|
Partitur
Sekeping Kenangan yang disimpan sebagian penyintas sebagaimana terlihat di
film. Foto Anton Muhajir.
Almarhum Ni Ketut Kariasih linglung ditanya soal
lirik lagu karyanya.
Roro Sawita dengan tekun mencoba agar ia
mengingat, dan harus bicara setengah berteriak persis di kupingnya. “Lagu apa?
Ketimbang menyanyi, sibuk mikir disiksa saja,” perempuan lanjut usia ini terus
menjawab dengan bingung dalam bahasa Bali.
Roro, relawan pendamping para penyintas
kekerasan politik 1965, dan teman-temannya menuntun ingatan Kariasih dengan
sebuah buku tulis penuh tulisan tangan indah berisi syair. Dia menyorongkan
sebuah buku lusuh.
Kariasih yang biasa dipanggil Bu Pasek, dari
nama suaminya, mulai membaca khusyuk. Roman wajahnya berubah. Ada senyum di
sana saat membaca syair dengan kutipan kata setangkai bunga mawar.
Senyum, dan bahkan sesekali tawa, yang sama
saat Sekeping Kenangan, film dokumenter tentang proses pengumpulan
lagu-lagu itu diputar menyebar di Taman Baca Kesiman (TBK) Denpasar akhir Maret
lalu.
Film ini disusun dari rekaman-rekaman amatir
perjumpaan anak-anak muda komunitas Taman 65 di Bali dengan sejumlah korban
pembunuhan massal pada 1965-1966, sejarah kelam bangsa ini.
Sekeping Kenangan adalah sejarah dan jembatan menuju pengungkapan kebenaran. Sejumlah
penyintas (survivor) yang direkam, termasuk Bu Pasek, sudah meninggal saat
kepingan sejarahnya ditayangkan dan ditonton ratusan orang didominasi anak muda
ini.
Lagu dari Penjara
Sebelumnya, hasil menjahit ingatan para korban
ini sudah dirangkum dalam buku dan CD musik pada 2015 bertajuk Prison
Songs. Buku berisi narasi tiap penyintas yang dipenjara di Bali dan lagu
serta syair karya mereka. Sesuatu yang sudah hilang dari ingatan atau sengaja
dilupakan.
Enam lagu dalam album Prison Songs inilah
yang membawa pembaca dan pendengar ke kisah-kisah tragis tahanan politik ini.
Usai penayangan film, ada konser enam lagu karya tapol yang dikumpulkan dan
sebagian diaransemen ulang anak-anak muda Taman 65 ini.
Salah satu syair Kariasih dijadikan
lagu oleh tahanan politik lain, Amirudin Tjiptaprawira aka Pak Atjit
berjudul Di Kala Sepi Mendamba. Oleh Taman 65, Jerinx, personil
band rock Superman Is Dead (SID) diminta menyanyikannya. Kali ini digubah ulang
dengan nada balada lembut bertenaga.
“Laksana candra menjelang purnama menyinari alam
semesta. Duhai juwita rasa kasih mesra kini datang meronta jiwa. Laksana ombak
merindukan pantai bergelora sepanjang masa. Curahan kasih kini tak ternilai tertumpah
padamu jelita.
Mengapa mengapa dikau menjelma di kala sepi
mendamba. Ku tak mengira kerlingan dara membekas sulit kulupa. Aduhai kasih
percikan asmara bila kian kan datang menjelang. Kelana resah menantikan tuan di
kala sepi mendamba.”
Rangkuman
Kisah Kelam
Dalam buku yang menyertai terbitnya album Prison Songs pada 2015 silam, para
aktivis Taman 65 juga membuat catatan untuk tiap lagu.
Ribka Alvania, misalnya, merangkum perjalanan hidup Kariasih
yang kelam.
Pada bulan
Desember 1965, berbarengan dengan dimulainya aksi pembantaian massal di daerah
Pekambingan, Denpasar, Kariasih yang sedang menggendong anak bungsunya yang
masih bayi, ditangkap oleh tentara dan dibawa ke markas Kodim. Siksaan demi
siksaan dideritanya setiap hari ketika proses interogasi berjalan. Tuduhan atas
keterlibatan pembunuhan 7 orang perwira tinggi Angkatan Darat di Jakarta yang
tidak dia ketahui sama sekali terus dikorek oleh para interogator. Dari dalam
tahanan, Kariasih mendapatkan kabar dari anak sulungnya bahwa Pak Pasek, suaminya,
yang ditahan di kantor polisi dipindahkan entah kemana dan tak diketahui lagi
kabarnya, hingga saat ini.
Tak mampu dia
ungkapkan dengan kata-kata akan perasaannya saat itu. Kesedihan, penderitaan,
penyiksaan, bak berlomba-lomba datang menerjang kehidupannya. Kehilangan suami
tercinta, harta benda dibakar dan dirampas, dan terpaksa harus meninggalkan
ketiga buah hatinya. Hampir 6 bulan menjadi tahanan Kodim, Kariasih dan bayinya
dipindahkan ke penjara Pekambingan.
Dikeluarkan
pada bulan Agustus 1966 dengan status tahanan rumah yang mengharuskannya wajib
lapor setiap hari ke kantor Kodim.
Film dokumenter menjelaskan duduk perkara munculnya ide
merajut kisah-kisah penyintas ini. Roro Sawita lama meneliti dan bergaul dengan
sejumlah korban di Bali. “Kita banyak bergaul dengan survivor, sering ngobrol
termasuk lagu-lagu mereka sebelum dan sesudah 65. Selain ingatan tentang
kehilangan masa depan dan diskriminasi,” urai Roro, perempuan peneliti yang
kini mukim di Australia.
Perburuan ingatan pun dimulai sejak 2012, mereka berbagi
peran. Ada yang mewawancarai, mengumpulkan semua penyintas yang berhasil
dikontak, mendekati musisi yang diajak terlibat, dan Made Candra aka Made Mawut
berperan mengolah jadi komposisi lagu termasuk aransemen baru.
Gde Putra, tim Taman 65 lain, merasakan kuatnya emosi dan
komunikasi dalam lagu-lagu yang mereka kumpulkan dari serakan ingatan ini.
“Agar bisa kuat dalam kondisi siksaan di penjara dengan berdendang. Bukan semata alat pelipur lara juga tersimpan data sejarah,” tutur penulis muda ini.
Tim dengan sejumlah anak muda bergairah ini mulai
menerjemahkan karya yang tersimpan di memori mereka ini, memungut serpihan
nada, memadukan lirik untuk jadi puzzle lengkap.
Made Mawut, penyanyi solo genre blues ini menyontohkan
ketika menelusuri lagu Tini dan
Yanti karya Ida Bagus Santosa dari Klungkung, dosen Fakultas
Sastra Universitas Udayana. “Tini dan Yanti” diciptakan untuk mengingat istri
dan anaknya saat mendekam di penjara.
Buku Prison
Songs mengisahkan Tini (sang istri) melahirkan anak perempuan
mereka. Santosa berimajinasi buah hatinya yang baru lahir itu bernama Yanti.
Sebelum pria ini dijemput maut dan hilang tak berjejak, dia menuliskan syair Tini dan Yanti di dinding tembok
penjara. Si pencipta syair tidak pernah bertemu lagi dengan istri dan buah hati
yang dia rindukan setengah mati.
Menurut para eks Tapol, Santosa tak tampak lagi di penjara
sekitar akhir Desember 1965 atau awal Januari 1966.
Syair puisi Santosa ini lalu digubah menjadi lagu oleh
Amirudin (Mister Amir atau Pak Atjit panggilan namanya oleh para tapol). Lelaki
asal Madura yang pernah bertugas sebagai Kepala RRI Kupang dan cakap membuat
nada lagu.
“Tini dan
Yanti, kepergianku buat kehadiran di hari esok yang gemilang. Jangan
kecewa, meski derita menantang, itu adalah mulia. Tiada bingkisan,
hanya kecintaan akan kebebasan mendatang. La historia me absolvera. La
historia me absolvera.”
Dalam konser ini dinyanyikan Rara Sekar, biduan perempuan
muda yang terkenal dengan duo Banda Neira (kini bubar) bersama jurnalis Ananda
Badudu. Keduanya membuat aransemen baru Tini dan
Yanti dari komposisi awal yang dirajut Made Mawut.
“Hanya sedikit yang ingat lirik Tini dan Yanti. Nada dasar belum lengkap, diciptakan bukan dengan alat musik,” Made Mawut mengingat. Untuk menyiasatinya, tim ini mengumpulkan paa survivor informan mereka jadi satu.
Dalam suasana hujan deras di sebuah tempat di Bali, mereka
bersua. Memutar memori, dan diminta menyanyikan sejumlah lagu yang berhasil
dirajut. Hadhi Kusuma, sutradara film Sekeping Kenangan memperlihatkan
bagaimana bahagia dan suka ria membuncah saat para penyintas ini bersua.
Lagu lain adalah Dekon karya
Ketut Putu musisi muda asal Singaraja, Buleleng. Ia menggubah kutipan pidato
Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 di Jakarta, yang berjudul “Deklarasi
Ekonomi” tentang kemandirian ekonomi.
Gunawarma, personil band Nosstress menyanyikan lagu berbahasa
Bali yang banyak dinyanyikan sebelum 1965 ini dengan syahdu. Memberi suasana
sendu pada lirik lagunya yang revolusioner. Memberi kesan jika lagu ini sangat
merakyat ketika itu, suara-suara pekerja keras emoh ditindas.
“Pertama dengar, kakak saya kaget. Kenapa menyanyikan lagu seperti ini,” kata Gunawarma yang lebih akrab disapa Kupit. Ia memulai mendiskusikannya bersama ibunya dan mendapati trauma masa lalu yang mencekam.
Lagu Sekeping
Kenangan karya Amirudin Tjiptaprawira dinyanyikan Dadang S.
