30 April 2018
©Arsip/BAL
Tepat pada hari ini, dua belas tahun yang lalu, Pramoedya
Ananta Toer meninggal dunia. Ia meninggal di rumahnya di Kawasan Utan Kayu,
Jakarta Timur, pada 30 April 2006 silam. Hingga sekarang, Pram adalah
satu-satunya pengarang asal Indonesia yang pernah mendapat nominasi nobel
sastra.
Dalam rangka mengenang diri dan karya-karyanya, kami
menerbitkan ulang wawancara bersama Pram yang pernah terbit di majalah
BALAIRUNG tahun 1994. Sebelumnya, tulisan ini dimuat dalam rubrik Insan
Wawasan, rubrik yang menuliskan hasil wawancara dengan seorang tokoh, pada
Majalah Balairung Edisi Khusus/TH. VIII/1994.
Demi kemudahan membaca, kami melakukan sedikit
penyuntingan bahasa pada naskah arsip sebelum menerbitkannya di laman ini.
Tentu, tanpa mengubah isi dan substansi wawancara dengan sang pengarang. Berikut
adalah Insan Wawasan Pramoedya Ananta Toer dengan judul asli “Saya Pupuk Bawang
Lekra”.
Kalau kuas lembut sejarah boleh mengoleskan merah, biru,
putih, kuning, maka perjalanan hidup seorang Pramoedya Ananta Toer adalah pekat
sempurnanya jelaga. Delapan belas tahun hidupnya dihabiskan dalam dunia paling
kelam produk lalim kekuasaan, penjara. Secara bergiliran dicicipinya nyinyir
terali besi tiga rezim kekuasaan; tiga tahun dalam tawanan Belanda, setahun
(1960) dalam penjara Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan dalam penjara Orde
Baru. Tidak hanya itu, setelah dua tahun ia keluar (1981), satu persatu bukunya
dilarang beredar.
Sejak itu lingkungannya mulai mengambil sikap. Nama
‘Pramoedya Ananta Toer’ menjadi kian suram, menakutkan dan makin disingkiri.
Kemudian iapun sadar telah memasuki ‘penjara’ yang lain. Dalam sisa hidupnya
kini, dia makin dianaktirikan bangsanya. Bangsa yang dulu dia pertahankan dan
bela mati-matian kemerdekaannya dari serangan Inggris, Belanda, dan Jepang.
Pramoedya memang sosok kontroversial negeri ini. Ditakuti
anak sekolahan ujung kampung sampai kaum muda harapan bangsa yang
berkepentingan dengan selembar kertas ‘bersih diri lingkungan’. Ia dikecam oleh
kelompok Manikebu—kelompok yang dulu ditindasnya—sebagai ‘tukang ganyang’.
Ikranegara misalnya menulis, “Dia bukan hanya penganut dan penyebar aliran
realisme-sosialis (baca: stalinisme di bidang kesenian) melainkan yang juga
berjuang dengan garang untuk menindas aliran kesenian di luar yang diyakininya
…”. Andre Harjana dalam ‘Sastra Partai: dari Lenin ke Lekra’ dengan sangat
meyakinkan menunjukkan kesamaan antara Lekra (di mana Pram disebutnya sebagai Ideolog
organisasi tersebut), dengan organisasi kesenian di Rusia yang melakukan fungsi
propaganda bagi rezim komunis. Begitupun Goenawan Mohamad, buru-buru
menerbitkan tulisan panjangnya dalam ‘refleksi’ (dengan kearifannya) dengan
maksud ‘meluruskan sejarah’ ketika Keith Foulcher pada 1986 mengeluarkan
monogramnya, ‘Social commitment in literature and the arts; the Indonesian
of people’s culture’ yang mengedepankan Lekra.
Lepas dari noda masa lalu, Pram adalah pengarang besar
negeri ini. Karyanya mendapatkan kehormatan dalam khasanah kesusastraan dunia.
Dialah satu-satunya pengarang Indonesia yang masuk nominasi hadiah Nobel (dia
masuk nominasi penerima Nobel setiap tahun 1984 sampai sekarang). Melalui
tetralogi novelnya yang ditulis di Pulau Buru, Pram dinilai berjasa dalam
mengungkap sejarah pergerakan pada awal abad 19, kurun waktu yang belum banyak
disentuh para sejarawan kita. Jacob Sumarjo misalnya menulis menanggapi Bumi
Manusia, “… Pramoedya melukiskan sekeping kehidupan rakyat, tapi dia
menyuguhkan gambaran sebuah zaman yang hilang. Sebuah zaman yang dihuni oleh
bapak-bapak bangsa yang meletakkan dasar-dasar perjuangan besar melawan
kolonialisme dan penindasan. Kelak apinya akan berkobar dan membakar rumah
penjajah yang kotor dan masif.”
Saat ini Pram hidup tenang dengan keterpencilannya,
bersama istri dan beberapa anaknya di bilangan Rawamangun, Jakarta. Oleh
istrinya, Maimunah (dia adalah keponakan pahlawan nasional Husni Thamrin), ia
dikaruniai 8 orang anak, 7 di antaranya perempuan. “Tahun 1965 waktu ditangkap
dia berumur 2 bulan, sehingga saya tak sempat mendidik dia,” kata Pram
tentang bungsu laki-laki satu-satunya. Hari-harinya dilewatkan dengan
membaca buku, berkebun dan membersihkan rumah. Sejak keluar dari Buru tahun
1979 Pram sepenuhnya hidup dari royalty buku-bukunya yang bertebaran
diterbitkan di luar negeri.
Omong-kosong BALAIRUNG dengan Pram mengalir pelan lengkap
dengan gurauan di sana-sini. Pertemuan berlangsung selama 6 jam dalam dua kali
kesempatan wawancara. Pertanyaan terpaksa terlontar dengan ‘agak berteriak’
dengan sesekali mengulang dan mendekatkan mulut ke telinganya. Memang selama
hampir 30 tahun terakhir, pendengaran Pram kurang begitu baik. “Ini karena
pukulan Tomygun sewaktu saya ditangkap,” ucap Pram.
Sore itu, langit Jakarta mendung sehingga ruangan 4×4 m
di lantai dua rumahnya yang apik agak remang. Dinding ruangan lengang oleh
lukisan maupun hiasan. Hanya ada tiga kursi dan meja kayu bundar dengan asbak
kaleng yang dibikinnya sendiri. Selain itu, beberapa novel Pram yang baru saja
diterbitkan di luar negeri pun tercecer di lantai. Pram duduk dengan santai di
atasnya sambil mengenakan kaos dan celana pendek Bermuda. Sorot matanya
masih tajam, bicaranya masih tangkas dan galak.
Beberapa waktu lalu
Anda ceramah di LBH, kesan-kesannya bagaimana?
Oh, sambutan baik. Cuma habis bicara saya langsung pergi, karena kalau mereka ngomong saya enggak dengar.
Usul Anda di LBH
waktu itu tentang tapol dan napol.
Ya, dianjurkan supaya (tahanan politik dan narapidana politik) diberi Amnesti, tapi saya menolak. Lho kami tidak merasa (salah) apa-apa. Saya mau mengatakan bahwa yang memberi Amnesti itu saya pada Orba. Apa yang tidak dirampas dari saya? Hidup saya, masa muda saya yang kreatif (dirampas).
Waktu diskusi di
studio Oncor bulan Agustus 1993, Anda datang?
Ndak datang. Saya sudah menduga tak akan ada orang yang mulai ngomong masalah sumber-sumber konflik. Jadi toh akan melayang di permukaan saja, karena kalau mengenai latar belakang terjadinya soal itu orang tidak menguasai. Apalagi orang-orang Manikebu enggak mau tahu.
Menurut Anda, apa
perbedaan mendasar antara konsep kesenian Lekra dengan Manikebu?
Lekra menghendaki kesenian yang terlibat dengan perjuangan nasional. Si Ariel Heryanto menamakannya Sastra Kontekstual. Sedangkan Manikebu mengendaki kebebasan mutlak, jadi enggak punya tugas nasional; jadi gelandangan waktu negara dalam keadaan genting.
Dalam menghadapi konsep kesenian lain (Manikebu), waktu
itu Lekra tidak demokratis. Sampai ada istilah ngganyang segala.
Tentu saja ngganyang, dan saya tidak merasa salah. Kami buka suatu diskusi dan polemik secara terbuka. Jawab kalau mau jawab, tapi mereka tak mau jawab.
Mengapa kata-kata
anda di Lentera demikian keras dan kasar?
Saya pegang Lentera setelah keluar dari penjara Cipinang tahun 1961. Sebelumnya saya dipanggil Penguasa Perang Tertinggi (Peperti, Soekarno) untuk diinterogasi karena kasus “Hoakiu di Indonesia”. Kemudian saya diculik dan disekap di Rumah Tahanan Militer (RTM). Istri saya hamil tua waktu itu, saya dicari ke mana-mana. Baru setelah sebulan tahu kalau saya di RTM. Waktu itu saya sangat marah pada militer dan semua yang diperalat oleh militer. Oleh karena itu Lentera itu penuh dengan kemarahan saya. Jadi itu memang persoalan pribadi yang menyebabkannya. Kemarahan itu terbawa dalam tulisan-tulisan saya.
