentuk bahwa untuk menghilangkan penindasan, haruslah dilakukan “ perubahan “.

Pemikiran Tan Malaka yang revolusioneris tersebut mempengaruhi konsepsi Tan Malaka dalam menghasilkan pandangan kemerdekaan 100 %. Tan Malaka kurang bersepakat dengan kawan-kawan seperjuangannya yang kala itu bekerja sama dengan Jepang untuk demi mencapai Indonesia Merdeka. Orang-orang seperti Soekarno, Hatta, Syahrir berpandangan penting untuk mengambil sikap diplomatis terhadap Jepang ( Ricklefs, 2011 ).

Mereka percaya bahwa akan datang orang-orang kate yang akan menguasai Indonesia selama seumur jagung, dimana setelah itu akan mendapatkan kemerdekaan sebagaimana penggambaran Ramalan Jayabaya. Namun Tan Malaka tidak sependapat dengan pandangan kawan-kawannya tersebut. Saat itu Tan Malaka sedang menyamar sebagai Ilyas Husain dan menjadi wakil pemuda dari Banten untuk menghadiri pertemuan para pemuda yang dimotori Sukarni.

Menjelang kemerdekaan Tan Malaka berusaha terus menjalin kontak dengan Sukarni dan B.M. Diah, namun keduanya ternyata sulit ditemui karena sudah dibawah incaran Jepang. Satu hari menjelang kemerdekaan Tan Malaka datang lagi untuk mencari Sukarni, akan tetapi tidak bertemu karena saat itu Sukarni ikut serta membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Akibat kesimpangsiuran tersebut Tan Malaka menjadi tertinggal berita kekalahan Jepang bahkan karena hal tersebut ia menjadi tidak terlibat dalam Proklamasi Kemerdekaan.

Tan Malaka dikenal sebagai sosok yang misterius, bahkan telah dianggap tiada oleh kawan-kawannya. Ia baru membuka penyamarannya pada 22 Agustus 1945 saat berkunjung ke rumah Ahmad Subarjo, lantas semenjak itu Tan Malaka mulai menjalin kontak dengan kawan-kawan lamanya. Tan Malaka sempat ditawari jabatan, namun ia menolak. Bahkan ia berkata kepada Soekarno-Hatta, “ Silahkan anda berdua berjuang di depan, saya bantu dari belakang.” Meskipun tidak terlibat dalam pemerintahan Tan Malaka tetap membantu pembangunan Indonesia dan kukuh dengan konsepsi merdeka 100 %.

Hal tersebut Tan Malaka wujudkan kala tentara Sekutu ingin merebut Indonesia. Tan Malaka menginginkan agar rakyat dan bangsa berjuang sampai penindasan hilang dari Indonesia. Tan Malaka menolak sikap diplomatis yang diambil pemerintah. Tan Malaka menganggap diplomasi sebagai kerugian (Malaka, 2012) . Tan Malaka memperlihatkan kerugian akibat sikap diplomasi tersebut apalagi semenjak Perjanjian Linggarjati.

Dorongan Tan Malaka untuk menolak diplomasi semakin menguat pasca Perjanjian Renville yang dianggap merugikan. Tan Malaka bersama gerakan Persatuan Perjuangan menolak isi Perjanjian Renville, akibat hal itu Kabinet Amir Syarifuddin mendapat mosi tidak percaya. Namun sikap Persatuan Perjuangan yang keras dan menginginkan perlawanan bersenjata terhadap Sekutu, justru dianggap memperkeruh situasi. Para tokoh Persatuan Perjuangan termasuk Tan Malaka, akhirnya ditangkap.

Selepas dari tahanan tahun Mei 1948 Tan Malaka dan Sukarni mendirikan Partai Murba. Tan Malaka beralasan PKI yang ada saat itu sudah tidak relevan dengan perjuangan rakyat tertindas. Apalagi mengingat saat itu PKI dipimpin Muso, sejak kegagalan pemberontakan tahun 1926 memang terjadi perbedaan pendapat antara Tan Malaka dan Muso. Tan Malaka menganggap PKI-nya Muso hanyalah alat politik ( Badruddin, 2014 ) . Apalagi mengingat PKI-nya Muso saat itu bekerja sama dengan Mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin melawan pemerintah.

Ketika meletus peristiwa Madiun pada 18 September 1948, Tan Malaka sempat dianggap terlibat. Namun karena melihat hubungan yang tidak harmonis antara Tan Malaka dan Muso dapat dipastikan Tan Malaka tidak terlibat ( Pooze, 2000 ) . Selepas dari Partai Murba Tan Malaka terus terlibat secara langsung dalam pertempuran melawan NICA dan sekutu, hal ini semakin menguatkan bahwa ia benar-benar menjunjung tinggi Kemerdekaan 100 %.

Namun pemikiran terbesar Tan Malaka dapat dilihat dari tulisannya MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Tan Malaka tidak hanya mengikuti konsepsi komunisme yang dirumuskan Marx. Tan Malaka juga mengambil banyak konsepsi filsafat dari Friedrich Nietzsche.

Hal ini karena saat bersekolah di Belanda Tan Malaka sangat gemar membaca buku Filsuf Jerman tersebut. Kegemarannya tersebut juga didorong oleh kekagumannya terhadap Jerman saat Perang Dunia ke-1. Bahkan Tan Malaka sempat mendaftarkan diri sebagai anggota Angkatan Darat Jerman, namun ditolak karena Jerman tidak menerima anggota militer asing. Pemikirannya dalam MADILOG tersebut merubah konsepsi Materialisme Historis Karl Marx menjadi Materialisme Dialektis. Hal ini karena Tan Malaka ingin menerapkan konsepsi komunisme dalam konteks Indonesia saat itu.

Daftar Pustaka

Arif, Masykur. 2013. Tan Malaka ( Pahlawan Besar yang Dilupakan ). Jakarta : Palapa, 2013.
Badruddin. 2014. Kisah Tan Malaka Dari Balik Penjara dan Pengasingan. Yogyakarta : Araska Publisher, 2014.
Malaka, Tan. 2000. Dari Penjara ke Penjara Jilid 1. Jakarta : Teplok Press, 2000.
—. 2012. Gerilya Politik Ekonomi. Yogyakarta : Diandra Pustaka Indonesia, 2012.
—. 1987. Naar de 'Republiek Indonesia'. Jakarta : Yayasan Massa, 1987.
Pooze, Harry A. 2000. Tan Malaka : Pergulatan Menuju Republik 1897-1925. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2000.
Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011.
Tempo. 2015. Tan Malaka ( Bapak Republik yang Dilupakan ). Jakarta : KPG ( Kepustakaan Populer Gramedia ), 2015.

Demikian tulisan mengenai Tan Malaka, Sang Pejuang Bawah Tanah yang dapat kita jadikan inspirasi bagi segenap pembaca. Semoga bermanfaat. Penulis artikel ini adalah Anggalih Bayu Muh Kamim.
-- Fakta-Fakta Tokoh--

Sumber: FaktaTokoh