24 April 2018
Pelarangan film dokumenter tentang pahlawan nasional Tan Malaka di Padang, Sumatera Barat, diakibatkan karena pengambil keputusan 'masih terjebak oleh narasi sejarah versi Orde Baru'.
Hal ini disampaikan pengamat sejarah Universitas Indonesia, Bonnie Triyana, mengomentari pelarangan penayangan film Maha Guru Tan Malaka di Padang, pada Sabtu (21/04).
"Kita termakan oleh isu atau cerita yang difabrikasi sejak zaman Suharto. Ini bisa dilihat dari kebijakan otoritas, pemerintah, atau pihak keamanan yang hampir selalu antisipatif terhadap film atau hal-hal lain yang diduga berkaitan dengan isu-isu komunisme," kata Bonnie kepada BBC Indonesia, hari Senin (23/04).
"Padahal sebetulnya nggak segitu-gitu amat, maksudnya tak perlu ada yang dikhawatirkan. Apalagi tentang Tan Malaka," imbuh Bonnie.
BBC Indonesia sudah menghubungi pihak-pihak terkait yang dilaporkan melarang pemutaran film Maha Guru Tan Malaka di Padang, namun hingga berita ini diturunkan, sambungan telepon ke kapolda Sumatera Barat, kepala Polresta Padang dan komandan Korem Wirabraja tidak terjawab.
Diduga pelarangan ini terkait dengan kekhawatiran bahwa film tersebut 'bisa menjadi medium paparan atau penyebaran ideologi komunisme', kekhawatiran yang ditolak oleh sutradara film ini, Daniel Rudi Haryanto.
Ia menjelaskan film dokumenter yang ia garap berkisah tentang perjalanan seorang pemuda bernama Marko menyusuri kembali jejak-jejak Tan Malaka di Belanda.
"Dan tidak ada sama sekali kata komunis, logo komunis, maupun semua yang dituduhkan itu," kata Rudi.
Pesan sejarah untuk kaum muda
Dalam film berdurasi setengah jam ini, Marko seakan memasuki relung waktu, berjalan ke masa lalu, dengan gaya video blogging atau vlog, format yang sengaja ia pilih agar pesan yang ia kirim bisa efektif masuk ke kalangan muda di Indonesia.
Rudi ingin, melalui film Maha Guru Tan Malaka ini, generasi muda menjadi lebih memahami perjalanan sejarah Indonesia termasuk kontribusi Tan Malaka di dalamnya.
"Kalau ada tuduhan film ini adalah pintu masuk penyebaran komunisme, itu tuduhan yang tak masuk akal dan tak berdasar," kata Rudi.
"Film ini juga sebagai bentuk terima kasih atas jasa dan perjuangan para pahlawan, termasuk Tan Malaka," tambahnya.
Rudi menggarap film ini atas bantuan dana dari Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, mengatakan film Tan Malaka ini bagus karena memakai pendekatan baru. "Jangan segan belajar sejarah, sejarah itu keren, dan dengan sejarah itu kita tahu, kita ini siapa dan kita mau ke mana," katanya.
Ini adalah pelarangan pertama film Maha Guru Tan Malaka, setelah sebelumnya antara lain diputar untuk kalangan terbatas di Malang (Jawa Timur), Tebet (Jakarta), Tangerang (Banten), dan Lampung.
Menurut pemerhati sejarah Bonnie Triyana, narasi sejarah Tan Malaka versi Orde Baru masih banyak dipegang oleh otoritas. Di luar itu, dari aspek hukum, masih ada ketetapan MPRS tahun 1966 tentang pelarangan ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Diminta adil
"Cakupan ayat dalam MPRS tersebut sangat luas. Dulu Abdurrahman Wahid mengusulkan agar ketetapan MPRS itu dicabut, tapi mendapat penentangan," kata Bonnie.
Ia mengatakan mestinya harus ada batasan yang jelas. Meski demikian, film-film seperti Maha Guru Tan Malaka ini tak semestinya dilarang.
"Jika ada film yang memberikan informasi kepada generasi muda tentang sosok Tan Malaka, yang sebetulnya juga pahlawan nasional, pemerintah sebaiknya memberikan kelonggaran. Apalagi jika pemutarannya dilakukan di kampus-kampus," kata Bonnie.
Bonnie juga meminta semua pihak di Indonesia untuk adil atau fair terhadap sejarah.
"Kalau kita belajar sejarah pergerakan pada era 1920-an, mau tak mau kita harus membahas siapa itu Tan Malaka, mau tak mau kita harus menyebut orang-orang yang beraliran kiri, kalau tidak itu namanya memanipulasi sejarah dengan menghilangkan sama sekali peran mereka," kata Bonnie.
"Itu persoalannya, kita menjadi tidak adil. Hanya karena peristiwa 1965, yang dituduhkan kepada PKI, lantas kita pukul rata semua gerakan komunisme yang menjadi bagian dari sejarah Republik ini harus dihilangkan," katanya.
Tan Malaka adalah tokoh kiri yang sejak awal mencita-citakan Indonesia merdeka dari kolonial Belanda. Selain pernah diasingkan dan menjadi legenda aktivis politik bawah tanah selama bertahun-tahun, pria kelahiran 1897 ini juga menulis beberapa buku terkenal.
Di mata keluarga, seperti dituturkan Hengky Novaron, Tan Malaka -yang meninggal dunia pada 1949- adalah panutan.
"Bagaimana anak cucu bisa mengambil pelajaran dari sosok Tan Malaka. Insya Allah ke depan lebih dari Datuk Ibrahim Tan Malaka. Ia bukan hanya sekedar milik Minangkabau, milik nasional, tapi milik internasional," katanya.
Menurut sejarahwan Asvi Warman Adam, pemerintah Indonesia telah menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional pada 1963, tetapi 'sejak 1965 namanya tidak ada lagi, meski gelarnya tidak pernah dicabut'.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar