Azis Anwar Fachrudin - April 1, 2018
Laporan CRCS Polemik Tafsir Pancasila (2018) mendapat tanggapan dari Pak Syaiful Arif,
tenaga ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP (sebelumnya bernama
UKP-PIP) dalam kolom beliau di Koran Jakarta
(24/3/2018). Sebagai penulis
laporan itu, saya menghaturkan terima kasih banyak karena telah membaca laporan
tersebut dan mengulasnya di media massa.
Gagasan inti dari tulisan Pak Arif itu,
dalam pembacaan saya, ialah bahwa parameter tentang tafsir atau “cara berpikir
Pancasilais” mungkin untuk dihasilkan, dengan tolok ukur ilmu pengetahuan.
Tulisan ini hendak menanggapi soal itu. Namun sebelum masuk ke situ, ada dua
hal yang membutuhkan klarifikasi.
Pertama, Pak Arif menyebut bahwa Laporan
itu secara eksplisit sepakat dengan pandangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
bahwa Pancasila hanyalah kompromi politik yang berisi sila-sila yang
tercerai-berai. Ini tidak tepat. Tidak ada kesepakatan eksplisit dari Laporan
itu terhadap pandangan STA. Bagian yang dikutip dari Pak Arif (halaman 3, juga
seterusnya dalam subbab yang sama, “Pancasila dan Islam”) ialah uraian
deskriptif dari perdebatan mengenai dasar negara di Badan Konstituante pada
pertengahan abad lalu antara blok Pancasila dan blok Islam. (Catatan: STA
sendiri ada di blok Pancasila, mewakili Partai Sosialis Indonesia, bukan blok
Islam.)
Tetapi itu bukanlah hal terpenting. Yang
perlu ditekankan di sini adalah bahwa Laporan itu tidak hendak membela satu
tafsir tertentu, tapi menekankan sifat kemultitafsiran Pancasila dan rentannya
Pancasila terhadap tarik-ulur tafsir (malleable) untuk menjustifikasi agenda politis tertentu.
Sedemikian multitafsirnya Pancasila sehingga para tokoh generasi awal yang
mengikuti proses perumusan dasar negara pun tak bersepakat akan maknanya;
sebagian bahkan melontarkan kritik yang lebih pedas dari kritik STA.
Tentang hubungan antarsila
Kedua, tulisan Pak Arif secara implisit
mengasumsikan seolah-olah Laporan itu memperlakukan Pancasila sebagai sila-sila
yang tercerai-berai, bukan “satu-kesatuan dan saling mengunci”. Laporan itu
tidak memperlakukan Pancasila dengan demikian. Perspektif yang diambil dalam
Laporan itu fokus dalam menghadirkan pandangan-pandangan orang-orang
berpengaruh mengenai Pancasila, baik dari generasi awal maupun generasi zaman
kiwari, sebagai bukti-bukti diskursif untuk membangun tesis tentang
kemultitafsiran Pancasila.
Jika ingin mempersoalkan bagaimana
hubungan antarsila dalam Pancasila, yang implisit disinggung dalam Laporan itu,
meski hanya sekilas, bukanlah tentang apakah sila-sila Pancasila itu
tercerai-berai atau merupakan satu kesatuan, melainkan apakah sila-sila dalam
Pancasila itu berlaku setara atau “hierarkis-piramidal” seperti, misalnya,
dalam gagasan Notonagoro.
Dalam gagasan Bung Karno, “penggali”
Pancasila sendiri, sebagaimana dikutip Kepala BPIP Yudi Latif (Negara Paripurna, 2011:17-18), eksplisit terbaca bahwa urutan
sila-sila Pancasila bukanlah hal yang prinsipil; itu urutan sekuensial, bukan
urutan prioritas. Dalam rumusan awal Sukarno, sila pertama adalah kebangsaan,
sedangkan sila ketuhanan (“yang berkebudayaan”) ada di urutan kelima.
Di sisi sebaliknya, dalam cara pandang
hierarkis-piramidal, urutan penting. Dalam cara pandang ini, sila pertama
berperan meliputi-merembesi semua sila, sementara sila-sila di bawahnya bukan
meliputi, melainkan disinari, oleh sila di atasnya. Jadi, misalnya, sila kedua
disinari sila pertama, dan meliputi sila ketiga, keempat, dan kelima. Sila
ketiga disinari sila pertama dan kedua, dan meliputi sila keempat dan kelima.
Begitu seterusnya. Cara pandang
hierarkis-piramidal menentukan mana sila yang dipandang lebih mendasar atau
fundamental dibanding sila yang lain.
Mengenai pentingnya urutan ini, Bung Hatta
berpandangan bahwa, dengan menempatkan Ketuhanan YME pada sila pertama, negara
memiliki “landasan moral yang kukuh” dan di bawah bimbingan sila pertama itu,
“kelima sila itu ikat-mengikat”. (Hatta, Pengertian
Pancasila, Idayu Press, 1977: 18-19, dikutip dalam
Laporan h. 18)
Jadi sedikitnya ada dua pandangan
tentang cara memperlakukan hubungan antarsila Pancasila di sini. Pertanyaannya:
dengan parameter ilmu pengetahuan, dari dua pandangan itu, mana yang lebih
benar dan Pancasilais?
