Jesus Anam
“Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini,” tulis Marx, “adalah sejarah perjuangan kelas.”[1]
Untuk mengawali tulisan ini, tidak ada salahnya jika saya mengutip ungkapan filosofis dari Nietzsche tentang bagaimana melihat sejarah. Nietzsche, dalam On the Use and Abuse of History for life, menulis, “Kita butuh sejarah, tetapi kita membutuhkannya secara berbeda dari ‘tulang-tulang malas’ yang berada di taman pengetahuan.”[2]
Ya, memandang sejarah tidak sekedar sebagai sejarah; tetapi melihat sejarah sebagai titik pijak untuk melakukan kerja-kerja praksis di dalam sejarah — inilah refleksi kritis yang hendak saya ajukan.
Terkait dengan perayaan May Day, kaum buruh harus melihatnya dalam perspektif sejarah yang berbeda. May Day bukan hanya bermakna selebritas semata, bukan hanya sebagai perayaan tahunan belaka; bukan sekedar the annual day. Sebab, secara historis, May Day adalah peringatan atas peristiwa revolusioner di masa lalu yang diperankan oleh kaum buruh dalam melawan penghisapan kapital; peristiwa politik yang telah banyak merenggut nyawa kaum buruh di Chicago pada tahun 1886. Dengan demikian, bagi kaum buruh, May Day selayaknya diletakkan di dalam pemaknaan historis yang benar, yakni sebagai memori kolektif perjuangan kelas.
Memori kolektif, tulis Halbwachs[3], adalah ingatan kolektif dari suatu kelompok [atau suatu kelas] sosial yang dapat menjadi cerita bersama secara turun-temurun. Dan tidak hanya menjadi sebuah cerita semata, lanjut Halbwachs, tetapi juga bisa diwujudkan kembali dalam bentuk yang serupa di masa selanjutnya.
Makna “perwujudan kembali” sejarah May Day dalam konteks perjuangan buruh hari ini, terutama di Indonesia, dapat ditandai dengan melakukan perayaan yang bersifat revolusioner; menjadikan May Day sebagai hari yang radikal untuk mengingat kembali memori perjuangan kelas; untuk terus menumbuhkan semangat baru bagi perlawanan kaum buruh; untuk melahirkan generasi-generasi baru di dalam perjuangan kelas buruh.
“Biarkan perayaan May Day memenangkan ribuan pejuang [buruh] baru…,” tulis Lenin, “dan memperbesar kekuatan [kaum buruh] kita dalam perjuangan bagi pembebasan seluruh masyarakat….”[4]
Ungkapan Lenin di atas telah memberikan suatu penjelasan yang tegas tentang bagaimana seharusnya kaum buruh memandang sejarah May Day. May Day tidak dipandang sebagai sejarah memorial pasif yang melahirkan perayaan biasa, terlebih dijadikan sebagai ajang untuk bersenang-senang dan hura-hura. May Day adalah peristiwa politik besar di dalam relasi produksi, yang berarti memori kolektif milik kaum buruh; memori tentang suatu tragedi yang pernah menimpa kaum buruh di Chicago.
Pada peristiwa itu, ketika buruh sedang melakukan demonstrasi untuk menuntut delapan jam kerja, polisi menembaki mereka dengan brutal. Dan tidak hanya itu. Beberapa pimpinan buruh yang ditangkapi dan dihukum mati. Tragedi Chicago 1886, yang kemudian melahirkan perayaan May Day, merupakan rentetan sejarah penindasan kapital atas buruh yang dimulai sejak — meminjam istilah Engels — Revolusi Industri di Inggris. Tragedi ini merupakan titik penting dari konflik sosial antara buruh dan majikan; sebagai tragedi yang menandai perjuangan kelas antara proletariat dan borjuasi. Dan Marxisme memposisikan perjuangan kelas antara proletariat dan borjuasi sebagai eksistensi yang inheren di dalam kapitalisme, yang terus-menerus akan terjadi sebelum kapitalisme dapat dihancurkan.
Marxisme telah mengajarkan bahwa konflik kelas antara proletariat dan borjuasi bukanlah hasil kerja sejarah yang bersifat natural. Konflik kelas tersebut merupakan hasil dari aktifitas di dalam produksi. Dan aktifitas produksi, yang di dalamnya terdapat pemilik modal dan buruh yang tertindas, akan terus menggulirkan perjuangan kelas buruh.
Kontradiksi antara proletariat dan borjuasi hanya akan berhenti ketika masyarakat Sosialis terbentuk. Oleh sebab itu, May Day harus menjadi peringatan yang hidup. Koneksi spirit politik antara peristiwa perjuangan buruh di masa lalu dengan perjuangan buruh di hari ini harus terus tersambung. May Day juga harus menjadi perayaan revolusioner. May Day hari ini harus mulai membawa slogan-slogan sosialisme.
Beberapa kecenderungan buruk harus dimatikan. Pertunjukan dangdut, band dan sejenisnya akan menjauhkan buruh dari semangat perjuangannya. May Day adalah ajang hidup dan mati. Perayaan ini harus digunakan untuk melakukan aksi bersama dan mengajukan tuntutan-tuntutan kepada pemilik kapital dan pemerintah; bukan hari libur dan pestanya buruh. Namun tidak berhenti sampai di situ. Tuntutan-tuntutan untuk pembentukan partai buruh yang dilengkapi dengan program sosialis juga harus mulai dikumandangkan.
“Pada mulanya May Day hanya menuntut delapan jam kerja,” tulis Rosa Luxemburg[5]. “Tapi setelah tuntutan itu tercapai, May Day tidak boleh berhenti sampai di situ.”
Slogan-slogan yang bersifat politik harus menjadi slogan utama, terutama pada May Day beberapa hari mendatang. Slogan-slogan seperti “Tolak Hasil Pemilu Borjuasi”; “Tolak Legitimasi Pemerintahan Borjuis”; “Bentuk Partai Buruh dengan Program Sosialis”; “Sosialisme Satu-Satunya Jalan Menuju Pembebasan Kaum Buruh!” dan sebagainya harus menjadi slogan inti dalam perayaan May Day mendatang.
[1] Marx, Manifesto Komunis.
[2] Nietzsche, On the Use and Abuse of History for life.
[3] Halbwachs, La mémoire collective.
[4] Lenin, May Day.
[5] Luxemburg, What Are the Origins of May Day?
Sumber: Militan Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar