Tuesday, 25 December 2012
PENERJEMAH enam karya Pramoedya Ananta Toer asal Australia, Max Lane, menjadi dosen tamu selama lima pertemuan untuk mata kuliah Hubungan Internasional dan Politik Indonesia di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Hari ini, 11 Desember 2012, adalah kuliah terakhir dengan tema Papua. Empat hari sebelumnya berturut-turut membahas sejarah politik Indonesia, (2) politik Indonesia pra-Orba, 1960-1965, (3) politik Orba, dan (4) Indonesia di Timor Leste. Bertempat di ruang Ki Hadjar Dewantara, FIS, semua kuliah disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Pada penutupan kuliah, Lane menyampaikan kesan positifnya terhadap mahasiwa peserta kuliah. Antara memberi kuliah di Indonesia—di UGM, UI, Universitas Udayana, dan kali ini UNY—dan di Australia, ujarnya, respons mahasiswa jauh berbeda. Berkebalikan dengan di Australia, mahasiswa di Indonesia acap berebut kesempatan di sesi tanya jawab.
“Di Australia, mahasiswa apatis terhadap politik. Berbeda dengan mahasiswa 10 tahun yang lalu,” ujarnya.
Usai kuliah yang berlangsung dari pukul 9 hingga 11 itu, kami menemui beliau di kantor Jurusan Pendidikan Sejarah. Sempat mengira ia akan lelah berbicara, ternyata Max Lane murah senyum dan tak ragu bercerita panjang.
Negara tanpa Sastra
“Satu-satunya negara modern di dunia yang tidak mengajarkan sastra di SMP dan SMA adalah Indonesia,” ia membuka dialog.
Kemungkinan kondisi itu terjadi sejak tahun 70-an, setelah Ali Moertopo, kolonel pengomando Operasi Khusus di Irian Barat yang kelak menjadi Menteri Penerangan, merilis esai “yang buruk sekali,” menurut Max Lane. Esai tersebut menerjemahkan kebudayaan Indonesia sebagai gabungan dari kebudayaan etnik. “Padahal itu kebudayaan pra-Indonesia,” tambahnya.
Sejak itu sastra tak lagi dianggap penting. Padahal, terang Lane, “Pengalaman bersama suatu bangsa hanya diwariskan lewat sastra.” Jika sejak sekolah warga negara tak dikenalkan dengan sastra terbaik di negaranya, hasilnya adalah orang-orang tanpa minat baca serta tak terwariskannya pengalaman berbangsa.
“Saya membuat fan page di Facebook yang mengampanyekan sastra sebagai pelajaran wajib di SMP dan SMA Indonesia.” Sayangnya, ia lupa nama fan page itu.
Pertemuannya dengan Pramoedya berawal ketika ia bekerja untuk Kedutaan Australia di Jakarta, setahun setelah Pram bebas.
“Tahun 80 saya lihat naskahnya (Tetralogi Buru). Ini luar biasa bagus, harus bisa dibaca oleh orang di luar (Indonesia).”
Pada akhirnya, Lane menerjemahkan Tetralogi Buru plus Hoakiau di Indonesia dan Arok Dedes. Pertama kali keluar di tahun 83, Lane bilang, kini This Earth of Mankind—terjemahan Bumi Manusia, sudah dicetak untuk ke-23 kalinya oleh penerbit Penguin di Amerika Serikat. “Cetak terus, tidak pernah out of print.” Di situs Amazon.com, buku tersebut dihargai 10 dolar 88 sen, setara dengan Rp105.000.
Kabarnya, karena aktivitasnya dengan karya-karya Pram, ia “disingkirkan” dengan halus dari Kedutaan. Lane kemudian menjadi koordinator Action in Solidarity with Indonesia and East Timor (ASIET) yang memperjuangkan demokratisasi di Timor Leste.
Apa Pentingnya Tetralogi?
Lane mengisahkan bahwa karya-karya Pram dipelajari di SMA dan kampus-kampus di Amerika Serikat. Hal serupa juga ditemui di Filipina, Malaysia, dan negara-negara lain, bahkan di Singapura yang terkenal konservatif. Hanya di Indonesia, karya tersebut tak singgah di sekolah. Mengapa karya Pram, terutama Tetralogi, dianggap sedemikian penting?
Menurut Lane, nilai penting tersebut ditera dalam dua aras. Pertama, dari segi penceritaan, alurnya sangat asyik. “Ketegangannya; karakter-karakternya; sangat mengikat pembaca. Sebagai sastra bercerita, (Tetralogi) sangat sukses.”
Kedua, Tetralogi membuka pengertian terhadap sejarah asal-usul manusia Indonesia. Serial ini oleh banyak orang disebut sebagai pembicaraan mengenai kebangkitan nasional. “Namun tak ada satu pun kata Indonesia di sana,” kata Lane. Alasannya, sebab di masa hidup Tirto Adhi Soerjo maupun Kartini, Indonesia—sebagai negara—tak pernah terbayangkan. Lewat Tetralogi, Pram seperti mengatakan, “Kamu harus sadar, Indonesia adalah ciptaan, kreasi, bukan warisan atau sesuatu yang jatuh dari langit,” jelas Lane. Pram menyadarkan bahwa Indonesia diciptakan sendiri oleh manusia Indonesia.
Adanya pembacaan tersirat, atau “pesan rahasia”, yang diselipkan dalam karya. Hal inilah yang membuat Lane menganggap sebagai sejarawan terbaik Indonesia.
Lainnya: dari apa yang dilakukan Minke dan Ontosoroh, terbaca alasan yang mendorong terbentuknya Indonesia. “Indonesia tercipta oleh usaha melawan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Lane. Atau dengan kata lain, keinginan mendapatkan keadilan.
Dalam kuliah bertopik Timor Leste dan Papua, Lane banyak memaparkan bukti-bukti kejahatan HAM yang dilakukan tentara Indonesia pada warga sipil setempat. Keadilan yang melatarbelakangi munculnya sebuah “komunitas imajiner”—dalam bahasa Ben Anderson—bernama Indonesia, justru dilangkahi sendiri di kemudian hari.
Sejarah yang “terbaca” dalam sastra semacam ini membuat pelajaran sastra penting. “Apa kebudayaan Indonesia yang sejati?” tanyanya. Orang Indonesia menganggap tari dan batik, misalnya, sebagai kebudayaan Indonesia, yang oleh Lane disebut sebagai kebudayaan pra-Indonesia. Sastra Indonesia dalam wujud roman, syair, drama, esai, cerpen yang ditulis dalam bahasa Indonesialah yang dapat disebut sebagai kebudayaan Indonesia.
Ia kemudian mengajukan pertanyaan yang kami tak bisa jawab. “Apa pengaruhnya jika sastra terbaik Indonesia diberikan sejak umur 12 tahun (usia SMP)?” Sastra yang ia maksud tak terbatas cakrawalanya. Kiri, kanan, religius, surealis… semuanya.
Kami balas bertanya, kali ini ringan sifatnya. “Dari empat buku Tetralogi, mana yang jadi favorit Anda?”
Ia jawab sambil tertawa, “Tergantung mood.” Ia tak sebut satu judul. Hanya saja ada bagian-bagian tertentu yang memesonakannya. Pertama, adegan dalam Rumah Kaca ketika mata-mata Pangemanann menemukan tiga naskah (yang dalam cerita itu merupakan karya) Minke yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah—tiga karya Pram sebelum Rumah Kaca.
Ia jawab sambil tertawa, “Tergantung mood.” Ia tak sebut satu judul. Hanya saja ada bagian-bagian tertentu yang memesonakannya. Pertama, adegan dalam Rumah Kaca ketika mata-mata Pangemanann menemukan tiga naskah (yang dalam cerita itu merupakan karya) Minke yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah—tiga karya Pram sebelum Rumah Kaca.
Kedua, posisi Pangemanann yang menganalisis tulisan-tulisan Minke.
“Padahal dua-duanya ciptaan Pram,” imbuh Lane. (Prima SW, Jihan RI)Sumber: EkspresiOnLine
0 komentar:
Posting Komentar