SEJAK awal kemerdekaan, pemerintah berupaya merumuskan UU agraria baru untuk mengganti UU agraria kolonial. Pada 1948 pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogya. Namun, gejolak politik membuat upaya itu selalu kandas. Panitia agraria pun turut berganti-ganti: Panitia Agraria Jakarta 1952, Panitia Suwahyo 1956, Panitia Sunaryo 1958, dan Rancangan Sadjarwo 1960.
Setelah Peristiwa Tanjung Morawa, pemerintah mengeluarkan UU Darurat No 8 tahun 1954 tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat. Pendudukan lahan tak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pemerintah akan berupaya menyelesaikannya melalui pemberian hak dan perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa.
Pada 1957, karena Belanda terus mengulur penyelesaian Irian Barat, Indonesia secara sepihak membatalkan perjanjian KMB. Hal ini kemudian diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing. “Entah karena pertimbangan apa, hampir semua perusahaan asing yang diambil-alih itu dipimpin oleh militer. Inilah awal mula dari masuknya peranan tentara ke dalam ekonomi,” tulis Gunawan Wiradi.
Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Tanah partikelir, kata Arsyad, merupakan tanah yang oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), yakni berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. “Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara,” ujar Arsyad. Dengan UU tersebut hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara.
Upaya transfer tanah dari elite ke rakyat sebagai konsekuensi dari penghapusan tanah-tanah partikelir, dan sebelumnya penghapusan desa perdikan, dilakukan dengan ganti rugi, sebagaimana ganti rugi yang diberikan pada upaya nasionalisasi perkebunan-perkebunan milik orang Eropa pada 1958. “Artinya reforma agraria dipandu oleh negara dengan skenario ganti-rugi untuk meminimalisasi konflik,” tulis Nashih Luthfi.
Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo, kerjasama Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada membuahkan rancangan UU agraria. Melalui perdebatan politis dan kompromi, RUU itu disetujui DPR-GR pada 24 September 1960 sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA).
“UU Pokok Agraria menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial,” kata Arsyad. “Prinsipnya adalah tanah untuk rakyat.”
UUPA meletakkan landasan hukum berkenaan dengan distribusi penggunaan tanah yang dianggap monumental sekaligus revolusioner. UUPA antara lain mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Tanggal ditetapkannya UUPA, yakni 24 September, kemudian dijadikan Hari Tani –rezim Soeharto menggantinya sebagai Hari Ulang Tahun UUPA, menganggapnya hanya sebagai peristiwa di masa lalu.
Dengan landasan UUPA, dimulailah program reforma agraria. Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih atau melebihi batas maksimum pemilikan yang selanjutnya dibagikan kepada petani tak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH).
Tapi pelaksanaan ketiga program tersebut terhambat. Alasan umum, menurut Margo L. Lyon dalam “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa”, adalah administrasi yang buruk, korupsi, serta oposisi dari pihak tuan-tuan tanah dan organisasi keagamaan. Karena pelaksanaan landreform yang lamban, PKI dan BTI mengorganisir program-program gerakan petani untuk melaksanakan UUPA atau sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan provokatif atau hambatan dari tuan tanah atau pemilik perkebunan.
Terjadilah apa yang dikenal dengan aksi sepihak. “Sebenarnya, hampir seluruh gerakan kedua belah pihak dapat didefinisikan sebagai aksi sepihak karena sebagian besar diadakan tanpa menghiraukan prosedur normal,” tulis Margo, termuat di Dua Abad Penguasaan Tanah.
Salah satu sengketa agraria yang mencuat pada masa itu adalah Peristiwa Jengkol, terjadi di Jember dan Kediri pada November 1961. Para petani, dengan dukungan BTI, protes dan menolak pengosongan tanah yang dilakukan Perusahaan Perkebunan Negara-Baru. Para petani diusir dengan cara mentraktor tanah itu. 38 orang tewas. Aksi sepihak menjadi isu yang didiskusikan di tingkat nasional. Ia juga jadi bahan perdebatan sengit antara Njoto dari Harian Rakjat dan BM Diah dari harian Merdeka.
Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah UU No 21 tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform untuk memberi sanksi mereka yang menolak untuk bekerjasama dalam pelaksanaan UUPBH.
“Pada 1965 terjadi huru-hara politik di tingkat nasional dan pembantaian rakyat di pedesaan-pedesaan, sesuatu yang kemudian membuat semua usaha mewujudkan landreform itu berhenti,” tulis Nashih Luthfi.
Pemerintahan Soeharto menjungkibalikkan proses reforma agraria dan mencap segala kegiatan yang berkaitan dengan UUPA sebagai hantu komunis. Pada 1967 lahir UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan, yang bertentangan dengan UUPA. “Jiwa UU Agraria kolonial 1870 seolah menjelma kembali pada periode ini yang kemudian menimbulkan banyak konflik agraria sehingga semakin memperkelam sejarah agraria di Indonesia,” tulis Gunawan Wiradi.
Menurut Arsyad, karena ideologi Orde Baru adalah pembangunan, tanah kemudian dipersepsikan sebagai kepentingan umum dalam kerangka pembangunan. Saat itulah terjadi banyak gejolak perampasan tanah. Kasus Tapos pada 1971, misalnya, di mana PT Rejo Sari Bumi (RSB) yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak-anak Soeharto merampas lahan petani Desa Cibedug dan desa lain di sekitarnya untuk mewujudkan obsesi Soeharto memiliki ranch.
Orde Baru dengan mudah merampas tanah-tanah rakyat, dengan ganti rugi maupun tidak. Penguasa mendasarkan kepada hukum positif, sedangkan rakyat pada hukum adat atau keterangan pengelolaan tanah sementara.
Menurut Iskandar, ini buah dari kelemahan pemerintah yang tak melakukan penyuluhan kepada rakyat tentang arti hak kepemilikan tanah. Bagi penduduk, girik atau letter C sudah cukup menjadi bukti hak milik, padahal ketentuannya hanya diberikan hak untuk mengusahakan. Untuk menjadi hak milik, mereka harus mengurus ke Departemen Agraria untuk mendapatkan sertifikat. “Karena itulah waktu Orde Baru banyak tanah mudah digusur karena penduduk hanya memiliki letter C,” ujar Iskandar.
UUPA sendiri, sejak 1965 hingga sekarang, “dipeti-eskan”. Berbagai kebijakan negara yang lahir kemudian bertentangan dengannya, sehingga konflik agraria semakin mencuat. Data konflik agraria yang diungkap Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 1970-2001 tercatat 1.753 kasus, yang mencakup luas tanah 10.892.203 hektar dan mengakibatkan setidaknya 1.189.482 keluarga menjadi korban. Pergantian rezim ke era reformasi tak mengurangi konflik agraria yang menimbulkan korban jiwa di pihak petani.
Saat ini, muncul wacana untuk merevisi UUPA dengan anggapan UUPA sebagai sumber konflik. Padahal, persoalannya, justru konflik timbul karena UUPA tak pernah dijalankan.
0 komentar:
Posting Komentar