Pranoto, personil band Navicula dan Dialog Dini Hari. Saat konser, ia terlihat
masih murung dan mengaku menyanyikan lagu sedih ini untuk sahabatnya Made Indra
yang baru meninggal kecelakaan bersama calon istrinya, Afi. Saat pemutaran film
dokumenter, konser, dan dialog ini panitia menyediakan semacam tugu
penghormatan dengan foto Made-Afi serta kotak donasi untuk upacara ngaben Made.
Pak Amir juga menciptakan Si Buyung yang
dinyanyikan Nyoman Angga, personel Nosstress lainnya.
Made Mawut mengaransemen dan menyanyikan lagu berjudul Latini, disadur dari puisi karya
seorang eksil Agam Wispi. Pria ini terkenal sebagai penyair yang menyuarakan
ketidakberdayaan sebelum dinyatakan sebagai tapol.
Puisinya antara lain “Matinya seorang petani”, “Sahabat”,
“Yang Tak Terbungkam”, “Pulang”, dll terangkum dalam antologi puisi Agam Wispi.
Salah satu puisinya yang terkenal pada masanya yaitu “Latini”, syairnya
dijadikan lagu sehingga mudah diingat oleh masyarakat.
Sebelum konser, tiga penyintas pria berbagi kisah singkat
kehidupannya sebelum dan sesudah dipenjara. Mereka adalah Natar, Jumpung, dan
Jenawi.
Jenawi adalah anak tentara, kini berusia 70 tahun. “Saya apresiasi apa yang dibuat anak muda ini,” ujarnya. Ia ikut meneriakkan Barisan Sukarno dengan ikut aksi, buat buletin, dan pamflet menyuarakan anti imperialisme.
Ia ditangkap pada 1968 di sekolah saat SMA dan dituduh
subversif dipenjara enam tahun, lalu ditambah empat tahun lagi. “Bagaimana
pertahankan diri di penjara? Kami punya keyakinan sejarah akan membebaskan,
termasuk bertemu orang tua,” kisahnya.
Ia mengingat lagu Dekon sangat
terkenal di Bali sebelum peristiwa pembunuhan dan penangkapan massal dampak
peristiwa yang disebut pemberontakan PKI itu.
“Dekon itu bagus, agar kemiskinan hilang dengan kemandirian ekonomi karena banyak tikus koruptor,” urainya.
Lagu lain yang juga dihapal para tapol saat dipenjara di
Pekambingan, Denpasar adalah Si Buyung.
Ketika sepi melanda, mereka berteriak menembus sel agar ada yang mulai menyanyi
lalu dilanjutkan tapol-tapol lain jadi koor. Koor kesedihan adalah hiburan.
Testimoni di depan sekitar 500 penonton didominasi anak
muda ini membawa keheningan, khusyuk mendengar kisah yang sangat jarang bisa
disampaikan para korban, saksi hidup ini. Barangkali sebagian pernah mengalami
masa saat rezim Suharto mewajibkan pelajar berbondong ke bioskop menonton film
G30SPKI untuk cuci otak sejarah versi penguasa. Film yang memancing amarah
dengan adegan-adegan penyiksaan, dan melanggar hak anak karena tak sesuai
psikologis mereka.
“Melalui lagu dan dibawakan penyanyi berkualitas adalah strategi untuk ruang dialog karena penguasa menilai musisi dan musik ini kan apolitis,” ujar Gde Putra. Namun, stereotipe ini yang dimanfaatkan untuk mengajak makin banyak anak muda meniti jembatan sejarah yang direkayasa Orde Baru.
Film Sekeping Kenangan sejarah orang biasa yang dipenjara, sejarah bukan hanya milik negara. “Saya anak 90an, selama ini sejarah dikuasai pemenang. Saya perlahan menggali informasi dan menyadari saya pun korban kekejaman peristiwa 65 ini,” ungkap Nyoman Angga, personil band Nosstress.
Film dan konser ini juga sebagai penghormatan terakhir
untuk penyintas yang terlibat dan sudah meninggal saat film ditayangkan yakni
Santa, Prayitno, Badra, bu Pasek, dan lainnya. Suasana kekelaman masa lalu
makin hadir dengan visualisasi kuat karya-karya ilustrasi dari street artist
dan seniman grafis berpengaruh Bali seperti WD, Bayak, Slinat, dan Alit Ambara.
Konser lagu-lagu mereka yang dirilis dalam buku dan CD
berjudul Prison Songs ini seperti upaya
rekonsiliasi damai yang hingga kini tak serius dilanjutkan pemerintah. Forgive but not Forget. [b]
*Sebelumnya sudah dimuat di koran dan online The Jakarta Post
Luh De Suriyani, Ibu dua anak lelaki,
tinggal di pinggiran Denpasar Utara. Anak dagang soto karangasem ini alumni
Pers Mahasiswa Akademika dan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Pernah jadi
pemimpin redaksi media advokasi HIV/AIDS dan narkoba Kulkul. Sambil mengasuh Bani
dan Satori, juga menulis lepas untuk sejumlah media seperti Bali Buzz dan
portal Mongabay.
BaleBengong
0 komentar:
Posting Komentar