Sabtu, 30 April 2016 | 14:04:04 WIB
Mempertahankan Politieke Toestand, yaitu sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Politieke Toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat
Buruh merupakan suatu aspek terpenting dalam kinerja suatu perusahaan. Buruh itu sendiri adalah manusia yang digunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa upah atau bayaran, dalam bentuk uang atau dalam bentuk materi lainnya dari pemberi kerja atau majikan. Bentuk konotasi dari buruh bisa digambarkan, manusia yang berotot, pekerja rendahan, kasar, serabutan dan sebagainya dengan upah yang minimal, keintensifan kerja yang padat, dan buruknya kondisi kerja ditingkat perusahaan.
Konotasi inilah yang membuat dinamika perkembangan buruh menjadi polemik, agar buruh diberdayakan selayaknya pekerja pada umumnya. Dengan meminta keadilan yang seadil-adilnya guna menyetarakan tingkat profesi yang mereka dapat. Intisarinya, buruh merupakan suatu profesi yang layak untuk diberdayakan, guna mencapai suatu produktifitas dalam pengembangan usaha, dalam kinerja suatu perusahaan dengan mengkonotasikannya tanpa koersi berupa pemerasaan tenaga dalam bekerja.
Pada abad ke-18, tepatnya di Prancis munculnya suatu gagasan mengenai pemahaman segi administrasi yang masih dalam pelukan disiplin ilmu manajemen, yang dicetuskan oleh Frederich W. Taylor dengan tulisannya yakni Scienctific Management. Dengan menganggap bahwa produktivitas barang akan didapat dengan mengumpamakan manusia adalah mesin sebagai pemenuhan produktivitas barang. Taylor mengemukakan hal tersebut dengan mengamati ke efektifan dan ke-efesiensian terkait masalah keorganisasian dengan melibatkan manusia sebagai paham antroposentrisnya. Munculnya perbedaan kelas antar strata menimbulkan konflik dalam hak asasi yang dimiliki setiap buruh/pekerja. Pertentang tersebut berupaya menciptakan sintesa yang jauh lebih baik dalam kefektifitasn dan ke-efesiensian.
Sementara itu, pergerakan buruh dengan segala tuntutannya yang terjadi akhir-akhir ini menandakan bergantinya pakaian liberalis dan kapitalis. Pergantian tersebut tentunya menjadi akulturasi yang kian menakutkan dimata setiap negara yang memiliki ideologi terbuka. Menjelmanya akulturasi pakaian liberalis dan kapitalis dengan nama Neo-Liberalis, dengan menganut paham liberalis klasik membuat ideologi ini berkembang pesat dengan sekian konsep yang dimilikinya. Polemik buruh kian gencar dikumandangkan bukan hanya saja di hari buruh (may day) saja, penuntutan diberlakukannya buruh dengan sewajarnya dengan keadilan yang adil membuat semangat buruh untuk terus mempertahankan ideologisnya. Konsep terbaru akhir ini melanda tiap negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan sistem demokrasinya. Pemberdayaan buruh dengan mengibaratkan buruh sebagai kalangan masyarakat dan sering kali perselingkuhan pemerintah dengan pihak swasta menjadi tajuk yang panas untuk sistem demokrasi semisal pada tahun 2003 terbitnya undang-undang No 13 tahun 2003.
seringkali suara buruh tidak didengar oleh para birokrat. Bahkan tidak jarang mereka hanya menjadi kebutuhan sementara bagi para pihak-pihak yang berkepentingan dan meninggalkanya ketika mereka sudah masuk pada lingkaran kekuasaan. Sangat ironis sekali melihat realita yang terjadi antara buruh dan birokrasi
Pada perayaan Hari Buruh di masa lalu, Bung Karno, yang selalu hadir dalam perayaan Hari Buruh, menyatakan perjuangan politik paling minimum gerakan buruh adalah mempertahankan Politieke Toestand yaitu sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat. Politieke Toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat.
Selanjutnya Bung Karno mengatakan, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya.
Secara keseluruhan gerakan buruh Indonesia akhir-akhir ini memang tumbuh pesat di Asia, bahkan Indonesia mendapat pengakuan sebagai gerakan buruh yang berkembang pesat. Prestasi mereka mendorong perbaikan jaminan sosial nasional, perbaikan upah minimum, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional adalah pencapaian bagus.
Kesejahteraan buruh, meskipun buruh mempunyai posisi yang strategis dalam perpolitikan bangsa, namun seringkali suara buruh tidak didengar oleh para birokrat. Bahkan tidak jarang mereka hanya menjadi kebutuhan sementara bagi para pihak-pihak yang berkepentingan dan meninggalkanya ketika mereka sudah masuk pada lingkaran kekuasaan. Sangat ironis sekali melihat realita yang terjadi antara buruh dan birokrasi. Padahal kalau kita melihat bahwa kalangan industri sangat diuntungkan upah buruh Indonesia yang bisa dibilang sangat murah sekali dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainya.
Dengan upah buruh yang relative rendah dan produktivitas buruh yang sedemikian tinggi, buruh mampu memberikan keuntungan yang besar bagi kalangan dunia usaha atau pengusaha. Hubungan antara buruh dan pengusaha idealnya adalah saling menguntungakan antara satu dengan yang lainnya. Disisi lain, buruh semestinya sudah mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak-haknya. Tidak hanya upah yang memberi kesejahtetaan terhadap kehidupan buruh itu sendiri. Namun juga hal-hal lain yang sekiranya dapat menunjang kesejahteraan buruh tersebut. Diantaranya jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), mekanisme pemutusan hubungan kerja sampai pada pembayaran uang pesangon, ketika buruh sudah memasuki purna kerja. Karena yang terjadi selama ini buruh sering kali hanya mendapat upah pekerjaanya tanpa mengerti yang menjadi hak-haknya.
Yang paling dibutuhkan kini adalah menyatukan kekuatan suara buruh, selanjutnya mengirim pesan tegas kepada elite politik bangsa agar sungguh-sungguh memperbaiki dan memperhatikan kesejahteraan nasib kaum buruh. Selagi momentum sedang berpihak kepada Indonesia, pemimpin buruh harus segera berbenah. Pada masa Orde Lama saja pemimpin buruh Indonesia diperhitungkan dalam kancah internasional, karena menjadi pelaku utama yang melahirkan wadah serikat buruh internasional. Serikat buruh Sarbumusi dan Gasbindo ikut mendirikan Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU), sementara SOBSI ikut mendirikan wadah serikat buruh sosialis (WFTU).
Salah satu yang penting dibenahi untuk pemimpin nasional adalah agenda penyatuan gerakan buruh. Tanpa ini kekuatan buruh hanya cenderung jadi peminta-minta. Selanjutnya, penguatan kapasitas pengurus sampai di level rata-rata pemimpin buruh di negara lain. Pemimpin buruh tak hanya diperlukan untuk perjuangan domestik, tetapi juga internasional, mengingat hampir semua ide, bentuk hubungan kerja, dan sistem ekonomi yang merugikan buruh berasal dari kapitalis internasional. Jadi, jangan berhenti hanya sebagai jago kandang. (Vi)
Sumber: SketsaNews
0 komentar:
Posting Komentar