Sabtu, 14 April 2018
Timur Tengah
Di Timur Tengah kontradiksi imperialisme dunia terekspos dalam bentuk yang terkonsentrasi. Krisis kapitalisme dunia juga mencerminkan krisis imperialisme AS. Ketika kaum imperialis AS yang bodoh dan tidak kompeten menyerang Irak dan memporakporandakan seluruh negeri ini, mereka tidak hanya menghancurkan kehidupan jutaan rakyat tetapi juga menghancurkan angkatan bersenjata Irak, yang berakibat hancurnya perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Semua kekacauan dan penderitaan yang menyusul adalah hasil dari kejahatan imperialisme.
Dengan hancurnya angkatan bersenjata Irak, pengaruh Iran tumbuh pesat dan mengancam AS serta sekutu-sekutunya, terutama Arab Saudi. Konflik berdarah-darah di Suriah, yang sesungguhnya adalah perang proksi antar sejumlah kekuatan asing, adalah usaha untuk memenangkan pengaruh yang telah hilang. Ini diluncurkan untuk mengisolasi Lebanon dan melepaskan Suriah dari pengaruh Iran. Tetapi hari ini, pengaruh Iran di Suriah dan Lebanon bahkan jauh lebih kuat.
Di Suriah keterbatasan kekuatan imperialisme AS terpampang begitu jelas. Negara paling kuat sedunia tidak mampu mengintervensi secara militer. Ini telah menciptakan kekosongan yang lalu diisi oleh Iran dan Rusia. Intervensi Rusia mendorong perimbangan kekuatan ke sisi Assad. Jatuhnya kota Aleppo menandai satu titik balik menentukan dan kekalahan besar yang memalukan, tidak hanya bagi AS, tetapi juga sekutu-sekutunya, terutama Arab Saudi.
Sekarang ISIS sudah dikalahkan di Suriah dan Irak. Tetapi akar permasalahannya belum selesai. Apa yang akan terjadi sekarang? Turki sedang mengawasi Raqqa, Mosul, dan bahkan Kirkuk seperti elang, menunggu untuk mencaploknya. Iran telah meningkatkan pengaruhnya di seluruh wilayah, dan ini membuat khawatir Amerika, Saudi dan Israel. Sementara Irak dan Suriah telah terpecah-pecah dan akan tetap bergejolak selama periode selanjutnya.
Selapisan kelas penguasa AS ingin terus melanjutkan perang, tetapi usaha ini jelas akan gagal. Putin selalu satu langkah di depan mereka setiap saat. Ketika Rusia menyelenggarakan konferensi perdamaian di Astana, Kazakhstan, Amerika dan Eropa tidak diundang sama sekali. Pada akhirnya, kendati semua retorika, AS dengan enggan terpaksa menerima kenyataan yang ada yang didikte Rusia.
AS telah kalah di Suriah. Inilah fakta yang sesungguhnya. Ini merefleksikan pergeseran dalam perimbangan kekuatan di wilayah tersebut. Akan ada konsekuensi yang luas, terutama di antara sekutu AS yang telah kehilangan kepercayaan pada AS, dan para sekutu ini sekarang semakin memilih jalan sendiri-sendiri dan memprioritaskan kepentingan mereka sendiri. Turki mestinya adalah sekutunya AS dan anggota kunci NATO, tetapi semakin hari semakin jelas kalau Turki dan AS menemui diri mereka mendukung kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan di Suriah.
Awalnya AS bertaruh pada pemberontak Jihadi yang dibeking oleh Turki dan Arab Saudi, tetapi mereka ternyata adalah sekutu AS yang tidak bisa diandalkan, seperti yang dibuat jelas dengan bangkitnya ISIS. Pentagon oleh karenanya terpaksa melempar dukungannya ke kekuatan YPG Kurdi (YPG adalah angkatan bersenjata Kurdi) dalam memerangi ISIS di Suriah Utara.
Tetapi ada masalah. Erdogan punya ambisi besar di wilayah ini. Dia ingin membangun kerajaan seperti Ottoman, dan kaum Kurdi adalah halangan fisik dan politik baginya. Kepentingan utama Erdogan sekarang adalah meremukkan Kurdi, baik di Kurdi maupun di Suriah. Setelah kalah di Suriah, Erdogan memutuskan untuk berubah haluan, dengan bersandar pada Iran dan Rusia guna meraih keunggulan untuk bermanuver dengan Barat.
Dengan mencampakkan para pemberontak di Aleppo dan kota-kota lainnya, yang dibeking oleh AS, Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, Rusia dan Iran mengizinkan Turki untuk mencaplok sepotong wilayah Suriah Utara untuk menghentikan ekspansi Kurdi di sana. Kerja sama antara Turki, Rusia dan Iran ini telah menghantarkan pukulan telak pada AS dan Arab Saudi, yang para cecunguk Jihadinya telah diremukkan atau terpaksa menerima perjanjian Astana.
Usaha Trump untuk merobek perjanjian Nuklir Iran adalah usaha putus asa untuk memutar balik jarum jam. Sementara AS terus di bawah tekanan untuk menarik pasukannya dari Timur Tengah, Iran memiliki ratusan ribu pasukan milisi yang tangguh dan mengakar di Irak, Suriah dan Lebanon. Pada analisa terakhir, ini akan menjadi faktor menentukan. Eropa telah menjauhkan diri mereka dari kebijakan Irannya Trump, yang ternyata lebih melemahkan AS, sementara Iran menikmati tontonan kekacauan di Barat.
Arab Saudi
Arab Saudi mengucurkan ratusan miliar dolar ke kelompok-kelompok paling reaksioner di Suriah. Tetapi mereka kalah. Perang Saudi di Yaman juga mengalami kekalahan. Setelah hampir 3 tahun pertempuran yang berdarah-darah, yang telah meluluhlantakkan seluruh Yaman dan meninggalkan jutaan kelaparan, kelompok Houthi yang dibeking Iran punya posisi kuat di wilayah mereka. Sementara koalisi Saudi telah runtuh. Kaum Jihadi, kaum nasionalis Yaman Selatan dan pasukan Emirat – yang dibeking Arab Saudi – sekarang mengejar agenda mereka masing-masing. Ini adalah satu lagi kekalahan yang akan melemahkan fondasi rejim Saudi yang busuk.
Saudi mencoba menegaskan diri mereka di Qatar, dengan menuntut Qatar agar memutuskan hubungannya dengan Iran dan Turki, dan mengikuti garis kebijakan luar negerinya Saudi. Tetapi Qatar justru semakin memperkuat hubungan dagang dan militernya dengan Iran dan Turki. Turki telah memperluas pangkalan militernya di wilayah semenanjung, sebagai peringatan terhadap Saudi agar tidak bertindak terlalu jauh. Trump awalnya mendukung Saudi, sampai dia diberitahu oleh para penasehatnya kalau AS punya pangkalan militer yang sangat penting di Qatar.
Raja Abdullah adalah seorang reaksioner keras, tetapi dia culas dan bertindak dengan hati-hati. Rejim yang baru, yang dipimpin oleh pangeran raja Muhammad Bin Salman, jauh dari hati-hati. Seperti seorang penjudi yang kalah, dia terus bertaruh besar-besaran untuk menghalau kekuatan dan pengaruh Iran yang terus membesar. Tetapi usaha-usahanya, alih-alih menghentikan proses kemunduran Saudi, justru mempercepatnya dan bahkan memberinya karakter yang lebih meledak-ledak.
Selama puluhan tahun, rejim reaksioner ini hidupnya secara artifisial diperpanjang oleh imperialisme karena peran uniknya sebagai penyuplai minyak untuk AS dan sebagai basis kontra-revolusi utama di dunia Muslim. Disandingi dengan harga minyak yang tinggi, rejim ini dapat mempertahankan dirinya dengan menyogok lapisan-lapisan tribal reaksioner dan religius yang menjadi fondasi basisnya.
Tetapi hari ini faktor-faktor ini telah menghilang. AS hampir swasembada minyak dan krisis ekonomi dunia telah menurunkan harga minyak. Peran kerajaan Saudi dalam relasi dunia telah menurun, dan oleh karenanya kepentingan kelas penguasa Arab Saudi dan AS mulai berpisah. Krisis ini juga menggerus cadangan devisa Saudi, yang memaksa mereka menerapkan kebijakan pengetatan untuk pertama kalinya. Mereka tidak bisa lagi membeli kestabilan sosial dengan menyogok penduduk lokal mereka dengan subsidi mewah dan pekerjaan seumur hidup di sektor publik.
Dalam jangka menengah kombinasi dari semua faktor ini akan melemahkan kestabilan rejim, dan dapat rontok seperti apel busuk kapanpun. Apapun yang akan menggantikan rejim ini tidak akan disukai oleh Washington. Di bawah pengaruh krisis imperialisme AS, tatanan lama di wilayah Timur Tengah yang sebelumnya dibangun oleh imperialisme Inggris dan AS sekarang mulai runtuh.
Seakan-akan semua ini tidak cukup, kebodohan Trump dalam mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan menyetujui perpindahan duta besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem telah menambah elemen eksplosif di Timur Tengah. Ini juga semakin memperdalam perpecahan antara imperialis Eropa dan AS. Imperialis Eropa khawatir kalau kebijakan Trump ini akan mengancam keberlangsungan negosiasi perdamaian, yang tidak seorangpun anggap serius. Imperialisme AS, seperti biasanya, tidak memahami apapun dan tidak punya perspektif sama sekali.
Akan tetapi tidak mungkin Trump mengambil keputusan ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan para pemimpin Saudi. Saudi sekarang bersekutu erat dengan Trump dan Israel, dan fokus utama mereka akan menghalau Iran. Mereka harus setuju menikam rakyat Palestina di punggung, sementara mengeluarkan sejumlah pernyataan untuk hadirin di Arab. Pada akhirnya ini akan menjadi paku yang menutup peti mati dari rejim Saudi yang korup dan menjijikkan ini.
Revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara
Revolusi yang menyapu Timur Tengah dan Afrika Utara pada 2011-2013 (Musim Semi Arab) gagal karena ia tidak memiliki kepemimpinan revolusioner. Hari ini gerakan, yang letih dan dipenuhi kebingungan, telah mundur dan membuka ruang bagi reaksi. Bangkitnya reaksi dan kontra-revolusi Islamis di seluruh wilayah terkait dengan surutnya gerakan revolusioner.
Akan tetapi peristiwa-peristiwa di Maroko pada 2017 menunjukkan bahwa revolusi belumlah mati. Pemberontakan di Rif adalah gerakan paling spektakuler di Maroko sejak Revolusi 2011 di Timur Tengah dan Afrika Utara. Insiden yang memercikkan pemberontakan ini adalah terbunuhnya seorang penjual ikan muda di truk sampah oleh polisi. Segera setelah gerakan ini dimulai, gerakan ini melaju dengan sangat cepat dan intens. Gerakan solidaritas dari kelas buruh dan kaum tertindas seluruh Maroko meledak dengan tuntutan-tuntutannya sendiri, yang tidak nasionalis atau sektarian.
Gerakan ini mengantisipasi perkembangan di wilayah ini, dimana tidak ada satupun pemerintah yang stabil. Semua rejim di wilayah ini lemah. Mereka tidak bisa menyelesaikan problem-problem rakyat, yang sangat tertekan. Cepat atau lambat gerakan ini akan bangkit kembali di tingkatan yang lebih tinggi.
Perang Dunia?
Krisis program nuklir Korea Utara membuat banyak orang berbicara mengenai perang dunia. Tetapi ini terlalu prematur. Di bawah kondisi hari ini, perang dunia hampir mustahil karena perimbangan kekuatan kelas dalam skala dunia. Kaum imperialis tidak beranjak perang untuk alasan sepele. Kaum borjuasi menggunakan perang untuk menaklukkan pasar dan meraih pengaruh. Tetapi perang sangatlah mahal dan berisiko. Dan dengan senjata nuklir, risiko ini berlipat ribuan kali. Inilah mengapa AS, kekuatan militer yang paling kuat sedunia, tidak mampu menyatakan perang terhadap Korea Utara yang kecil.
Rusia tidak sekuat AS, tetapi ia adalah kekuatan militer yang ampuh. Dan Rusia bahkan lebih kuat daripada imperialisme Inggris, Prancis, atau Jerman, dalam kekuatan militer konvensional ataupun nuklir. Kekuatan Barat tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah Rusia mencaplok Crimea, yang mayoritas orang Rusia. Kekuatan Barat juga tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah Rusia mengintervensi untuk menyelamatkan rejim Assad di Suriah. Kedua kasus ini mengungkapkan limitasi kekuatan imperialisme AS.
Tahun lalu NATO mengirim beberapa ribu tentara ke Polandia sebagai peringatan pada Rusia. Ini seperti lelucon. Rusia membalas dengan menggelar manuver militer paling besar dengan Belarus di perbatasan Polandia. Ini adalah peringatan terhadap NATO. Dari sudut pandang militer, dibandingkan dengan Rusia, kekuatan militer Inggris hari ini hampir tidak signifikasi, begitu juga dengan Prancis dan Jerman.
Di atas segalanya, perimbangan kekuatan kelas dalam skala dunia adalah halangan besar untuk meluncurkan perang besar. Kita harus ingin bahwa sebelum Perang Dunia Kedua dapat terjadi, kelas buruh harus terlebih dahulu mengalami kekalahan telak di Hungaria, Italia, Jerman, dan Spanyol. Tetapi hari ini kekuatan kelas buruh masih utuh. Kelas buruh belum menderita kekalahan serius di negeri-negeri kapitalis maju.
Di AS rakyat pekerja sudah letih dengan petualangan militer. Imperialisme AS terbakar jari-jarinya di Irak dan Afghanistan. Intervensi mereka di sana menumpahkan begitu banyak darah dan menghabiskan banyak uang, tanpa pencapaian sama sekali. Sebagai konsekuensinya, Obama bahkan tidak dapat memerintahkan intervensi militer di Suriah. Dia mencoba melakukan ini, tetapi dia melihat bahwa ini akan memprovokasi perlawanan rakyat. Dia harus mundur. Begitu juga pemerintahan Konservatif Cameron di Inggris.
Tidak akan ada perang dunia di masa mendatang ini, kecuali kalau sebuah rejim totaliter merebut kekuasaan di AS dengan meremukkan kelas buruh AS. Ini akan menandai perubahan kualitatif perimbangan kekuatan kelas. Tetapi dalam masa mendatang yang dekat ini, tidak ada perspektif demikian. Sebaliknya, untuk keseluruhan periode pendulum akan berayun ke kiri.
Trump adalah seorang politisi borjuis reaksioner, tetapi kendati demagogi dari sejumlah aktivis Kiri, dia bukanlah seorang fasis dan tidak berdiri di atas sebuah negara totaliter seperti Hitler. Sebaliknya dia tidak punya kendali atas mesin negara sama sekali. Aparatus negara justru sedang berbenturan dengannya. Dia bahkan tidak memiliki kendali penuh atas Kongres (DPR), walaupun Kongres didominasi oleh Partai Republiken. Pada kenyataannya, kekuasaan Trump sangatlah rapuh. Sang Pemimpin Besar di Rumah Putih kakinya dari tanah liat.
Walaupun perang dunia seperti pada 1914-1918 dan 1939-1945 mustahil di bawah kondisi hari ini, akan selalu ada perang-perang kecil yang sudah cukup mengerikan. Irak adalah perang kecil. Suriah adalah perang kecil. Perang sipil di Kongo memakan korban setidaknya 5 juta orang dan bahkan tidak dimuat di halaman depan koran. Hal semacam ini akan terjadi lagi dan lagi. Sementara menyebarnya terorisme berarti barbarisme ini mulai mempengaruhi Eropa yang “beradab”. Ini yang dimaksud Lenin ketika dia mengatakan bahwa kapitalisme adalah horor tanpa akhir.
Amerika dan Eropa
Yang sesungguhnya mengendalikan Uni Eropa adalah para bankir, birokrat dan kapitalis, dan terutama kapitalisme Jerman. Awalnya UE didominasi oleh Prancis dan Jerman. Kaum borjuasi Prancis bermimpi kalau mereka dapat mendominasi UE dalam ranah politik dan militer, sementara Jerman dapat mendominasi ekonominya. Ini tidak berlangsung lama. Hari ini tidak ada yang dapat membantah kalau kelas penguasa Jermanlah yang mendominasinya sepenuhnya.
Jerman oleh karenanya berbenturan dengan sang pemimpin baru di Gedung Putih. Donald Trump dan Angela Merkel tidak serasi. Ini bukan karena kepribadian mereka. Ini karena slogan elektoral Trump: “Buat Amerika Hebat Kembali.”
Untuk sementara kapitalis Jerman memiliki surplus dagang yang besar. Pada 2016, sekitar $270 miliar, rekor tertinggi. Kita tidak perlu jadi pemenang Nobel dalam ekonomi untuk tahu kalau surplus di satu negeri berarti defisit di negeri lain. Trump setidaknya bisa berhitung dan sama sekali tidak senang dengan angka ini. Dan karena diplomasi bukan talentanya, dia langsung mengatakan ini ke Merkel secara publik.
Trump mengatakan: “Bila Jerman tidak melakukan sesuatu, saya akan memotong impor mobil Jerman ke AS.” Ini adalah ancaman yang berbahaya. Dia dia terus mengikuti jalan ini, ini adalah resep perang dagang. Jerman akan segera membalas, dengan memblokir produk AS. Proteksionisme adalah kebijakan untuk mengekspor pengangguran. Trump mengatakan dia ingin lebih banyak pekerjaan untuk orang Amerika, yang berarti memangkas pekerjaan untuk Jerman, Tiongkok, dan yang lainnya. Inilah akar dari antagonisme antara Washington dan Berlin.
Trump mengunjungi Polandia dan menerima respons yang antusias. Pilihan kunjungannya ini bukanlah kebetulan sama sekali. Relasi antara Polandia dan Jerman telah renggang untuk sejumlah alasan, terutama mengenai masalah kuota imigran. Pada kenyataannya, garis keretakan UE semakin mendalam setiap saat. Negeri-negeri Eropa belakangan ini sering cekcok. Inilah mengapa Trump mengunjungi Polandia, untuk memperdalam kerenggangan antara Jerman dan tetangganya di Timur.
Kunjungan selanjutnya adalah Paris, dan ini juga bukan kebetulan. Trump ingin membentur Prancis dengan Jerman. Macron menyambut Trump dengan bahagia, dan mendorong Amerika untuk menekan Jerman, yang sudah sangat sibuk dengan negosiasi Brexit. Ini menjelaskan mengapa Trump begitu antusias memberikan solidaritasnya dengan London, dengan mengharapkan perjanjian perdagangan di masa depan, yang mungkin iya mungkin tidak akan terealisasi.
Eropa
Para ekonom borjuis cara pandangnya empiris dan impresionistik. Mereka mendeteksi pertumbuhan kecil di Eropa, hanya sekitar satu persen, dan dengan gembiranya mereka memproklamir bahwa krisis Euro telah selesai. Tetapi krisis Euro belumlah selesai. Pada kenyataannya, krisis kapitalisme Eropa semakin mendalam. Kendati sejumlah pertumbuhan kecil, masalah fundamental yang melandasi krisis kapitalisme masih belum selesai.
Para ahli ekonomi IMF menerbitkan laporan yang mengkhawatirkan mengenai kondisi perbankan Eropa. ECB (Bank Sentral Eropa) telah mengucurkan miliaran euro, tetapi ketika krisis tiba, seperti halnya malam mengikuti siang, ini akan mengakibatkan runtuhnya euro dan bahkan mengancam keutuhan UE. Pada 3 Juni 2017, majalah The Economist menulis: “Mata uang [Euro] berubah dari instrumen untuk konvergensi [penyatuan] antar negara menjadi tuas yang memecah belah mereka.” Kalimat ini menunjukkan bagaimana lapisan borjuasi yang pintar memahami apa yang dikatakan kaum Marxis sejak awal.
Krisis imigran memperparah situasi UE yang sudah tidak stabil. Intervensi imperialis di Timur Tengah dan Afrika Utara telah membuka gerbang gelombang imigrasi rakyat jelata yang ingin melarikan diri dari neraka. Krisis imigran ini sangat menekan anggota-anggota UE, terutama negeri-negeri yang paling terekspos oleh kedatangan imigran setiap harinya.
Eropa sangatlah terpecah belah oleh isu ini. Polandia, Hungaria, Slovakia dan Republik Ceko menolak menerima masuk imigran. Masalah ini semakin diperparah oleh migrasi intern al dari negeri-negeri UE yang lebih miskin ke yang lebih kaya, yang pada gilirannya memprovokasi ketegangan bahkan di negeri seperti Jerman, dimana kaum sayap kanan menggunakan masalah imigrasi untuk meraup suara pemilu.
Ini sangatlah kontras dengan situasi setelah 1945, ketika Jerman menyerap influks besar imigran dari Eropa Timur. Pada saat itu kapitalisme sedang tumbuh secara global. Tetapi dalam situasi krisis ekonomi dan stagnasi kekuatan produktif, influks imigran hanya menciptakan kontradiksi baru yang tidak dapat diselesaikan di atas basis kapitalisme. Ini adalah satu lagi faktor ketidakstabilan, yang memperkuat tendensi perpecahan UE.
Brexit
Kecenderungan perpecahan UE juga mengekspresikan dirinya secara dramatik dalam Brexit. Hasil referendum Brexit adalah satu contoh mood kemarahan dan kepahitan yang bergejolak di bawah permukaan di mana-mana. Hasilnya adalah gempa politik.
Para komentator borjuis terkejut ketika kubu Brexit menang. Dan mereka yang terutama paling terkejut adalah para pendukung Brexit itu sendiri. Mereka tidak pernah membayangkan kalau mereka akan menang, dan oleh karenanya tidak punya rencana dan strategi. Bahkan sekarang mereka sama sekali tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mayoritas kaum borjuasi Inggris tidak ingin meninggalkan UE, tetapi terpaksa menerima hasil referendum Brexit, yang akan membawa bencana bagi kapitalisme Inggris dan juga menciptakan masalah serius bagi UE.
Brexit telah menciptakan masalah serius di Irlandia. Perbatasan antara Irlandia Selatan yang mandiri dan Irlandia Utara yang adalah bagiannya Inggris Raya dibuat menjadi tidak relevan dengan terbentuknya Uni Eropa. Dengan Brexit, perbatasan ini akan menjadi nyata kembali, ini akan memiliki pengaruh ekonomi yang buruk bagi Irlandia Selatan dan Utara. Sebagai akibatnya, masalah kebangsaan Irlandia dapat bangkit kembali dengan implikasi yang teramat serius. Para politisi sedang bersusah payah untuk mencapai semacam kesepakatan mengenai masalah yang rumit ini. Apa hasilnya masih belum jelas.
Inggris membayangkan kalau Brexit akan mudah dilaksanakan. Tetapi sejak awal tidak demikian. Bahkan bila Merkel ingin bersikap lunak pada Inggris (yang sama sekali tidak jelas), dia tidak bisa karena ini akan memberi contoh buruk pada negara-negara lain yang juga ingin meninggalkan UE. Kekalahan Merkel dalam pemilu baru-baru ini juga semakin memperumit situasi, dimana partai nasionalis dan anti-UE seperti AfD membuntuti di belakangnya. Semua celoteh mengenai “solidaritas Eropa” segera dilupakan, karena timbulnya antagonisme nasional ke permukaan. Hasil Brexit akan menciptakan masalah besar bagi Inggris dan UE.
Yunani
Di Kapital, Marx menjelaskan bahwa selama masa boom kredit mudah didapatkan, tetapi ketika krisis meledak ini menjadi kebalikannya. Para rentenir memburu Yunani. Tetapi mustahil bagi Yunani untuk bisa membayar apa yang dituntut Berlin dan Brussel. Semua ini memilik konsekuensinya. Ini memecut kebencian jelas dan polarisasi di Yunani dan di semua negeri Eropa Selatan.
Setelah satu dekade penderitaan yang tak tertanggungkan, pengetatan, kemiskinan dan kesengsaraan, apa yang telah diselesaikan di Yunani? Bangsa ini telah terjerembap ke dalam krisis. Kaum muda menganggur dan terpaksa emigrasi, sementara yang tua tunjangan pensiunnya dipotong dan terdorong bunuh diri.
Revolusi tidaklah berlangsung dalam garis lurus. Akan ada pasang naik dan surut dan kita harus siap. Setelah bertahun-tahun gerakan pemogokan, protes dan demo, kelas buruh Yunani letih dan kecewa. Mereka akan mengatakan: “Semua orang mengkhianati kami. Kami percaya pada PASOK, tetapi PASOK mengkhianati kami. Kami percaya pada Tsipras [Pemimpin SYRIZA], dan dia juga mengkhianati kami. Apa lagi yang bisa kami lakukan?” Di pemilu yang mendatang, menurut survei SYRIZA hanya akan mendapat 20% atau kurang, menurun daripada sebelumnya. Partai Komunis Yunani akan naik sedikit, tetapi tidak akan mampu mengisi vakum yang ditinggalkan SYRIZA karena posisinya yang sektarian. Otomatis New Democracy (ND) yang akan menang, dan ini berarti koalisi sayap-kanan di seputar ND. Ini akan menjadi sebuah rejim yang tidak stabil, tetapi akan terdorong untuk meneruskan dan memperdalam serangan terhadap kelas buruh tanpa memiliki otoritas dengan kelas buruh. Di bawah kondisi seperti ini akan ada radikalisasi ke kiri yang baru.
Mood demoralisasi yang ada sekarang tidak akan bertahan selamanya dan memiliki karakter transisional. Krisis begitu dalam sehingga buruh dan kaum muda tidak punya pilihan lain selain kembali berjuang. Ledakan baru yang lebih besar sedang dipersiapkan.
Prancis, kebangkrutan politik Tengahnya Macron
Kapitalisme Prancis sudah dalam krisis jauh sebelum 2009. Tetapi pemilu tahun lalu di Prancis tampaknya memberi kaum borjuasi Eropa sedikit ruang bernapas. Mereka takut Marine Le Pen [pemimpin partai nasionalis sayap kanan Front Nasional] akan menang, seperti Trump di AS. Seperti halnya Trump, Le Pen adalah seorang sauvinis reaksioner. Dia juga menentang Uni Eropa, dan terutama setelah Brexit ini membuat khawatir para politisi di Brussel dan Berlin. Yang sesungguhnya membuat takut kaum borjuasi Prancis adalah melejitnya popularitas Melenchon [politisi Kiri] di survei-survei, sampai pada akhir kampanye pemilu, dan karena dia sudah pasti akan menang melawan Le Pen atau bahkan Fillon di putaran kedua, dan kemungkinan bisa menang melawan Macron.
Kebangkitan Melenchon menunjukkan adanya polarisasi ke kiri dan ke kanan. Jean-LucMelenchon hampir mengalahkan Le Pen, dan dia sudah pasti bisa mengalahkannya kalau saja bukan karena kebodohan kriminal dari para sekte “Trotskis” di Prancis. Kalau suara kedua partai “Trotskis” kecil ini (New Anticapitalist Party dan Lutte Ouvrier) digabungkan dengan suaranya Melenchon, maka Melenchon dan bukannya Le Pen yang akan maju ke putaran dua.
Benturan langsung antara Melenchon versus Macron pada putaran kedua akan mengubah semuanya. Tetapi ini dicegah oleh kaum sektarian ini dengan taktik memecah suara kiri. Mereka bisa saja memulai kampanye mereka dengan program revolusioner, dan lalu mundur untuk memberi suara mereka ke Melenchon. Mereka tidak melakukan ini karena mereka adalah sektarian tipikal yang menaruh kepentingan sekte kecil mereka di atas kepentingan umum kelas buruh Prancis.
Pada akhirnya Macron menang dan kaum borjuasi bisa lega bernapas. Akhirnya kaum ekstrem [kanan dan kiri] dikalahkan dan kaum Moderat menang! Kabar gembira ini menyebar dari Paris ke Berlin, ke Roma, dan bahkan di London mereka membuka botol sampanye. Kaum Tengah telah menang, tetapi apa yang mereka maksud dengan Tengah? Mereka maksud adalah kaum Kanan yang berkedok menutupi watak mereka yang sesungguhnya dan berpura-pura.
Macron naik ke tampuk kekuasaan di atas basis disintegrasi dua partai utama yang sebelumnya meraup mayoritas suara, Partai Sosialis (PS) dan Partai Republiken. Di pemilu ini, kaum Sosialis kalah telak dan kaum Republiken juga kalah, dan tidak maju ke putaran dua pilpres. PS mungkin akan berakhir seperti PASOK di Yunani. Kaum Republiken sayap kanan juga porak-poranda: para pemimpin utamanya telah hengkang dan bergabung dengan Macron; yang lain pecah ke dalam berbagai faksi lainnya.
Partai Komunis juga telah menjadi lebih lemah karena koalisinya dengan PS yang telah terdiskreditkan, dan sekarang telah menjadi elemen marginal dalam perpolitikan Prancis. Di sisi lain, Front Nasional, kendati kalah dalam pemilu, memenangkan 1,3 juta suara lebih banyak dibandingkan pada 2012. Tetapi La France Insoumise, partainya Melenchon, meraup 3 juta suara dan sekarang, bersama-sama dengan serikat buruh, adalah oposisi utama terhadap kebijakan Macron. Di sebuah survei opini pada October, 35% memilih La France Insoumisesebagai partai oposisi utama, 13% memilih Front National dan hanya 2% untuk PS dan Partai Komunis Prancis! Partainya Melenchon sekarang adalah oposisi utama di parlemen dan di jalanan.
Tidak benar kalau Macron memenangkan mayoritas absolut. Mayoritas rakyat, termasuk yang abstain atau golput, tidak memilih Macron! Dan “mayoritas diam” tidak akan diam untuk selamatnya. Tidak butuh waktu lama bagi Macron untuk mengekspos dirinya, karena dia segera mengkonfirmasikan niatnya untuk mengubah UU Perburuhan agar lebih mudah memecat buruh.
Marx mengatakan bahwa Prancis adalah negeri dimana perjuangan kelas selalu diperjuangkan sampai garis finis. Kebenaran dari pernyataan ini akan segera menjadi jelas bagi semua orang. Kita akan saksikan demo-demo besar, pemogokan dan pemogokan umum. Pengulangan 1968 bukan sesuatu yang mustahil, dan ini implisit dalam situasi hari ini.
Italia
Yunani adalah mata rantai terlemah kapitalisme Eropa. Spanyol hanya satu langkah di belakang Yunani. Italia hanya satu langkah di balik Spanyol. Dan Prancis hanya satu langkah di belakang Italia. Perekonomian Italia telah stagnan sejak ledakan ekonomi 2008. Banyak perusahaan kecil dan menengah yang bangkrut dan tidak mampu membayar hutang mereka.
Sistem perbankan Eropa ada dalam kondisi yang carut marut. Perbankan Eropa dibebani hutang, dan hanya mampu bertahan karena ditopang oleh Bank Sentral Eropa (ECB). Situasi seperti ini tidak bisa berlangsung selamanya, karena ECB ditanggung oleh Jerman. Dan Jerman tidak siap membiayai defisit dari negeri-negeri Eropa Selatan lewat kontribusi mereka ke ECB.
Di Italia, ada krisis perbankan besar. Kenyataannya bank-bank di Italia secara efektif sudah bangkrut. Menurut undang-undang UE, pemerintah tidak boleh membailout bank, tetapi Italia adalah pengecualian. Bila perbankan Italia runtuh, ini dapat menyeret seluruh sistem keuangan Eropa. Tetapi bailout ilegal tidak menyelesaikan masalah fundamental yang merudung Italia. Italia ada dalam krisis yang mendalam, tidak hanya dalam ekonomi dan finans, tetapi juga politik.
Kepercayaan terhadap partai-partai politik runtuh. Ini terungkap jelas dalam referendum reforma konstitusi pada Desember 2016, dimana Renzi kalah telak. Masalah yang dihadapi oleh kelas borjuasi Italia adalah mereka tidak memiliki pemerintah yang kuat. Tetapi bagaimana mungkin mereka bisa punya pemerintah yang kuat kalau mereka bahkan tidak memiliki partai yang kuat? Sebelumnya mereka punya partai Demokrasi Kristen, tetapi partai ini sudah habis. Partai Forza Italia yang dipimpin Berlusconi juga sudah lemah. Dan Partai Demokratik, sebuah partai borjuasi yang dibentuk dari merger antara selapisan Partai Komunis lama dengan apa yang tersisa dari Demokrasi Kristen dan organisasi-organisasi borjuis kecil lainnya, dalam fase penurunan.
Ada proses fragmentasi penuh dari kekuatan partai politik “Kiri”, dimana keseluruhan dukungan mereka bahkan tidak mencapai 7 persen dalam survei opini. Di masa lalu, kelas penguasa Italia dapat mengandalkan para pemimpin Partai Komunis Italia untuk menahan kelas buruh. Tetapi karena puluhan tahun degenerasi Stalinis dan serangkaian pengkhianatan terhadap kelas buruh, Partai Komunis Italia yang dulu kuat kini telah hancur sepenuhnya.
Dalam kekosongan seperti ini kita saksikan munculnya Beppe Grillo dan Gerakan Lima Bintangnya. Ini adalah gerakan protes, yang komposisi utamanya adalah borjuis kecil dengan berbagai macam kebijakan yang bingung, dan sejumlah kebijakan mereka bersifat reaksioner. Pada kenyataannya, ini bukan partai sama sekali, dan tidak memiliki struktur. Dan program utamanya adalah menolak Euro. Tetapi karena absennya alternatif Kiri, Gerakan Lima Bintang menarik suara kelas buruh karena slogan anti status quo mereka, yakni “Tendang keluar mereka semua!”
Gerakan Grillo adalah sebuah fenomena yang tidak stabil dan penuh kontradiksi, dan kemungkinan besar tidak akan bertahan lama. Kontradiksi-kontradiksi internalnya akan segera muncul ke permukaan dan gerakan ini akan segera memasuki krisis. Mustahil mengatakan sekarang bagaimana situasi ini akan berkembang tepatnya, tetapi jelas ini bukan situasi yang menguntungkan bagi kelas borjuasi Italia.
Kelas buruh Italia, di lain pihak, memiliki tradisi revolusioner yang luar biasa. Krisis kapitalisme Italia niscaya akan melahirkan ledakan-ledakan baru dan tanpa-preseden seperti Mei 1968 di Prancis atau Musim Gugur Panas di Italia pada 1969. Kalau batalion besar proletar mulai bergerak, seluruh situasi ini akan dengan cepat berubah, dengan munculnya formasi-formasi politik baru dengan karakter yang sangat kiri dan radikal, seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelum dan sesudah 1969.
Spanyol
Kendati pemulihan ekonomi parsial, krisis rejim yang dimulai pada 2008 sama sekali belum terselesaikan. Tahun-tahun krisis ekonomi, tingkat pengangguran massal dan serangan terhadap taraf hidup rakyat, dikombinasikan dengan skandal-skandal korupsi, telah menciptakan krisis legitimasi akut terhadap keseluruhan rejim borjuis demokratik Spanyol. Siklus panjang mobilisasi massa pada 2011-2015 pada akhirnya menemukan ekspresi politiknya dengan lahirnya dan bangkitnya Podemos, yang pada pemilu 2016 meraup 21% suara.
Pemerintahan PP (Partido Popular) yang kanan sangatlah rapuh dan harus mengandalkan kaum nasionalis Basque untuk meraih mayoritas di DPR. Mayoritas ini telah dilemahkan oleh skandal-skandal korupsi. Bila kaum Kiri bersatu, rejim ini sudah pasti akan tumbang. Tetapi para pemimpin Podemos dan Izquierda Unida telah menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk menawarkan alternatif yang serius. Sementara Pedro Sanchez, pemimpin “kiri” PSOE telah menyebrang ke sisi nasionalisme Spanyol yang reaksioner. Sekarang, setelah hasil pemilu Catalan pada 21 Desember, dimana Ciodadanos tampil sebagai partai pertama, kelas penguasa Spanyol semakin mendukung partai sayap kanan baru ini, yang sama reaksionernya dengan PP, tetapi tampil dengan pemimpin-pemimpin baru dan tanpa beban skandal korupsi dan program-program anti-sosial yang telah diakumulasi oleh PP.
Masalah Catalan telah menjadi katalis yang mengungkapkan krisis politik Spanyol. Semua partai Kiri kini pecah dan dalam krisis. Kaum sayap kanan menyebar luas sentimen anti-Catalan yang reaksioner dan nasionalisme Spanyol untuk memobilisasi lapisan rakyat paling terbelakang dan Kiri tidak punya jawaban terhadap ini. Oleh karenanya, Ciudadanos dan PP mungkin akan menang di pemilu mendatang.
Ini harga yang harus dibayar oleh kaum Kiri Spanyol karena pengkhianatan para pemimpin PCE (Partai Komunis Spanyol) dan PSOE (Partai Sosialis Spanyol) empat dekade yang lalu ketika mereka menyetujui Konstitusi 1978 yang reaksioner, yang mempertahankan aparatus negara Franco yang lama, Monarki, dominasi Gereja Katolik Roma dan aparatus penindas negara lama, yang mereka sepuhi dengan “demokrasi”.
Watak brutal negara Spanyol terungkap oleh represi kejam terhadap rakyat Catalonia, yang satu-satunya “kejahatan” mereka adalah keinginan mereka untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Sekarang semua setan lama muncul kembali. Masyarakat Spanyol terpecah seperti 40 tahun yang lalu. Kaum muda dan lapisan kelas buruh yang paling maju memahami watak reaksioner dari Konstitusi 1978 dan siap berjuang melawannya.
Hari ini massa telah menunjukkan semangat perjuangan mereka di jalan-jalan Barcelona. Esok hari gilirannya buruh dan kaum muda Euskadi, Asturia, Seville dan Madrid. Kekalahan dan kemunduran adalah hal yang terelakkan, sebagai konsekuensi dari kebodohan, kepengecutan dan kepicikan dari kepemimpinan yang ada. Tetapi buruh dan kaum muda Spanyol, yang telah berulang kali menunjukkan kemauan mereka untuk berjuang, akan mempelajari pelajaran-pelajaran baru.
Ada banyak kekalahan juga di masa lalu, seperti dua tahun gelap yang menyusul kekalahan Komune Asturian 1934. Tetapi kekalahan hari ini tidaklah sama dengan kekalahan itu. Hari ini kekuatan kelas buruh masih utuh, sementara basis reaksi teramat lemah dibandingkan dulu kala: tidak ada Legiun Moorish, tidak ada kaum tani Carlist yang reaksioner, dan para pelajar yang dulu berbondong-bondong bergabung dengan Falange [sebuah partai Fasis Spanyol pada tahun 1930an] kini secara solid ada di belakang barisan kelas buruh dan Kiri.
Dalam periode revolusioner, kekalahan macam ini adalah pembukaan untuk gejolak yang baru. Dalam aksi, di jalan-jalan, di pabrik-pabrik dan di kampus-kampus, mereka akan menemukan kembali tradisi revolusioner 1931-37 dan tradisi perjuangan melawan kediktatoran Franco. Spanyol dalam periode selanjutnya akan berada di barisan depan perjuangan revolusioner Eropa.
Catalonia
Usaha Catalonia untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri mereka adalah tantangan paling serius terhadap rejim 1978. Ada beragam elemen yang terlibat. Yang terutama adalah kelas penguasa Spanyol yang reaksioner dan terbelakang, beserta negaranya, yang merupakan warisan era Franco. Mereka menganggap setiap usaha yang mempertanyakan kesatuan Spanyol sebagai tantangan terhadap keseluruhan rejim mereka, yang lalu dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain (mengenai Monarki, kebijakan pengetatan, dsb.) Oleh karenanya mereka siap menggunakan seluruh kekuatan mereka untuk menghancurkan usaha menggelar referendum: represi polisi, menyita kotak suara, menutup TPU, membubarkan pemerintahan Catalonia dan menangkapi anggota-anggota pemerintahan Catalonia, dsb.
Di lain pihak, pemerintahan Catalan, yang terdiri dari kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil, telah kehilangan dukungan dari kelas borjuasi Catalan (para bankir dan kapitalis) yang menentang kemerdekaan Catalonia. Para politisi nasionalis ini melihat referendum hanya sebagai cara untuk menekan pemerintahan Madrid dan mendapatkan konsesi, atau setidaknya sebagai cara untuk menekan dan memaksa UE untuk mengintervensi dan mendorong pemerintahan Spanyol untuk mengorganisir sebuah referendum yang disetujui semua pihak. Dalam kasus partai nasionalis borjuis PDeCAT (atau CDC), yang sudah terdiskreditkan karena kebijakan pengetatan sayap-kanan, represi dan skandal korupsi, mereka gunakan referendum secara sinis untuk meraup dukungan agar tetap berkuasa. Partai-partai ini tidak siap menggunakan metode revolusioner untuk bisa memenangkan hak menentukan nasib sendiri.
Mereka semua terpaksa melangkah lebih jauh dari apa yang mereka inginkan karena ledakan gerakan massa, sebuah faktor ketiga yang tidak mereka perkirakan. Pada 20 September, 40 ribu massa turun ke jalan menentang aparat polisi yang melakukan penggeledahan gedung-gedung pemerintah; pada 1 Oktober, ketika ratusan ribu rakyat mengorganisir untuk memastikan agar referendum tetap berlangsung dan 2 juta memberikan suara mereka; dan pada 3 Oktober, ketika jutaan berpartisipasi dalam pemogokan umum menentang represi polisi yang brutal. Massa secara paksa memasuki arena perjuangan dan mulai sadar akan kekuatan mereka sendiri. Ini menaruh pemerintahan Catalonia dalam posisi yang mustahil. Mereka terpaksa mendeklarasikan Republik, tetapi mereka tidak siap melakukan apa yang diperlukan untuk mempertahankan Republik ini: mobilisasi massa di jalan-jalan, okupasi gedung-gedung pemerintah, pemogokan umum, perlawanan terhadap polisi Spanyol. Dalam kata lain, yang dibutuhkan adalah pemberontakan revolusioner. Inilah mengapa mereka ragu, bimbang, dan tidak tegas setelah referendum dan setelah proklamasi republik yang “menggantung” pada 10 Oktober; inilah mengapa mereka terus menyerukan negosiasi dan hampir mengkhianati gerakan pada 25 Oktober; inilah mengapa pada 27 Oktober proklamasi Republik Catalan mereka lembek, dan setelah itu mereka kabur.
Sementara, massa yang berpartisipasi dalam gerakan (selapisan kelas buruh, kaum muda terutama, dan lapisan kelas-menengah dan borjuis-kecil yang adalah tulang punggung gerakan demokratik ini) telah menjadi semakin kritis terhadap pemimpin mereka. Munculnya Komite Pertahanan Republik dan peran yang mereka mainkan pada pemogokan umum 8 November menunjukkan jalan ke depan. Pembentukan Republik Catalan adalah sebuah tuntutan demokratik dasar yang menantang keseluruhan bangunan rejim Spanyol. Kaum Marxis mendukung perjuangan untuk Republik Catalan tetapi kita punya tanggung jawab untuk menjelaskan kalau ini hanya dapat dimenangkan lewat cara revolusioner. Ini membutuhkan kepemimpinan yang berbasis kelas buruh. Terlebih lagi, kita harus memenangkan kaum buruh berbahasa-Spanyol di Catalan, yang hanya bisa terjadi kalau perjuangan Republik ini dihubungkan dengan perjuangan untuk lapangan pekerjaan, perumahan, dan perjuangan menentang pengetatan, dan perjuangan Republik Catalan harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas di seluruh Spanyol dalam melawan rejim 1978. Slogan yang merangkum semua gagasan ini adalah “Republik Sosialis Catalan sebagai percikan untuk revolusi Iberian.”
Pemilu 21 Desember tidak menyelesaikan apapun. Pada kenyataannya, rejim monarkis Spanyol kalah dan para pendukung kemerdekaan mendapatkan mayoritas di parlemen regional dan kemungkinan akan mengendalikan pemerintahan Catalonia. Dalam ranah parlemen, kita kembali lagi ke situasi yang serupa seperti sebelum Referendum 1 Oktober. Dengan pasang naik dan surut, gerakan nasional demokratik akan terus berlanjut. Tugas kaum Marxis adalah mengintervensi secara energetik dan meraih lapisan muda yang paling maju yang sudah menarik kesimpulan-kesimpulan revolusioner.
Inggris: Fenomena Corbyn
Tidak lama yang lalu, Inggris adalah salah satu negeri yang paling stabil di Eropa. Sekarang ia telah menjadi salah satu yang paling tidak stabil, dengan guncangan silih berganti. Di Skotlandia masalah kebangsaan telah sedikit surut setelah kebangkitan Corbyn, tetapi masalah ini belum terselesaikan dan dapat muncul kembali dengan kekuatan yang lebih besar bila ada krisis ekonomi yang baru. Di balik permukaan yang tenang ada perasaan kemarahan, kegeraman dan terutama frustrasi yang bergolak, sebuah kehendak membara untuk mengubah kondisi yang ada, tetapi tidak ada titik referensi yang jelas.
Perubahan kesadaran ini akhirnya terekspresikan dalam kebangkitan luar biasa Jeremy Corbyn. Pada 2015 Jeremy Corbyn terpilih sebagai pemimpin Partai Buruh secara kebetulan, tetapi segera menemui oposisi besar dari sayap Blairite.
Theresa May melihat ini dan menarik kesimpulan. Dia serukan pemilu cepat pada Juni 2017, karena dia begitu yakinnya dapat meraih mayoritas besar dan meremukkan Partai Buruh. Sayap Blairite dalam Partai Buruh diam-diam berharap Partai Buruh kalah telak, yang mereka lihat sebagai satu-satunya cara untuk menyingkirkan Jeremy Corbyn, dan mereka mencoba menyabot kampanye pemilu Partai Buruh.
Semua orang memprediksikan kemenangan besar Partai Konservatif. Tetapi yang kalah justru adalah Partai Konservatif, media massa dan sayap kanan Partai Buruh.
Segera setelah kampanye pemilu dimulai, Jeremy Corbyn menggelar rapat-rapat akbar yang antusias, yang terutama menarik kaum muda. Corbyn mengeluarkan program partai yang paling kiri dalam puluhan tahun terakhir, dan dia segera menyentuh mood kekecewaan masyarakat. Tidak ada yang memprediksikan gempa politik ini.
Ratusan ribu orang, terutama kaum muda, bergabung dengan Partai Buruh. Keanggotaan Partai adalah 180 ribu sebelum Corbyn terpilih. Sekarang keanggotaan telah mencapai 570 ribu, dan ini membuat Partai Buruh menjadi partai terbesar di Eropa. Semua orang dapat melihat bahwa pemenang sesungguhnya dalam pemilu ini adalah Corbyn. Dia menikmati dukungan akar rumput yang luar biasa besar.
Pada konferensi Partai Buruh di September 2017, sayap kanan kalah telak, yang menunjukkan bagaimana sayap kiri telah memenangkan mayoritas dalam ranting-ranting partai. Kendati demikian, anggota parlemen nasional dan munisipal, dan terutama aparatus staf partai ada di bawah kendali sayap kanan. Kelas penguasa dan para agennya tidak akan begitu saja menyerahkan kontrolnya terhadap Partai Buruh, tetapi untuk sementara mereka terpaksa mencampakkan usaha menyingkirkan Corbyn dan harus menunggu waktu yang tepat.
Mood pemberontakan yang ada di bawah permukaan ini sedang mencari penyalurannya. Di Inggris mood ini tersalurkan lewat Corbyn, dan kaum Marxis Inggris harus mengorientasikan kekuatan mereka ke gerakan ini. Tetapi sementara kita mendukung Corbyn dalam melawan sayap kanan, kita juga harus, dengan cara yang positif dan bersahabat, menjelaskan dengan sabar keterbatasan programnya Corbyn dan perlunya sebuah program revolusioner yang menyeluruh untuk transformasi sosialis.
Pada pemilu mendatang, kemungkinan besar Partai Buruh akan menang dan Corbyn akan membentuk pemerintah. Setiap usaha untuk mengimplementasikan reforma yang ada dalam programnya akan disambut dengan penolakan keras dari kelas penguasa dan sabotase aktif dari sayap Blairite. Bagian programnya yang lebih radikal juga akan dijinakkan. Selapisan kelas penguasa punya rencana untuk mengubah peta politik Inggris, dengan membentuk sebuah formasi atau koalisi sentris baru, dengan partisipasi dari “sayap kiri” Partai Konservatif dan sayap kanan Partai Buruh. Ini bukan perspektif jangka pendek, tetapi dapat diluncurkan untuk merobohkan pemerintahan buruh pimpinan Corbyn. Namun dalam periode polarisasi politik dan krisis ekonomi, sebuah partai atau koalisi sentris basisnya sangat kecil. Pengalaman dalam pemerintah dan kemungkinan perpecahan dalam partai akan menyiapkan landasan untuk radikalisasi lebih lanjut dalam barisan Partai Buruh.
Sumber: Militan Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar