HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Buku. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Februari 2020

Catatan Testimoni Penerjemahan Petani dan Seni Bertani

12 Februari pukul 11.09 | Ciptaning Larastiti 


Sebuah kebanggaan bagi saya ikut terlibat dalam penerjemahan Seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria. Proses penerjemahannya sendiri berlangsung selama 4-5 bulan. Namun, butuh waktu hampir empat tahun untuk memastikan buku ini nyaman dibaca dan layak diterbitkan.
Di dalamnya ada kerja keras banyak pihak, terutama penyunting ahli: Pak Ben dan Mba Laksmi dan tim editor INSISTPress ada Udin, Bang Hadi, Bang Marsen.

Bagi saya, penerjemahan Buku Petani dan Seni Bertani merupakan proses belajar yang berharga. Mau tidak mau, saya dituntut memperhatikan detail kata per kata, sembari memahami konsep yang dinarasikan Van der Ploeg. Pada proses ini, saya dibantu pengalaman penelitian sebelumnya. Saat menerangkan konsep “aliran nilai”, Van der Ploeg menggunakan ilustrasi tentang lumbung Orang Balanta. Di saat bersamaan, ingatan saya seperti ditarik kembali pada leuit Kasepuhan Sinar Resmi Sukabumi.

Dari sini saya belajar, wawasan terhadap topik yang relevan menjadi syarat penting dalam menerjemahkan buku, terutama buku sosial humaniora. Jika tidak, kita bisa kesulitan mendalami materi teks aslinya.
Sepanjang proses ini, saya merefleksikan dua tantangan penerjemahan. Pertama adalah, “menjaga agar gaya bahasa penulis sesuai teks asli” sekaligus “menyampaikan gagasan penulis secara lengkap ke dalam bahasa indonesia.” Kerja ini butuh pemindaian yang berulang-ulang, tujuannya untuk meminimalisir pengaruh dari gaya bahasa saya sendiri.

Di dalam teks aslinya, Van der Ploeg sering menggunakan kalimat panjang, sementara saya lebih nyaman menggunakan kalimat pendek. Kondisi ini memang menyulitkan di awal, meski kemudian bisa diatasi.
Kedua adalah mencari padanan yang tepat untuk konsep-konsep penting. Proses ini tidak hanya melibatkan saya sebagai penerjemah, tetapi juga penyunting ahli dan tim editor INSIST Press. Konsep drudgery misalnya, setelah diskusi beberapa kali disepakati lah jerih payah sebagai padanan kata yang tepat. Buku ini memang tidak mengkhianati prosesnya yang panjang. Muatan kata per kata-nya, saya harap bisa sedekat mungkin dengan teks aslinya.

Hal menarik yang perlu saya promosikan tentang buku ini adalah optimismenya terhadap pertanian petani. Di tengah pembahasan ekonomi politik agraria yang membuat kita pesimis, buku ini menawarkan nuansa berbeda. Di dalam konteks Indonesia, buku ini membuka mata saya, “perjuangan keadilan agraria melalui UU Pokok Agraria dan Perjanjian Bagi Hasil 1960 berakar dari tradisi Chayanovian.”

Kedua perundangan ini secara khusus melindungi pertanian petani keluarga: (a) mengusahakan struktur penguasaan tanah yang adil dengan membagi tanah guntai kepada penggarap, (b) dan, mengatur usaha tani agar terhindar dari sistem ijon. Menurut Selo Soemardjan, idealnya, penggarap menerima separuh sampai dua per tiga dari hasil panen.

Hari ini, kita seperti mundur terlalu jauh. Pada 1952, Muchamad Tauchid pernah menulis, “di masa kolonial, 0,5% penduduk Eropa menguasai 60% dari total lahan Hindia Belanda.” Dan hari ini, angka itu tidak jauh berubah. Berdasarkan indeks ketimpangan lahan Sensus Pertanian 2013, 1% dari total populasi Indonesia menguasai 68% sumber daya lahan.

 Penguasaan lahan skala besar ini tidak dimaksudkan untuk memberi makan makhluk hidup di dunia, tetapi untuk memenuhi demand pasar komoditas ekspor seperti industri kelapa sawit. Padahal, resiko perusakan ekologisnya sangat besar dan mampu menghilangkan kemungkinan petani melakukan reproduksi pertanian, sebagaimana diidealkan Van der Ploeg dalam repeasantisasi.

Di tengah ketimpangan ini, puluhan tahun pasca Tragedi 1965, gerakan petani mengalami depolitisasi. Mereka dipaksa jinak untuk menerima modernisasi pertanian, maupun perampasan lahan pertanian produktif atas nama pembangunan. Sementara, perjuangan petani merebut kembali otonominya selalu disikapi dengan kekerasan aparat dan milisi sipil dengan beragam terror seperti tuduhan komunis. Lantas, sejauh mana kita mampu merawat optimisme seperti isi dari buku Van der Ploeg ini? Mari kita diskusikan hari ini. Terimakasih, selamat berdiskusi.