Menurut kelompok
Manikebu, dalam Lentera dulu Anda menganjurkan agar mereka ditangkap, antara
lain HB Jassin, Hamka dll.
Omong kosong saja. Kertas dan dokumen saya telah dihancurkan semua. Saya enggak bisa pelajari lagi. Nanti saya mau dapat kiriman salinan Lentera dari Amerika, akan saya buktikan. Tapi kalau toh saya menganjurkan, itu dalam hubungannya dengan revolusi, kondisi nasional waktu itu.
Mengenai Hamka,
bagaimana sebenarnya persoalannya sampai dia dituduh plagiat?
Ia dituding plagiat oleh orang-orang yang mengetahui sastra Arab. Namanya Abdullah SP, lantas saya lansir di Lentera. Lalu ada jawaban dari masyarakat bahwa itu betul. Ada laporan dari UGM, dia pernah ceramah di UGM, lantas seseorang mengatakan bahwa Sejarah Islam di Indonesia, buku Pak Hamka yang jilid I, itu plagiat. Pak Hamka bilang, “Oh saya menghargai anak muda sekarang itu begitu kritis.” Itu pernyataan Hamka. Sebenarnya persoalan Hamka waktu itu sederhana. Dia tidak mengerti hak cipta, tapi dia tidak mau mengakui.
Sampai dia
ditangkap permasalahannya bagaimana?
Dia ditangkap dulu ada dugaan dia terlibat peristiwa Idul Adha. Ada sembahyang Idul Adha di Istana, waktu itu hadir Presiden. Presiden ditembak tapi meleset, lantas terdengar orang-orang menyebut “Allahu Akbar” terus bubar. Dia diduga terlibat dalam persoalan ini, nah benar-tidaknya saya tidak tahu.
Di Lentera tahun
1961 Anda menulis tentang adanya gejala ‘skisma’ pada pengarang kita waktu itu.
Bisa dijelaskan sedikit?
Pada zaman Pujangga Baru, orang menulis dalam hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan. Apakah itu (novel) Salah Asuhan (Abdul Muis), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), maupun karya sastrawan yang tak masuk dalam sejarah sastra Indonesia resmi seperti Marco atau Sumantri. Namun mengapa pada tahun 1960-an, ketika dalam keadaan bahaya, orang tidak lagi mengingat persoalan negara? Ini saya anggap sebagai gejala ‘skisma’. Itu pandangan pribadi saya, bisa saja salah. Saya bukan bermaksud supaya sastra menjadi sastra negara.
©Arsip/BAL
Hubungan anda
dengan anggota kelompok Manikebu.
Dulu Rendra dan Goenawan Mohamad pada tahun-tahun pertama saya kembali dari Buru (1980) datang ke sini (rumah Pram) dua kali. Jassin juga datang, begitu juga Mochtar Lubis. Setelah buku saya dilarang tahun 1981, ndak ada yang datang lagi. Ndak apa-apa, saya tidak punya perasaan dendam.
Dalam hal proses
kreatif menulis, ketika kreativitas diberi frame misi politis, yang
oleh Lekra waktu itu disebut dengan istilah Realisme-Sosialis, apakah ini tidak
membelenggu proses kreatif penulis? Pendapat Anda?
Kreativitas itu pada dasarnya berdasarkan tuntutan realisme sosial dengan tujuan memenangkan tujuan rakyat. Itu suatu kerangka teori, orang boleh menolak. Tapi dalam keadaan negara dalam bahaya, sebaiknya begitu. Seniman juga punya andil pada perkembangan negara, pada waktu itu lho.
Kemenangan rakyat
tersebut dalam kerangka paradigma komunisme-sosialisme?
Oh enggak. Itu artinya yang dirumuskan oleh Soekarno. Sosialisme itu apa? Keadilan dan kemakmuran, tanpa keadilan tak ada kemakmuran, itu kami terima. Itu bukan sosialisme sebagai sistem politik, tapi sosialisme seperti yang dirumuskan Pancasila. Keadilan and so on… and so on…
Bukan perjuangan
pembentukan masyarakat tanpa kelas?
