Nur Janti | 22 Aperil 2018; 14.00 wib
Para perempuan Yogyakarta memanfaatkan apa saja, termasuk menyamar, untuk menjaga laju perjuangan. Tak sedikit yang kehilangan nyawa.
Di Gedung Agung Yogyakarta, Oemiyah dan Ngaisyah menurunkan bendera Jepang pada September 1945. Sumber: Wikimedia.org.
TANPA menghiraukan para serdadu Jepang yang berjaga di luar pagar, Ngaisyah dan Oemiyah langsung naik ke atap Gedung Agung Yogyakarta setelah mendapat pinjaman tangga dari kawan pelukis Rusli dan Soemardi (pawong Taman Siswa). Kedua perempuan itu lalu menurunkan bendera Nipon dan menggantinya dengan bendera merah putih sebagai penegasan bahwa Indonesia telah merdeka.
Aksi pada September 1945 itu merupakan puncak dari demonstrasi massa-rakyat yang menuntut penurunan bendera Jepang. Aksi berjalan mulus lantaran Oemiyah dan Ngaisyah merupakan pegawai Jawatan Pos Telepon Telegram (PTT), institusi telekomunikasi resmi semasa pendudukan Jepang, sehingga gerak-gerik mereka tak mengundang kecurigaan Jepang.
Sejak lama, Oemiyah –yang juga ketua serikat buruh PTT dan kelak menjadi sekretaris Kabinet Amir Syarifudin bagian stenografi– dan Ngaisyah serta Rusli dan Soemardi menjadi anggota perlawanan bawah tanah yang dijalankan kelompok Pemuda Pathuk (PP). Kelompok perjuangan beranggotakan kelas menengah terdidik dari beragam kalangan ini muak terhadap fasis, yang berkuasa dengan kejam.
Para anggota PP memanfaatkan keadaan untuk perjuangan. Oemiyah dan Ngaisyah memanfaatkan betul status pegawai dan posisi sebagai ahli stenografi untuk menyadap pesan-pesan rahasia Jepang.
“Kalau malam, mereka tidak pulang. Para perempuan tersebut menyadap berita-berita yang dikirim dari Jepang lewat kode-kode yang bisa mereka terjemahkan,” kata sejarawan Ita Fatia Nadia, yang merupakan anak Oemiyah.
Hasil sadapan itu menjadi bahan PP merancang strategi. Dalam perjuangan, PP bertugas menyusun strategi melawan Jepang. Mereka bekerjasama dengan kelompok-kelompok perjuangan lain, termasuk para gerilyawan di luar kota. Komunikasi mereka lakukan lewat perantaraan para pedagang di Pasar Beringharjo.
“Para pedagang perempuan menjadi penyampai pesan antara para gerilyawan di gunung ke Sukarno atau ke tokoh-tokoh pemikir yang berada di Kota Yogyakarta,” kata Ita.
Hal serupa juga dilakukan oleh Umi Sardjono, Ketua Umum Gerwai, seperti ditulis Ruth Indiah Rahayu dalam “Menulis Sejarah Sebagaimana Perempuan” diterbitkan Sejarah dan Budaya, Th X, No. 1, Juni 2016. Selama gerilya melawan Jepang, Umi bertugas sebagai kurir dengan menyamar sebagai ibu rumah tangga yang berbelanja di pasar. Peran ini menurutnya lebih luwes dikerjakan perempuan karena perempuan pandai menyamar dan tidak dicurigai tentara Jepang.
Kucing-kucingan dengan serdadu Jepang itu jelas memiliki risiko besar. Seperti yang menimpa Wasimah, seorang suster yang ikut berjuang, kala ketahuan membawa kebutuhan gerilya berupa obat juga pesan rahasia dari para pejuang.
“Wasimah tertangkap di Taman Siswa, lalu ditembak. Salah seorang perempuan di PTT juga ada yang tertangkap menyadap berita Jepang. Ia kemudian dihukum mati di Kantor Pos Besar,” kata Ita.
Toh, risiko kehilangan nyawa tak menyurutkan tekad para perempuan ikut memperjuangkan kemerdekaan. Komunikasi-komunikasi rahasia yang mereka lakukan amat menentukan kelanjutan perjuangan hingga akhirnya Indonesia bisa lahir.
“Para pedagang mentransfer kebutuhan para pejuang lewat pasar. Orang tidak mengira, dikiranya dia mau ke pasar, berjualan. Padahal untuk kebutuhan revolusi,” ujar ItaSumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar