Fathurrozak | 2 April 2018
Suatu sore yang teduh di Kemang, Jakarta Selatan, rumah dengan hiasan tanaman yang merembet dari atap, juga lukisan yang tergantung di salah satu sudut. Lukisan dengan material kaca, nampaknya belum usai digarap, diletakkan di atas meja. Jendela yang dibiarkan terbuka, seolah menjadi tanda begitu terbuka orang yang akan menyambut kami petang itu.
Sekitar satu jam kemudian, lelaki bertopi dan berkaus hitam, turun dari mobil. Ia, Daniel Rudi, yang baru saja mendapat fasilitasi proyek untuk menggarap karya audio visual tema kesejarahan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sambil lahap menyantap makanan dengan lauk petai, Rudi, sapaannya, menjelaskan proyek yang sedang dikerjakannya. Kaus berwarna hitam, bergambar potret lelaki dengan warna merah, sudah menjadi tanda. Rudi sedang menggarap sebuah dokumentari salah satu Bapak Bangsa, Tan Malaka.
Perkenalannya dengan tokoh Minang ini, sebenarnya sudah sejak lama, saat ia masih bersekolah dasar. Hingga kemudian dirinya semakin mengenal betapa penting gambar sosok yang ada di kausnya ini, saat sekolah menengah, sekaligus menjadi perkenalannya dengan seni rupa, dan pergerakan aktivisme.
Berlanjut saat kuliah di Institut Kesenian Jakarta, lelaki kelahiran Semarang ini kemudian bermimpi untuk membuat film tentang Tan Malaka, “Aku dulu tuh punya mimpi, sebelum 40 tahun, pingin pameran tunggal, satunya lagi, bikin film tentang Soe Hok Gie kalau enggak Tan Malaka,” buka Rudi, pada Kamis, (8/03).
Bukan perkara mudah, untuk mengangkat sosok pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) ini ke dalam sebuah karya audio visual. Bagi Rudi, bukan berhenti pada permasalahan teknis.
“Tetapi stigma yang melekat pada diri Tan Malaka. Makanya, ini adalah caraku untuk menyikapi ketakutan yang sengaja diciptakan oleh sekelompok golongan,” aku Rudi sembari merujuk beberapa kegiatan yang berafiliasi pada nama Tan Malaka, berujung pada pembubaran oleh ormas, seperti saat pentas salah satu kelompok teater di Bandung.
Namun, melalui fasilitasi Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengucurkan dana Rp 175 juta untuk lelaki yang juga sempat ditunjuk menjadi kandidat Ketua Mahasiswa Murba se-Indonesia semasa kuliah ini, semakin memantapkan, bahwa apa yang dilakukannya adalah upaya yang tidak bisa diganggu gugat pihak mana pun.
“Membuat film ini adalah perjalan panjang aku juga teman-teman lain, agar bagaimana Tan Malaka ini bisa diterima, legitimasinya jelas, kita dibantu Kemendikbud, jadi tidak ada alasan ormas melarang, pemerintah membantu, kementerian tahu, dirjen tahu.”, ungkap Rudi sambil mengingatkan kembali bahwa jasa-jasa Tan Malaka bagi bangsa juga telah diakui negara dengan Keputusan Presiden RI No. 53 tahun 1963 yang menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Dari dana yang terbatas itu, akhirnya Rudi harus meminimalisasi anggaran. Ia ‘keroyokan’ mengerjakan semuanya, menjadi sutradara, penata gambar, penulis naskah, juga rangkap penata suara.
Roadshow untuk Galang Dana Film Panjang
Paling tidak, apa yang dicitakan sebelum usianya melewati batas kepala lima, juga doanya saat berkunjung ke sebuah gang di Harleem, tempat kos penulis Madilog ini, terkabul. Tahun 2015, sutradara dokumenter Prison and Paradise ini berkesempatan untuk datang ke Paris, Prancis. Dari situ, ia melancong ke negeri Kincir Angin, penasaran dengan Harleem yang selama ini hanya diketahuinya dari buku-buku yang dibacanya.
“November 2015, di gang tempat Tan Malaka ngekos, aku berdoa dalam keadaan udara yang dingin. Aku ingin bikin film Tan Malaka.”
Dua tahun setelahnya, doa itu terjawab. Ia mendapatkan fasilitasi proyek film pendek Tan Malaka dari Direkorat Jenderal Kemendikbud.
Kemendikbud hanya mewajibkan Rudi untuk menjadikan video berdurasi pendek, sekitar 23 hingga 30 menitan. Ia pun disarankan seorang petinggi di Direktorat Jenderal, bila ingin meneruskannya menjadi film layar lebar, akan terbuka peluang setelah ia menggarap film versi pendek ini.
Namun, dana fasilitasi dari Kemendikbud tidaklah cukup bila Rudi ingin meneruskan film yang ia beri judul Maha Guru Tan Malaka ini menjadi film panjang, apa lagi tayang di jaringan layar lebar.
Untuk itu, ia nekat membawa Tan keliling ke berbagai kota dan daerah, bekerja sama dengan komunitas, untuk mempertemukan Tan Malaka dengan penontonnya. Asumsinya, ia masih memerlukan sekira 85an juta lagi untuk bisa menjadikan Maha Guru Tan Malaka sebagai film panjang.
Film yang bergenre dokumentari perjalanan ini, menggabungkan unsur video blogging (vlog) dengan animasi ilustrasi hasil gambar tangan sang sutradara. Saat ini, Daniel Rudi Haryanto sudah mulai berkeliling untuk memutarkan film yang bercerita perjalanan mahasiswa asal Bandung berkuliah keaktoran di Prancis mengunjungi jejak-jejak Tan di Harleem dan Leiden, Belanda, ditemani sejarawan Harry A. Poeze.
Untuk mewujudkan film panjang Tan Malaka, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memutar Maha Guru Tan Malaka di jaringan-jaringan komunitas dari berbagai kota. Diharapkan informasi tentang sosok pejuang kemerdekaan ini tidak berhenti pada durasi, dan dengan film panjang, lebih banyak lagi yang mengenal, siapa inspirator dunia ini.
Sumber: InfoScreening.Co
0 komentar:
Posting Komentar