Masyarakat tanpa kelas itu kan teori komunis. Di sini Indonesia. Untuk menjadi negara saja baru, bagaimana bisa mempraktekan dalam hubungan negara-negara kapitalis berlapis-lapis?
Itu kan utopis. Sebab mempraktekkan keadilan sosial saja
belum bisa.
Andre Harjana
menulis bahwa Realisme-Sosialis yang digunakan Lekra memiliki kesamaan dengan
Realisme-Sosialis yang digunakan di Rusia. Pendapat Anda?
Lekra sendiri tak punya formula yang jelas. Misalnya si Bakri (Prof. Bakri Siregar) lain, si Joebar (Joebar Ayub) lain, saya lain. Itu tidak mewakili Lekra, itu masih dalam suatu pemikiran. Tapi pada garis besarnya membantu kebangkitan rakyat, membantu emansipasi rakyat. Itu yang saya ketahui waktu itu.
Lepas dari
Realisme-Sosialis seperti didekritkan Zhdanof tahun 1934?
Lepas sama sekali. Itu kebutuhan Indonesia semasa negara dalam bahaya. Saya sendiri enggak pernah baca Zhdanof, masih terpusat pada problem yang hidup di Indonesia waktu itu.
Tahun 1961 Lekra
pernah menetapkan semacam ‘standar keindahan’ karya dan pedoman bagi para
penulisnya.
Ya, memang. Tapi saya nggak ingat rumusnya.
1-5-1 maksud Anda?
Ya saya ingat itu.
Bisa diterangkan
sedikit.
Saya tidak ingat secara rinci, sebab di Lekra saya tidak kenal organisasi. Saya itu terbang sendirian, dari Lekra itu saya diundang hadir pada kongres Nasional I di Solo. Saya diminta memberikan sambutan. Setelah itu, keputusan Kongres Lekra saya diangkat jadi anggota pleno. Jadi saya tidak mengikuti detil-detil. Saya bukan orang organisasi. Kalau ditanya tentang putusan organisasi, enggak tahu saya. Saya pupuk bawang di Lekra.
Setelah keluar dari
Pulau Buru masih bisa menulis?
Selama delapan tahun belakangan ini, praktis saya tidak menulis. Saya kehilangan konsentrasi. Dalam pemeriksaan terakhir sebulan lalu saya melakukan general check-up, ternyata gula darah saya 500. Lantas melakukan diet turun 250, mulai bisa kerja lagi. Dengan gula darah 500, saya kehilangan kemauan untuk menulis. Masuk ruang kerja saja saya tak mau. Mesin ketik sudah tertutup debu tak karuan.
Mengenai proses
kreatif penulisan…
Itu soal dorongan dari dalam untuk menulis. Penumpukan masalah yang harus dilepas, seperti penimbunan yang meledak begitu. Jadi sudah tak berpikir apa-apa. Terus jalan mengeluarkan timbunan.
Seperti
terhipnotis, enggak sadar begitu?
Bukan enggak sadar. Itu sadar, itu saya kehendaki. Materi-materi tertimbun dan tertumpuk dalam gentong. Materi itu saya peroleh dari pengalaman badani, inderawi, dan intelektual. Lalu ditetesi dengan apa yang saya kehendaki, lantas berproses. Nah proses itu tulisan saya: antara materi dan tetesan yang saya kehendaki. Seperti proses kimia begitu. Pengalaman inderawi, badani, dan intelektual adalah pondasi-pondasi penulisan. Kalau pengalaman itu tak ada, atau tak bisa mengahayati pengalaman sendiri, enggak bisa nulis. Hasil dari reaksi kimia itu adalah novel saya.
Oleh Orde Baru,
Anda dinilai sebagai penganut dan penyebar paham komunisme melalui karya-karya
anda. Pendapat Anda?
Saya enggak pernah mempelajari Marxisme-Leninisme, enggak pernah. Sejak SMP adik saya sekian banyak menjadi tanggung jawab saya. Saya sempat belajar hanya sampai kelas dua SMP. Belajar bahasa Inggris di penjara, bahasa Jerman di Buru. Saya enggak sempat studi, apalagi studi filsafat. Saya harus menghidupi keluarga, jadi nggak sempat mempelajari Marxisme-Leninisme. Ini jawaban secara jujur, bukan menutup-nutupi. Karena itu waktu diperiksa Satgas Intel tahun 1980 setelah diusir dari UI, saya bilang saya belum pernah mempelajari komunisme. Kalau ada persamaan pendapat saya dengan pendapat Marx-Lenin, itu jelas Marx-Lenin belajar dari saya, bukan sebaliknya.
Karya Anda banyak lahir di penjara. Mungkin suasana
penjara cukup baik bagi Anda untuk menulis.
Bukan begitu. Di penjara itu kan permasalahannya lebih sederhana untuk pribadi saya. Paling-paling pribadi berhadapan dengan kekuasaan, atau kalau ada konfrontasi kecil-kecilan dengan sesama. Kalau di luar, masalahnya macam-macam. Makan lah, pajak lah, dan seterusnya.
Anda diperbolehkan
menulis di penjara?
Saya dapat izin dari Jendral Soemitro, waktu itu Pangkopkaptib. Dia berjanji akan membebaskan kami sesegera mungkin. “Sebelum bebas silakan melatih kembali menulis,” dia bilang begitu. Tapi rencana dia gagal karena peristiwa Malari. Sebelum itu saya dapat surat dari Harto (presiden sekarang—Red) yang pada pokoknya memberikan restu pada janji Mitro.
Di luar negeri, Anda mendapat banyak dukungan untuk
dicalonkan sebagai nominator Nobel.
Yang pertama kali menyarankan itu Parakitri waktu meresensi buku saya Bumi Manusia, tahun 1984 kalau enggak salah. Kemudian saya memang masuk nominasi tahun 1984 sampai tahun terakhir ini.
Anda cukup luas dikenal di luar negeri, sementara di
negara sendiri buku
Anda dilarang.
Pendapat Anda?
Itu saya tak pedulikan. Mereka boleh melarang buku saya, saya hidup di luar negeri. Saya anti kapitalis tapi saya hidup dari negara kapitalis. Yang terakhir buku saya dikontrak Kanada dan pangkalan Amerika di Kanada. Novel saya, Perburuan, akan dipentaskan di Perancis bulan depan.
Ada pendapat yang mengatakan kalau karya Anda terkenal di
dunia internasional karena buku Anda dilarang dan Anda sendiri pernah
dipenjara.
Tanggapan anda?
Tidak juga. Karya saya kumpulan cerpen Cerita Dari Blora sudah diterjemahkan ke dalam 18 bahasa sebelum saya ditangkap tahun 1965. Ya mungkin itu faktor tambahan saja.
Siapa sastrawan
yang Anda kagumi dan mempengaruhi proses kreatif dalam penulisan Anda?
Semua sastrawan besar di dunia itu guru saya. Multatuli mengajarkan saya tentang kemanusiaan dan bahwa kemanusiaan itu tidak dapat berdiri sendiri, harus direbut. Dari Gorky saya mempelajari kekuatan bagaimana menggoyang sistem yang tidak kita sukai. Saya belajar dari Steinbeck bagaimana menulis secara plastis. Dari William Saroyan saya belajar bahwa detik-detik yang mengharukan adalah hubungan elementer antar manusia, antara ayah, ibu, dan anak dan sebagainya. Tolstoy, Gogol, Chekov, saya juga mengikuti tahun 50-an. Tapi yang paling banyak berpengaruh, ya yang di atas tadi.
Apa pendapat Anda
tentang kesenian kita sekarang?
Ya, kesenian formil kita sekarang ini memasuki dunia subsistem kekuasaan. Umumnya pengarang masuk dalam kerangkeng subsistem kekuasaan, misalnya tak mau melihat kekejaman mereka, penipuan-penipuan mereka. Memang tak semua memiliki pribadi terbelah.
Tentang pengarang
kita saat ini?
Saya tidak mengikuti perkembangan sastrawan Indonesia setelah saya ditahan. Hanya saya melihat Seno Gumiro (Seno Gumira Ajidarma—red). Kalau dia mau belajar dan pribadinya tidak terbelah, saya yakin dia akan menjadi pengarang besar.
Di kampung,
tanggapan warga bagaimana?
Waktu saya datang dari Buru itu penuh sambutan. Di Buru selalu dibilangi kalau setiap minggu, kami (para tahanan) tak akan diterima kembali oleh masyarakat. Namun ketika saya pulang, penuh (ramai).
Suka ngumpul-ngumpul di
kampung?
Enggak pernah ngumpul lagi. Setelah ada pelarangan, mereka pada ambil sikap.
Kumpul-kumpul RT
begitu?
Enggak mau, tetangga pun nggak. Khawatir nanti ada yang pikir macam-macam. Lebih baik enggak datang.
Ditulis ulang dengan
penyuntingan oleh: Citra Maudy dan Sultan Abdurrahman
0 komentar:
Posting Komentar