22 April 2018
Pameran Namaku Pram menampilkan karya-karya yang belum pernah dipublikasikan.
Pramoedya Ananta Toer, lelaki yang sering didapuk sebagai sastrawan terbesar Indonesia itu, membiasakan anak-anak dan cucu-cucunya menulis. Ia meminta mereka membuat catatan harian. Bila momen kumpul keluarga tiba, ia memeriksa catatan itu. Mengecek apakah ada pengulangan kata atau kalimat yang tidak jelas. Hal ini diceritakan Engel Tanzil, penyelenggara pameran Namaku Pram: Catatan dan Arsip.
Kami berbincang di dalam diorama ruang kerja Pram yang bertempat di area rapat dia.lo.gue artspace. Ruang itu tak hanya memuat meja, kursi, mesin tik, lampu, dan catatan pribadi penulis yang lahir di Blora, Jawa Tengah, ini. Pada bagian sandaran tangan kursi tersampir kaus biru garis-garis yang lusuh. Di atas meja terdapat kater dan juga kaleng bekas semir sepatu berisi peralatan untuk memperbaiki mesin tik. Dalam kamar kerja diputar musik instrumen karya Ricky Lionardi yang dibuat untuk pementasan teater Bunga Penutup Abad yang terinspirasi dari karya Pram.
Tidak mudah mendapat kepercayaan dari anggota keluarga Pram untuk mengadakan pameran ini. Riset selama satu tahun serta kunjungan setiap minggu ke Bojong Gede, Jawa Barat, tempat tinggal keluarga Pram, tidak lantas membuat Astuti Ananta Toer, anak sulung Pram yang punya hubungan paling dekat dengan sang ayah, lekas berkata iya. Engel perlu waktu meyakinkan mereka bahwa pameran ini bertujuan untuk membuat orang mengenal Pram lewat karya yang belum pernah dipublikasikan.
Seluruh arsip yang hendak ditampilkan dalam pameran, dikirim tiga hari sebelum pembukaan.
Kami berbincang di dalam diorama ruang kerja Pram yang bertempat di area rapat dia.lo.gue artspace. Ruang itu tak hanya memuat meja, kursi, mesin tik, lampu, dan catatan pribadi penulis yang lahir di Blora, Jawa Tengah, ini. Pada bagian sandaran tangan kursi tersampir kaus biru garis-garis yang lusuh. Di atas meja terdapat kater dan juga kaleng bekas semir sepatu berisi peralatan untuk memperbaiki mesin tik. Dalam kamar kerja diputar musik instrumen karya Ricky Lionardi yang dibuat untuk pementasan teater Bunga Penutup Abad yang terinspirasi dari karya Pram.
“Biar kamu lebih menjiwai,” kata Engel.Hari itu ialah hari kedua pameran. Ruangan yang agak sepi hanya diorama ini. Pada hari Jumat sebelum jam pulang kantor, ruang pamer sudah ramai pengunjung. Sejumlah petugas mengawasi mereka agar tidak memotret arsip-arsip yang ditampilkan dalam rak-rak bertutup akrilik bening.
Tidak mudah mendapat kepercayaan dari anggota keluarga Pram untuk mengadakan pameran ini. Riset selama satu tahun serta kunjungan setiap minggu ke Bojong Gede, Jawa Barat, tempat tinggal keluarga Pram, tidak lantas membuat Astuti Ananta Toer, anak sulung Pram yang punya hubungan paling dekat dengan sang ayah, lekas berkata iya. Engel perlu waktu meyakinkan mereka bahwa pameran ini bertujuan untuk membuat orang mengenal Pram lewat karya yang belum pernah dipublikasikan.
Seluruh arsip yang hendak ditampilkan dalam pameran, dikirim tiga hari sebelum pembukaan.
“Saya ingin menghargai mereka yang akhirnya sepakat bekerjasama untuk menyelenggarakan pameran ini. Oleh karena itu dokumen-dokumen ini tidak disebarluaskan begitu saja. Dan saya ingin mengantisipasi dampak dari penyebaran informasi ini. Orang bisa saja punya interpretasi berbeda setelah membaca arsip dan kita tidak pernah tahu apa yang akan mereka perbuat,” lanjut pemilik galeri ini.Karya yang tidak boleh difoto itu antara lain ialah kartu pos dan surat untuk Pram dari anggota keluarga. Kartu dan surat dikirim ketika Pram ditahan di Pulau Buru. Susunan surat berawal dari tulisan Maemunah Thamrin, isteri Pram tentang kerinduannya pada sang suami. Pada tahun 1973 ia menulis bahwa dirinya hanya bisa berkata pada anak-anak kalau ayah mereka tengah pergi dan akan pulang suatu hari nanti.
Tiga tahun kemudian ia bercerita tentang Yudis yang kian nakal setelah disunat. Yudis ialah anak lelaki Pram yang dulu tidak sempat ia lihat lantaran keburu ditangkap dan diasingkan. Bertahun-tahun kemudian, dikirimlah surat-surat berisi harapan Maemunah agar suaminya bebas, sembari rutin mengisahkan pertumbuhan lima anak mereka.
Karya Maemunah bersanding dengan surat-surat Astuti Ananta Toer. Kata-kata Astuti hangat. Surat bagai buku hariannya. Ia sabar menanti balasan meski surat bisa sampai ke tangan ayahnya dalam kurun waktu empat bulan. Pada hari ulang tahun Pram ia mengirim kado berupa selimut dan busana. Astuti khawatir lantaran tubuh sang ayah kian kurus. Untuk usia baru sang ayah, Astuti berharap agar ayahnya tetap awet muda. Semakin banyak surat yang dikirim, semakin tersirat harapan agar Pram bebas. Sekali waktu harapan itu tertuang dalam puisi.
Di antara surat-surat itu hanya ditampilkan sepucuk surat dari Pram untuk putranya. Di sana ia menerka apakah Yudis, anak yang belum pernah dilihatnya itu, tampak gagah dan nilai pelajarannya baik. Di ujung surat ia menitip pesan untuk Astuti yang surat-suratnya selalu dinanti.
Astuti punya peran penting dalam penyimpanan karya-karya Pram. Sejak bulan Januari 2018 sampai pertengahan April, Engel menemuinya setiap minggu. Ia pun turut mewawancara saudara-saudara kandung Astuti, anak, dan cucu; tentang kesan terhadap Pram serta membaca arsip yang tersimpan dalam perpustakaan Pram.
“Dari obrolan, saya menangkap Pram sebagai orang yang mencintai keluarga. Maemunah dan Astuti adalah dua wanita yang berarti dalam hidupnya.”Usulan membuat pameran itu telah muncul pada tahun 2016 saat Happy Salma, kawan Engel, mengajak membuat pameran tentang Pram.
“Saya melihat Pram sebagai dokumentator terbaik,” tutur Happy di malam pembukaan acara.Ia pernah berkunjung ke rumah Pram dan tak sengaja meninggalkan barang miliknya. Dua tahun berselang, benda tersebut masih ada di rumah itu, disertai catatan kapan benda tersebut tertinggal. Dari sana Happy kian yakin Pram seorang pengarsip yang baik.
Sisi tersebut ditampilkan lewat sebagian arsip Ensiklopedi Geografi Indonesia yang Pram buat berdasar kliping koran. Dengan antusias Engel menunjukkan pada saya tentang ketelatenan Pram menyusun nama-nama daerah. Lengkap dengan jumlah sekolah dan jumlah murid.
Kami bergeser ke meja berikutnya yang menampilkan cuplikan Ensiklopedi Citrawi Indonesia. Di sana Pram turut menulis tentang sistem nada tradisional musik Bali, Madura, Madiun, dan Sunda.
Astuti bercerita di rumahnya masih banyak karya ayah yang belum dipublikasikan. “Ada yang panjangnya 16 meter. Selama ini banyak yang mau nerbitin karya ayah tapi mereka orang partai politik. Saya nggak mau. Saya mau kerjasama sama pemerintah,” kata Astuti. Ia mengizinkan orang untuk datang ke perpustakaan dengan syarat tidak memotret dan menyentuh karya.
Berulang kali Astuti berkata bahwa pameran ini ialah pameran terbaik tentang ayahnya. “Ada kuratornya. Dibuatnya dengan jelas.”Larangan foto membuat banyak pengunjung yang hadir dalam pameran ini mau tidak mau membaca arsip-arsip yang ditampilkan. Tulisan tangan Pram yang termasuk sulit dibaca membuat mereka bertahan cukup lama berada di satu meja untuk memahami kalimat. Surat-surat membuat pengunjung bergerak pelan.
Tidak semua pengunjung memahami sosok Pram. “Saya tidak pernah membaca Pram karena ayah saya tidak sepaham dengan pemikiran beliau. Hal itu justru bikin penasaran untuk datang ke sini. Saya mau lihat sudut pandang lain. Memandang Pram sebagai manusia, sastrawan, tahanan politik, ayah, dan suami. Menarik sekali,” kata Laya, salah satu pengunjung.
Tina, pengunjung yang hadir di malam pembukaan berkata pameran ini membuat kaum awam bisa mengenal Pram dan membuat para penggemarnya merasa kian dekat.
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono
Pram punya banyak arsip yang belum pernah dipublikasikan.
0 komentar:
Posting Komentar