Masalah konkret
Di sini saya ingin mengajukan usulan:
diskusi tentang Pancasila sebaiknya meminimalisasi ide-ide yang penuh dengan
kata-kata abstrak, karena dengan cara yang demikian, orang bisa meramu
kata-kata yang penuh dengan istilah-istilah filsafat sedemikian rupa guna
memuji Pancasila setinggi-tingginya.
Diskusi yang lebih menukik ke jantung
masalah ialah yang langsung masuk ke dalam contoh-contoh yang konkret. Dengan
cara ini, apa itu pandangan yang “Pancasilais” (kalau benar ia ada) bisa lebih
diukur.
Misalnya, yang turut disinggung dalam
Laporan itu, ialah soal sampai mana negara boleh mengatur urusan privat. Di
subbab “Pancasila Pasca-Reformasi”, Laporan itu mengetengahkan debat pada
pertengahan dekade lalu mengenai RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi.
Masing-masing pihak yang pro maupun kontra sama-sama mendasarkan diri pada
Pancasila. Yang kontra melihat bahwa pendukung RUU itu hendak memaksakan moralitas
keagamaan ke dalam UU dan berargumen bahwa dasar Pancasila meniscayakan
Indonesia bukanlah negara agama/teokrasi. Yang pro berargumen bahwa
hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama haruslah dilarang dalam
negara yang sila pertama dari dasar negaranya ialah ketuhanan. (Dari dua hal
ini, mana yang lebih “Pancasilais”?)
Contoh mutakhir, masih dalam topik yang
sama, ialah soal perluasan pasal zina dalam KUHP yang diujikan ke Mahkamah
Konstitusi (MK) tahun lalu. Keputusan MK waktu itu ialah tidak mengabulkan.
Namun yang relevan disebut di sini ialah pandangan berbeda (dissenting opinion) dari
empat hakim MK yang menyatakan perlunya dewan legislatif untuk memperluas
cakupan makna zina dari sekadar yang sudah menikah menjadi meliputi juga
orang-orang yang belum menikah. Dan keempat hakim MK itu mendasarkan
pandangannya pada Pancasila.
Keempat hakim MK itu dalam dissenting opinion dalam Putusan MK (h. 454-455) menyatakan, “Dalam
Pancasila, nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis. Nilai ketuhanan
merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh
nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini…. Konsepsi ini menegaskan bahwa
peraturan perundang-undangan di Indonesia harus senantiasa sejalan dan sama
sekali tidak boleh bertentangan dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai
agama….” Lebih mengerucut, pandangan itu berujung pada kesimpulan antara lain
bahwa pasal zina dalam KUHP (delik overspel) yang masih dipakai kini adalah warisan Belanda yang
masih menganut cara pandang “sekuler-hedonistik”, cara pandang yang
mempersempit ruang lingkup—dan karena itu belum sesuai dengan—makna zina
menurut nilai agama yang mencakup zina dalam ikatan pernikahan (adultery) dan
tidak dalam ikatan pernikahan (fornication). (Lagi, pertanyaannya: dengan cara berpikir
“Pancasilais”, apakah zina di luar pernikahan perlu dihukum pidana? Juga,
apakah lima hakim lain yang tidak mengabulkan permohonan itu menjadi tidak
“Pancasilais”?)
Keilmiahan, kekuasaan, dan
kemultitafsiran
Kolom Pak Arif itu tampaknya berasumsi
bahwa ilmu pengetahuan menyediakan perangkat yang netral, tidak
ideologis, atau bahkan objektif dalam menghasilkan “cara berpikir Pancasilais”.
Hal ini sayangnya kurang mendapat elaborasi yang memadai di kolom itu—yang
sangat bisa dimaklumi, karena ruang tulisan di koran memang terbatas.
“Cara berpikir Pancasilais”, jika ia
memang mungkin dihasilkan, mengandung paradigma esensialis yang berasumsi
seolah-olah tafsir mengenai Pancasila dapat dengan mudah disepakati oleh semua
orang. Persoalannya, dan ini di antara yang ditunjukkan dalam Laporan itu,
tafsir-tafsir Pancasila yang pernah muncul, bahkan dari para generasi para
pendiri bangsa, tidaklah seragam dan sebagian bahkan bertentangan.
Ambil contoh soal komunisme. Agar tak
mengulang yang sudah ditulis dalam Laporan itu, cukup dikatakan di sini bahwa
Sukarno adalah orang yang gandrung dengan Marxisme; ia kerap sekali mengutip
para intelektual Marxis dalam penjelasannya mengenai Pancasila (khususnya sila
kelima); bahkan bisa dibilang bahwa embrio gagasan perumusan Pancasila ialah
dari kehendak untuk menyatukan gerakan nasionalis, Islam, dan Marxis (bukan
sekadar “sosialisme” seperti disebut Pak Arif).
Dalam pernyataan Roeslan Abdulgani, tokoh
PNI dan jubir Sukarno waktu itu, “Pancasila adalah sebuah sintesis
gagasan-gagasan Islam modern, Marxisme, dan demokrasi asli seperti dijumpai di
desa-desa dalam komunalisme penduduk” (dikutip dalam Laporan h. 4). Namun paham
komunisme/Marxisme-Leninisme kemudian dilarang oleh rezim Orde Baru. Di sini, pertanyaannya
ialah, dalam hubungan Pancasila dengan Marxisme, mana yang benar: Sukarno atau
Orde Baru? Dalam kasus ini, susah untuk mengesampingkan tesis bahwa apa yang
disebut benar secara diskursif-ideologis berkaitan erat dengan relasi
kekuasaan, bukan semata netral-objektif di dalam dirinya sendiri.
Tulisan Pak Arif menyatakan bahwa
komunisme bertentangan dengan Pancasila karena “tak menyatukan keadilan sosial
dengan demokrasi”. Ihwal hubungan Pancasila dengan demokrasi juga dibahas
dalam Laporan itu. Agar tak mengulang, ringkas saja: demokrasi ala Pancasila
sebagaimana dipraktikkan oleh penggalinya sendiri menghasilkan Demokrasi
Terpimpin dengan kekuasaan yang terpusat di tangan presiden, atau simpelnya:
otoritarianisme. Orde Baru, yang sebagian besar struktur politiknya mewarisi
Demokrasi Terpimpin, juga mendaku dirinya sebagai “Demokrasi Pancasila”. Andai
Sukarno hidup kini, saya duga keras, sistem multipartai yang kita miliki
sekarang ini tidak sebangun dengan demokrasi ala Pancasila yang ia imajinasikan.
Ketika Sukarno membubarkan Konstituante
dan meluncurkan Demokrasi Terpimpin, Bung Hatta mengecamnya dan mengatakan,
“Dua kali dalam waktu singkat ia berbuat bertentangan dengan Pancasila. Orang
yang menggali Pancasila menguburkan sendiri galiannya itu” (Hatta, Menuju Negara Hukum, Idayu Press, 1977: 16, dikutip dalam Laporan h. 13).
Di sini, pertanyaan yang sama lagi-lagi muncul—mana demokrasi yang Pancasilais:
menurut Bung Karno, Bung Hatta, Orde Baru, atau pasca-Reformasi?
Pak Arif dalam tulisannya juga menyatakan
bahwa era “monolitisisme tafsir Pancasila oleh kekuasaan” telah berlalu,
digantikan dengan otoritas ilmiah. Saya khawatir pernyataan ini belum
sepenuhnya terkonfirmasi jika mengingat bahwa apa yang disebut sebagai “ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” sebagaimana tercantum dalam
bagian Penjelasan UU Ormas 2013 (yang kini sudah diganti dengan UU hasil
pengesahan Perppu Ormas 2017) hanya mengandung sedikit perbedaan dengan UU
Ormas 1985 produk Orde Baru (soal ini disinggung dalam Laporan halaman-halaman
awal). Artinya, campur tangan kekuasaan belum sepenuhnya hilang, bukan? (Atau,
mungkinkan bisa terjadi proses penafsiran yang lepas sama sekali dari relasi
kekuasaan, apalagi untuk suatu hal yang dinyatakan sebagai dasar negara?)
Di samping itu, jika benar upaya
penafsiran terhadap Pancasila ingin disebut “ilmiah”, sebagaimana diutarakan
Pak Arif, maka sudah seharusnya ia bersedia menerima sifat-sifat utama ilmu:
keterbukaan pada kritik, pengakuan akan kemungkinan kekeliruan, dan kesediaan
untuk berubah jika ditemukan tesis-tesis baru yang lebih meyakinkan—ini berlaku
baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial-humaniora.
Jadi, seturut kehendak untuk mengilmiahkan
Pancasila, maka langkah pertama adalah pengakuan adanya kemultitafsiran itu
dalam lapis-lapis pemahaman mengenai Pancasila, dari yang abstrak hingga yang
konkret, dan adanya upaya untuk menghindari klaim kemutlakan, lebih-lebih
dengan adanya gagasan yang cukup banyak disuarakan beberapa tahun lalu, yakni
menjadikan Pancasila sebagai “ideologi terbuka”. Pancasila akan hilang nilai
keilmiahannya jika ia dijadikan sebagai doktrin yang antikritik dan berperan
sebagai “penutup percakapan”, misalnya dengan menjadikannya alat untuk
membubarkan suatu organisasi tanpa melalui proses deliberasi dan ajudikasi di
ruang pengadilan.
Karena adanya kerentanan untuk terpeleset
ke dalam pemutlakan dan indoktrinasi tafsir Pancasila ini, Laporan itu hadir
dengan harapan dapat membuka wacana yang lebih kritis dalam perdebatan mengenai
Pancasila.
__
Azis Anwar Fachrudin, Mahasiswa CRCS Angkatan 2014
0 komentar:
Posting Komentar