Minggu, 18 Agustus 2019

Jejak Mao dalam Kitab Gerilya TNI 

18 August 2019 - Windu Jusuf

Ilustrasi oleh Deadnauval

SEBUAH tesis setebal 156 halaman diuji pada 1 Juni 2001 dan dinyatakan lulus. Penulisnya, Michael Boden, kembali memperoleh titel master setelah mendapat yang pertama dari Vanderbilt University pada 1997.

Penelitian Boden menguak kiprah Friedrich Engels sebagai pemikir dan praktisi militer. Dalam bab pembuka, ia memaparkan betapa besarnya jarak antara Engels dan kolaboratornya, Karl Marx, ketika membicarakan perang. Engels selalu menapak di bumi. Sementara Marx selalu melontarkan “argumen khas debat kusir yang sama sekali tak menyentuh pertimbangan rasional militer”.

Ketika membahas Pertempuran WrzeÅ›nia, misalnya, Marx hanya mampu merutuki kelicikan balatentara Prusia: 
 “Serdadu Prusia kabur ke tempat di mana mereka bisa memuntahkan pelor, granat berisi 150 biji gotri, dan peluru meriam, padahal yang mereka hadapi cuma tombak dan sabit yang niscaya tak efektif dipakai dari jauh”.
Komentar Boden: “Menggunakan persenjataan semaksimal mungkin bukan hal baru dalam perang, tapi Marx sekadar mengutuknya sebagai ‘pengkhianatan Prusia’ terhadap rakyat Polandia yang tak berdaya.”
Friedrich Engels memang dikenal punya minat serius pada dunia kemiliteran. Ketika Jerman Timur masih berdiri, namanya diabadikan sebagai lembaga riset dan ilmu kemiliteran Militarakademie Friedrich Engels. “Pak Jenderal”, demikian dia dipanggil kawan-kawan dekatnya, juga pernah menjadi ajudan Brigjen August Willich selama Revolusi 1848-49.

Sepanjang Perang Sipil Amerika (1861-1865), Engels memantau pergerakan pasukan Union dari benua seberang, mempelajari jalur rel kereta api, kontur daratan, aliran sungai, dan daerah-daerah strategis yang perlu dimenangkan. Hanya sekali ia berkunjung ke Amerika, itu pun puluhan tahun setelah Perang Sipil usai. Namun, saran-saran Engels rupanya pernah dipakai oleh Ulysses S. Grant untuk memukul pasukan Konfederasi yang pro-perbudakan. Kelak, Grant, seorang jenderal Union, terpilih sebagai presiden AS.

Riset Boden memperlihatkan bagaimana Engels menganalisis tiap perang besar dan kecil sedetil-detilnya dari berbagai aspek, mulai dari jalur logistik, taktik dan kedisiplinan pasukan, hingga jenis-jenis meriam beserta pelurunya. Dengan sabar dia menjelaskan kaitan antara tulisan-tulisan militer bapak sosialisme ilmiah itu dengan tradisi perjuangan bersenjata sayap kiri abad ke-20.

Tapi Boden bukan sejarawan, apalagi sejarawan kiri. Dia juga bukan orang sipil. Selama Perang Dingin, Boden dan negerinya adalah musuh bebuyutan Uni Soviet, sebuah rezim yang fondasinya terinspirasi oleh kritik-kritik Marx dan Engels terhadap kapitalisme.

Boden menjalani pelatihan di Akademi Militer Amerika Serikat ketika Gorbachev memproklamirkan Glasnost dan Perestroika. Sempat dikirim ke Perang Teluk, pada pertengahan 2000-an ia diposkan di Combat Maneuver Training Center, Hohenfels, Jerman.

Boden berpangkat mayor ketika mengerjakan tesisnya di Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas. Pada 2013, penerbit kecil asal Inggris Pickle Partners Publishing merilis karya sang mayor sebagai buku bertajuk The First Red Clausewitz: Friedrich Engels and Early Socialist Military Theory, 1848-1870.

Adakah yang aneh ketika seorang prajurit Amerika menaruh minat pada Engels?

Tidak, sama sekali tidak. Dalam konteks Perang Dingin, mempelajari tulisan-tulisan militer Engels sama artinya dengan menelaah tradisi militer sayap kiri dari Joseph Weydemeyer, Mao, Tito, Che Guevara, hingga Vo Nguyen Giap—dengan kata lain, mempelajari cara berpikir lawan.

Orang-orang seperti Boden rupanya cukup baik mengerjakan pekerjaan rumah itu dengan dingin, tanpa prasangka-prasangka ideologis yang riskan membuat mereka melebih-lebihkan atau meremehkan kekuatan lawan.

***

Setidaknya ada tiga hal yang langsung terbayang ketika membicarakan hubungan antara Marx (atau Engels) dan militer Indonesia beberapa tahun terakhir—dua di antaranya adalah lelucon.

Yang pertama adalah penyitaan buku-buku “kiri” oleh tentara dan polisi. Kedua, dokumen berjudul “Analisis Ancaman Komunis Gaya Baru di Indonesia” (2017) yang memasukkan Hitler dan Mussolini dalam bab “Diktator Sosialis-Komunis Dunia”.
Ketiga, ruwetnya jalan pikiran Kiki Syahnakri ketika melacak asal-usul komunisme dan ateisme hingga ke filsafat Yunani kuno di depan awak pers Jakarta pada 2016.

Ada masanya, jauh sebelum hari-hari ini, ketika pikiran tentara tak sesemrawut Kiki Syahnakri atau Gatot Nurmantyo saat berhadapan dengan Marx dan para penafsirnya.

Salah satu tentara yang pikirannya tak sesemrawut itu adalah A.H. Nasution, jenderal besar kebanggaan TNI dan perumus Dwifungsi ABRI, sebuah doktrin yang menempatkan tentara di dua lapangan—militer dan politik—dan terbukti membawa malapetaka sepanjang 32 tahun Orde Baru.

 Buku Nasution yang terbit pada 1953, Pokok-pokok Gerilya: dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Lalu dan Yang Akan Datang, berisi panduan dasar gerilya sekaligus operasi anti-gerilya. Bibit-bibit dwifungsi itu sudah terlihat dalam penentangannya terhadap konsep tentara sebagai alat negara.
Tentara, tegas Nasution, “bukanlah alat pemerintah yang buta dan bisu politik. Ia seharusnya pelopor revolusi, demikian ideal kita di masa-masa yang lalu dan di masa-masa yang akan datang. Ia harus sadar bahwa revolusi belum selesai.” 
Setahun sebelum Pokok-Pokok Gerilya terbit, Nasution dicopot dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat setelah mengarahkan moncong meriam ke Istana. Ia menuntut Sukarno membubarkan parlemen yang dinilainya terlalu banyak mencampuri urusan internal tentara.

Satu hal yang krusial dalam Pokok-Pokok Gerilya adalah penyebutan tentara gerilya  sebagai “prajurit rakyat” atau “tentara rakyat” yang telah lama dipakai sebagai slogan TNI.

Gerilya, tulis A.H. Nasution, “adalah prajurit rakyat yang sejati”. Dalam Pokok-pokok Gerilya, jenderal kebanggaan TNI itu menyatakan gerilya hanya bisa hidup bersama rakyat, serta memperoleh “pemeliharaan dan perlindungan rakyat” sekaligus, di sisi lain, menjadi “pelopor” atau “ujung tombak” revolusi.

Untuk memaparkan gambaran ideal tentang hubungan antara pasukan gerilya dan rakyat, Nasution, seorang anti-komunis tulen, menggunakan analogi air dan ikan dari Mao Tse-tung. Bahkan salah satu bagian dari Pokok-Pokok Gerilya dipersembahkan secara khusus untuk membahas saripati pengalaman Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok melawan Chiang Kai Sek.

Tentu ada problem di sini. Kecuali sebagai proyeksi semata, klaim atau aspirasi TNI untuk menjadi “tentara rakyat” terbentur oleh fakta bahwa sebagian besar personelnya pada 1953 berasal dari tentara kerajaan Belanda (KNIL) atau didikan Jepang via PETA.
“Rakyat adalah air dan pasukan gerilya adalah ikannya”, tulis Mao dalam On Guerilla War (1937).
 “Kok, bisa-bisanya dibilang tak mampu hidup bersama? Hanya pasukan tak disiplin yang memusuhi rakyat dan akan mati di luar habitatnya itu.”
Untuk itu pula Nasution paham bahwa perang anti-gerilya bertujuan pokok  “memisahkan rakyat dari gerilya”—sebuah prinsip yang diamalkan TNI dengan cara menggebuk  pemberontakan-pemberontakan di daerah selama era Sukarno dan menggelar operasi-operasi militer di Aceh hingga Papua pada zaman Orde Baru.

Dalam kesempatan lain, Nasution juga memakai istilah “perang teritorial” yang dicetuskan oleh Dushan Kveder,veteran Perang Sipil Spanyol, anggota partai komunis, dan perwira senior angkatan bersenjata Yugoslavia yang karyanya disebut-sebut berpengaruh di lingkaran perwira Indonesia sejak akhir 1950-an.

Pada Oktober 1953, artikel Kveder berjudul “’Territorial War’ the New Concept of Resistance” terbit di Foreign Affairs. Delapan tahun berselang, terjemahan Indonesianya muncul di majalah Angkatan Darat Territorial.
Sejak itulah konsep “perang teritorial” masuk ke kepala elite-elite militer Indonesia dan diadopsi sebagai doktrin pertahanan nasional.

Pokok-Pokok Gerilya, tulis sejarawan Walter Laqueur dalam Guerilla (1977), “mengingatkan orang akan Mao tanpa unsur politik.”

Komentar Laqueur wajar belaka. Teori perang tak selalu menuntut siapapun yang mempelajarinya untuk menyepakati tujuan-tujuan politik sang teoritikus—sebagaimana Lenin membaca karya jenderal reaksioner asal Prusia Carl von Clausewitz selama Perang Dunia I, sebagaimana Nasution mengutip Mao dan mengambil contoh dari Viet Cong.

Bahkan para (calon) pengusaha zaman kita, yang kerap dibayangkan sebagai figur ksatria modern, ternyata juga merasa perlu mempelajari ‘strategi perang’ untuk berbisnis. Bukankah sampai hari ini rak toko-toko buku penuh dengan judul seperti Perang Bisnis: Strategi Menaklukkan Pasar dengan prinsip Sun Tzu, Clausewitz Talks Business: An Executive’s Guide to Thinking Like a Strategist, Mao in the Boardroom: Marketing Genius from the Mind of the Master Guerilla, hingga Menyusun Rencana Pemasaran Gerilya yang Unggul ?

Tapi, apa cuma teori militer yang dipelajari tentara Indonesia dari orang-orang kiri dunia?

***

Pada Oktober 1988, pemerintahan Orde Baru meliberalisasi sektor perbankan. Bank asing akhirnya diizinkan membuka usaha patungan dengan bank lokal. Setahun kemudian, ada 91 bank swasta yang beroperasi, dari yang awalnya berjumlah 66 pada 1988. Tujuh tahun setelah deregulasi, jumlah bank patungan lokal dan asing meningkat nyaris empat kali lipat dari yang semula hanya 11 pada 1988.

Tapi, hanya beberapa bulan sebelum deregulasi resmi berjalan, Angkatan Darat merilis sebuah dokumen untuk keperluan program Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas). Di luar kecamannya terhadap “bahaya laten komunisme”, dokumen berjudul “Materi Balatkom” itu—sebagaimana dicatat Jun Honna dalam studinya tentang respons TNI terhadap tekanan reformasi—juga mengecam “kapitalisme liberal” yang menyebabkan “kaum kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin”.

Dokumen tersebut juga menunjuk perusahaan-perusahaan multinasional sebagai biang kerok ketergantungan negara miskin pada negara industri maju.

Di sisi lain, meski menyatakan hanya Pancasila yang mampu mengatasi kontradiksi antara komunisme dan kapitalisme, ada yang menarik pada kecaman “Materi Balatkom” terhadap kapitalisme. Analisis dokumen itu, sebagaimana diamati Honna, “menolak model masyarakat kapitalis-liberal dengan mengadopsi perspektif neo-Marxis tentang kapitalisme dan sistem [ekonomi] dunia”.

Yang dimaksud Honna sebagai perspektif “neo-Marxis” mengacu pada teori ketergantungan yang dikembangkan para ilmuwan kiri Amerika Latin. Gagasan ini diperkenalkan ke Indonesia pada 1970-an oleh intelektual pembangkang seperti Arief Budiman dan menjadi amunisi kritik terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru.

Tentu tak ada yang salah ketika seorang tentara Indonesia meraba ketimpangan ekonomi global lewat kacamata Marxis—apalagi pada 1980-an, sebuah dekade yang mengawali restorasi kuasa mutlak kapital atas otoritas negara. Namun, saking bisa diandalkannya, kacamata itu pernah lama dilarang beredar, tak boleh dikenakan oleh orang biasa yang tak bersenjata, petani, pekerja, guru, pelajar, ibu rumah tangga, atau siapapun yang dinilai aparat tak cukup cakap menafsirkan dunia.

Bukan tidak mungkin jika ia akan kembali dilarang dan hanya aparat yang berhak menggunakannya.  

Penyusun “Materi Balatkom”, Mayjen Soebijakto, pernah menjabat gubernur Lemhanas dan atase pertahanan Indonesia di Moskow. Selebihnya ia dikenal sebagai ‘pakar komunis’ di tubuh ABRI, sebuah super-lembaga yang—ketika pemodal asing mulai diizinkan masuk ke dunia perbankan Indonesia—telah lama menjalankan yayasan-yayasannya untuk mengoperasikan ratusan bisnis di berbagai sektor.
“Soebijakto,” catat Honna, “nampaknya paham kegunaan gagasan-gagasan Marxis”.
***

Jumat, 16 Agustus 2019

Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda


Oleh Nur Janti

Nasib perempuan dalam praktik pergundikan di Hindia Belanda. Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai pengecualian.

Nyai Ontosoroh dan Annelis Mellema dalam film arahan Hanung Bramantyo. (Falcon Pictures).

DARI balik pintu muncul seorang perempuan pribumi mengenakan kebaya putih berenda, berkain jarik dengan selop beludru hitam berhias sulaman perak.

Dialah Nyai Ontosoroh, gundik Tuan Mellema yang banyak dikagumi orang. Kehadirannya begitu mengesankan sebab selain penampilannya yang anggun dan rapi, bahasa Belandanya pun apik. Hal yang sulit ditemui pada diri seorang nyai.

Kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer menjadi gambaran umum kondisi pergundikan di era kolonial. Praktik ini sebenarnya sudah dilakukan sejak VOC bercokol di Hindia Timur.

Ketika Terusan Suez dibuka pada November 1869 peluang kehadiran orang Eropa makin tinggi karena perjalanan lebih singkat. Antara 1870-1880 ada sekira sepuluh ribu orang Eropa yang datang ke koloni, kebanyakan lelaki.

Perempuan Eropa masih amat langka, dengan perbandingan tiap 10 ribu lelaki terdapat 123 perempuan kulit putih. Angka ini belum termasuk golongan mestizo.

Karena kesulitan mencari pasangan satu ras inilah, para bujangan Eropa kebanyakan hidup bersama nyai. Praktik pergundikan ini jamak ditemui di tangsi militer, perkebunan, dan masyarakat sipil di kota.
“Mereka anggap tinggal bersama gundik sebagai tindakan illegal dan tidak diterima secara moral tapi di saat yang sama mereka membutuhkan bahkan diuntungkan dengan praktik ini,” kata Reggie Baay penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda kepada Historia.
VOC dan pemerintah kolonial mendiamkan perilaku ini karena selain memudahkan pengenalan adat dan bahasa setempat, mereka juga tak dibebani tunjangan lebih karna status pegawai yang masih lajang. Para elite tak perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit kelamin yang tersebar di rumah bordil.

Namun, di balik semua keuntungan ini ada cibiran dan penolakan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan. Di era VOC, penolakan paling dominan datang dari kalangan gereja yang melarang pernikahan dengan orang non-kristen.

Sementara, di era berikutnya, penolakan lebih didasarkan pada perbedaan rasial. Peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Dymaer van Twist pada 1850-an menyebut tentara yang hidup bersama nyai akan ditangguhkan kenaikan pangkatnya.

Djoemiha tinggal bersama Alfred Wilhelm, anggota KNIL. (Repro Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda).

Ketidaksukaan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan juga memunculkan asumsi bahwa alasan perempuan pribumi mau menjadi nyai karena pertimbangan materialistis. Anggapan tersebut, menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, melupakan posisi para perempuan terjajah dalam sistem kolonial. Para perempuan muda ini tidak punya suara apalagi pilihan. Ia hidup pada lingkungan tertindas di mana kemauan lelaki (ayah atau tuannya) harus dipenuhi tanpa penolakan.

Ketidakberdayaan pada keputusan ayah ini pula yang dialami Sanikem. Ia hanya bisa patuh pada keinginan ayahnya. Protes dari sang ibu pun tak berbuah hasil, akhirnya mereka hanya bisa berbalas tangis dalam perjalanan menuju rumah Herman Mellema. Nasib perempuan yang lebih buruk dikisahkan Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli. Seorang kuli perempuan di perkebunan Deli menolak pinangan tuannya untuk menjadi seorang nyai lantaran ingin bersetia pada pasangan pribuminya. Keputusannya alih-alih diterima malah berbuah hukuman dengan siksaan yang kejam.

Setelah jadi nyai pun, nasib para perempuan Asia ini belum tentu mujur. Seorang nyai bisa dibilang tidak punya hak apa pun. Mereka hanya diangap sebagai properti tuannya. Itulah mengapa beberapa orang Eropa menyebut nyai dengan julukan penuh hinaan. Meubel atau inventarisstukkarena mereka dengan mudah dipindahtangankan ke lelaki Belanda lain, atau bahkan dilelang sebagai bagian dari inventaris.

Hubungan tuan-gundik nyatanya tak melulu buruk. Ada yang hidup bahagia seperti Nyai Ontosoroh, mendapat kesempatan megembangkan kemampuan membaca, menulis, dan berbahasa Belanda. 
“Tentu ada pengecualian. Meski secara umum ditolak oleh masyarakat kolonial, ada juga lelaki Eropa yang bersikap baik seperti perlakuan Herman pada Ontosoroh. Penulis Willem Welraven misalnya. Relasi baik jadi kesempatan nyai untuk mendapat pengetahuan baru, meningkatkan intelektualitas, dan statusnya,” kata Reggie Baay.
Willem Welraven adalah penulis dan wartawan yang hidup pada pergantian abad ke-19. Ia menikahi gundiknya, Itih dan memperlakukannya laiknya ibu dan istri. Ia mengajari Itih membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Belanda. Ia juga mengajari Itih cara mengelola keuangan setelah sebelumnya jengkel pada ketidakpahaman istrinya itu. Walraven tak ambil pusing dengan stigma kolonial. Ia bahkan tak malu mengenalkan Itih sebagai istrinya.

Kawin campur Welraven-Itih bisa terjadi setelah pelarangan pernikahan dengan non-kristen dihapus pada 1848. Disusul kemudian pemberian status Eropa bagi para gundik yang dinikahi tuannya pada 1898. Setelah pernikahan campuran diakui, ada 80-100 pasangan yang menikah tiap tahun pada dekade 1886-1897.

Hanneke Ming dalam “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920” mencatat anggota tentara baru diizinkan menikahi pasangan pribuminya pada 1908. Namun perilaku hipokrit masyarakat kolonial tak hilang begitu saja. Mereka mengejek pergundikan, namun ketika pasangan beda ras ini hendak melegalkan hubungannya, ancaman karier menghadang si lelaki.

Hal inilah yang dialami pasangan Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen seperti diceritakan Reggie Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jurjen merupakan apoteker militer kelahiran Belanda. Sementara Pe Nio bekerja sebagai pembantu di rumah residen Bandung.

Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda).

Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo. Mereka bertemu di warung makan tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi juga mencari pasangan. Ia  pun meminta Djoemiha menjadi nyainya. Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di Jakarta.

Mereka bertemu ketika Jurjen bertamu ke rumah residen itu. Jurjen meminta Pe Nio menjadi nyainya yang disambut kata setuju. Pada 1908 mereka dikaruniai anak pertama lalu menikah setahun setelahnya. Keputusan ini berdampak pada karier Jurjen. Ia lantas keluar dari dinas militer dan membuka apotek di Bandung.

Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda).
Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo. 

Mereka bertemu di warung makan tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi juga mencari pasangan. Ia  pun meminta Djoemiha menjadi nyainya.
Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di Jakarta.

Hubungan Tragis

Kisah Nyai Ontosoroh selain memberikan gambaran perempuan mandiri, juga mencerminkan kerapuhan posisi nyai. Dalam hubungan pergundikan, tak ada pengakuan secuil pun baik sebagai pasangan lelaki Eropa atau ibu.

Ketika Annelis dan Robert sudah diaku sebagai anak Herman Mellema, mereka berhak menyandang nama belakang ayahnya dan punya status sebagai orang Eropa. Pengakuan ini di lain sisi, membuat posisi sosial mereka lebih tinggi dibanding ibunya sendiri.

Aturan tentang pengakuan keturunan mulai dikeluarkan pada 1828 lantaran anak-anak hasil pergundikan tak terhitung jumlahnya. Bila si ayah tak ingin mengadopsi anaknya, pendaftaran kelahiran tetap bisa dilakukan. Anak-anak yang tak diadopsi tapi tetap didaftarkan kelahirannya itu menyandang nama ayahnya dengan penulisan terbalik. Misal, Kijdsmeir dari van Riemsdijk, Rhemrev dari Vermehr, Snitsevorg dari Grovestins, atau Esreteip dari Pieterse.

Aturan lain menyusul kemudian yang memuat tentang hak asuh anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 40 dan 354 tahun 1848. Anak-anak hasil pergundikan yang sudah diadopsi ayahnya, secara hukum hubungan dengan ibu kandungnya gugur. Anak-anak itu murni milik ayahnya. Bila suatu hari ayahnya meninggal, si ibu tidak dapat mengambil alih hak asuh anak itu.

Itulah sebabnya setelah kematian Herman Mellema, perwalian Annelis diserahkan ke tangan Maurits Mellema, yang secara hukum diakui punya hubungan kekerabatan. Sementara Nyai Ontosoroh tak punya kuasa apa pun di mata hukum koloni.

Keputusan pengadilan yang mengalihkan hampir seluruh hak waris dan perwalian Annelis ke tangan Maurits meruntuhkan segala usaha Nyai Ontosoroh yang ia bangun bertahun-tahun. Pada akhirnya Nyai Ontosoroh dilempar dari permainan hukum kolonial yang tidak berpihak pada kaum bumi putera.

Annelis, satu-satunya harapan Nyai Ontosoroh, pun akhirnya dikirim Maurits ke Belanda. Menjadi pelengkap kisah tragis dalam hubungan nyai dan anaknya.

Perpisahan para nyai dengan anaknya ini jadi kasus yang jamak terjadi. Hal serupa juga dialami ayah Reggie Baay. Ayah Reggie tak tahu betul siapa ibunya. Jejaknya hanya tertinggal dalam akta pengakuan keturunan yang dibuat kakeknya, Daniel Baay.

Nenek Reggie, bernama Moeinah yang berasal dari kelaurga muslim miskin di Jengkilung, Surakarta (kemugkinan kini Desa Pendem, Sumberlawang, Sragen). Ia bekerja sebagai pelayan di rumah Daniel Baay dan Parijem, anak dari bangsawan rendah Kraton Surakarta.

Rupanya Louis Baay, anak Daniel, menaruh perhatian pada Moeinah. Mereka pun hidup bersama di villa kecil milik keluarga Baay di Surakarta. Hubungan ini membuat Moeinah melahirkan seorang putra, ayah Reggie pada 1919. Belum genap setahun mengurus bayinya, Moeinah diminta meninggalkan rumah dan kembali ke desanya.

Pada 1926, ketika Moeinah berusia sekira 25 tahun, ia kembali dipanggil oleh keluarga Baay untuk pembuatan “akta” anaknya. Setelah hak atas anak jatuh pada keluarga Baay, Moeinah kembali dilupakan. Ia tidak diperkenankan menemui anaknya.
“Saya seorang indo. Nenek saya dulu seorang nyai, tapi ayah saya tak pernah tahu siapa ibu kandungnya,” kata Reggie.
Moeinah dipisahkan dan dipaksa melupakan anaknya. Namun kenangan atas anak yang ia lahirkan dan rawat selama beberapa bulan, barangkali tak bisa ia lupakan begitu saja.

Ayah Reggie lebih-lebih tak punya bayangan seperti apa rupa ibunya. Ia pun selalu menolak membicarakan tentang ibu kandungnya itu. Namun, sedikit ingatan buram pada masa kecilnya, ia catat di belakang akta pengakuan.

Ketika masih kecil beberapa kali ia menyaksikan seorang perempuan Jawa berdiri di dekat pagar rumah. 
 “Berkali-kali ia berusaha untuk mendekatiku tetapi kerap dihalau oleh pelayan kami. Akankah ia…”

Bumi Manusia Rasa Milenial

Oleh Randy Wirayudha

Hanung meracik karya Pramoedya Ananta Toer ala kekinian. Imbasnya berbelok dari keotentikan novelnya.


Judul: Bumi Manusia | Sutradara: Hanung Bramantyo | Produser: Frederica | Pemain: Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Donny Damara, Giorgino Abraham, Jerome Kurnia, Peter Sterk, Robert Alexander Prein, Chew Kin Wah, Christian Sugiono | Produksi: Falcon Pictures | Genre: Drama | Durasi: 172 Menit | Rilis: 15 Agustus 2019

MODERNISASI dan cinta. Minke (diperankan Iqbaal Ramadhan) mengalami kegalauan akut terhadap hidup yang dipilihnya dan berkelindan dengan dua hal itu. Di satu sisi ia seorang anak bupati yang mengenyam pendidikan Eropa: bersekolah dengan anak-anak Belanda dan Indo (blasteran bumiputra dengan Eropa) pada zaman peralihan. Di sisi lain cintanya kandas karena aturan kolonial yang sangat rasialistis akhir abad ke-19.
Setidaknya begitu gambaran yang disuguhkan sineas Hanung Bramantyo dalam Bumi Manusia. Film drama yang diangkat dari tetralogi pertama Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer bertajuk sama. Karya sastrawan yang disebutkan Hanung, sebagai karya yang acap dibaca secara sembunyi-sembunyi di masa Orde Baru.
Memang Hanung tak menyertakan periode waktu. Namun soal era sangat nampak lantaran Minke salah satu pemuda HBS Hogere Burgerschool (setara SMP-SMA) Surabaya yang turut antusias melihat perayaan penobatan Wilhelmina menjadi Ratu Belanda, 6 September 1898.
Tetapi di lain pihak, Minke melihat sendiri bagaimana dampak modernisasi yang masuk ke Hindia Belanda di masa itu. Mulai dari kapal uap, kereta api uap, hingga teknologi komunikasi telegraf dan telegram. Serbuan teknologi Eropa yang kian memisahkan jurang antarkelas di kehidupan sosial Hindia Belanda. Betapa makin kuat penindasan yang terasa antara kelas Eropa dan bumiputra.
Sementara itu dari sesama kawan HBS-nya pula, Robert Suurhof (Jerome Kurnia), ia mengenal bidadari Indo, Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh). Tidak butuh waktu lama untuk Minke jatuh hati. Dalam selingan kisah asmara keduanya itu pula Minke melihat kenyataan yang tak biasa.
Bahwa ibu Annelies yang seorang nyai, Ontosoroh alias Sanikem Sostrotomo (Sha Ine Febriyanti), justru yang memegang kendali sebuah bisnis perkebunan, Boerderij Buitenzorg di Wonokromo milik pasangan sang nyai seorang Belanda, Herman Mellema (Peter Sterk).
Herman justru lebih banyak foya-foya. Mabuk-mabukan hampir saban hari di rumah pelesir Baba Ah Tjong (Chew Kin Wah). Robert Mellema (Giorgino Abraham), kakak Annelies, setali tiga uang. Enggan meneruskan sekolah dan memandang hina Minke sebagai kalangan bawah bumiputra.
Hubungannya dengan gadis Indo itu turut jadi perhatian orang tua Minke yang seorang Bupati Bojonegoro. Ayah Minke (Donny Damara), menegurnya dengan keras karena menganggap Minke meninggalkan budaya dan tradisi Jawa. Sementara Minke hanya bisa curhat pada ibunya: “Saya hanya ingin menjadi manusia bebas yang hidup di bumi manusia dengan segala perkaranya”.
Kembali ke Wonokromo, Minke mulai dihadapkan dengan perkara yang sudah lama mengganggu hatinya. Tak lain antara jurang pemisah antara kaum yang “terperintah” (bumiputra) dan “memerintah” (Eropa). Baik soal kasus kematian Herman Mellema dan hak asuh Annelies dan harta waris Herman yang digugat putra Herman dari istri pertama, Maurits Mellema (Robert Alexander Prein).
Para aktor dan tim produksi film "Bumi Manusia" di gala premier Jakarta. (Randy Wirayudha/Historia).
Bagaimana kelanjutannya? Baiknya Anda tonton sendiri film berdurasi 172 menit yang akan tayang resmi di bioskop-bioskop tanah air mulai 15 Agustus 2019. Film yang menurut Hanung sangat kontekstual dengan kondisi di Indonesia saat ini.
“Film ini bercerita tentang kata modern pertama kali keluar di Hindia Belanda. Itu sangat relatedengan kaum milenial karena kata-kata milenial sendiri baru keluar belakangan ini. Kegalauan Minke sama halnya dengan kegalauan anak-anak muda saat ini. Tonton film ini karena film ini berbicara tentang Indonesia pada masa masih embrio,” ujar Hanung kepada Historia di sela gala premier selebritas Bumi Manusia di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Senin (12/9/2019) malam.

Blunder Film

Hanung mengakui proyek filmnya merupakan film “berat”. Ia menggali dari nol novel Pram untuk bisa meramunya hingga bisa diterima kaum milenial yang dirasa sulit menerima film dengan bobot berat. “Tantangannya adalah waktu. Untuk mendapatkan karakter Minke, sakitnya Minke itu tidak bisa 2-3 bulan, harus tahunan tapi mana ada waktunya,” lanjutnya.
Mungkin faktor itulah yang akhirnya menuai beberapa kritik. Padahal filmnya dimulai dengan mendongkrak emosi via pemutaran lagu “Indonesia Raya”. Juga digambarkan bagaimana kondisi masyarakat di tengah serbuah modernitas. Plus sisipan tembang menyentuh “Ibu Pertiwi” yang dibawakan Iwan Fals.
Pun dengan komitmen para aktornya yang membawakan multibahasa di filmnya, mulai dari bahasa Jawa, Belanda, Prancis, Cina hingga Jepang. Sayangnya tak diikuti bahasa Melayu yang jadi “bahasa pemersatu” kaum bumiputra saat itu, melainkan hanya bahasa Indonesia baku belaka. Membuat suasana filmnya sangat milenial meski menggerogoti keotentikan karya Pramoedya.
Meski dinamika naik-turun alur filmnya tetap ada, namun setengah durasi ke belakang justru terasa membosankan. Belum lagi runyamnya beberapa detail properti. Seperti seragam polisi Belanda yang mirip serdadu security dengan senapan mirip Arisaka – senapan khas Jepang dengan topi lebar bak serdadu musketeer dari Prancis. Seragam opsir Belanda-nya pun justru nampak seperti baju koko.
Itu jika dibandingkan dengan sejarah aslinya di era itu. Masalahnya beberapa kejadian juga menyeleweng dari novel Pram sendiri, Bumi Manusia. Dalam novelnya, saat Minke disatroni polisi untuk dijemput, perlakuan agen polisinya nampak kasar. Padahal pada novelnya digambarkan Minke dijemput dengan perlakuan sopan, mengingat Minke anak bupati. Surat pemanggilannya pun bertuliskan “Karesidenan Bodjonegoro”, bukan Kabupaten Bodjonegoro lantaran ayahnya si bupati lah yang memanggilnya.
Di novel Pram juga Minke menjelaskan asal-usul namanya yang bersumber dari hinaan gurunya semasa ELS (De Europeesche Lagere School). Mungkin dalam dialognya Iqbaal yang memerankan Minke kepeleset lidah bahwa panggilan itu berasal dari guru sekolah HBS. Hanung juga melupakan perkenalan Minke dengan anak bupati asal Jepara (Kartini) yang sempat dikaguminya semasa ELS.
Hanung Bramantyo, sutradara film "Bumi Manusia". (Randy Wirayudha/Historia).
Lantas di adegan Minke disuruh jalan jongkok sebelum menghadap ayahnya di pendopo kabupaten. Orang yang menyuruhnya adalah abdi dalem pendopo. Padahal dalam novel, yang menyuruh Minke jalan jongkok adalah agen polisi yang mengantarnya dari Surabaya ke Bojonegoro.
Dalam film juga tak diputar lagu “Wilhelmus” saat perayaan penobatan Ratu Wilhelmina dan penobatan ayahnya jadi bupati, sebagaimana dituangkan Pram. Dalam pengadilan juga tak nampak adanya jaksa penuntut, di mana sistem hukum kolonial masih sangat serupa dengan saat ini, juga di novel. Nyai Ontosoroh hanya ditekan oleh hakim.
Pun dengan vonis Baba Ah Tjong sebagai peracun Herman Mellema. Dalam film, hakim hanya memvonis Nyai Ontosoroh terbebas dari segala tuduhan. Padahal jelas-jelas Pram mengungkap hakim Landraad memvonis Baba Ah Tjong hukuman penjara 10 tahun dan kerja paksa.
Entah berapa detail dari novel Pram yang berbelok dalam film. Namun, blunder yang dirasa paling terasa adalah, Hanung menyertakan nama Raden Mas (RM) Tirto Adhi (Soerjo), terhitung lima kali dalam film. Jelas-jelas Pram tak pernah menyebut nama Tirto meski Minke adalah “penjelmaan” dari tokoh pers nasional itu. Sedikitnya dalam novel, Pram hanya menyebut RM Minke anak Bupati B (merujuk Bojonegoro).
Soal ini, Hanung membantah bahwa Minke adalah Tirto Adhi Soerjo. 
“Ini bukan biografi tentang Tirto Adhi Soerjo. Siapa bilang (Minke adalah Tirto, red.)Enggak ada yang bilang seperti itu (Minke adalah Tirto)! Pak Pram hanya memudahkan agar supaya karakternya itu hipotesanya enak, makanya dia ambil Tirto Adhi Soerjo. Tetapi Pak Pram sama sekali tak mengatakan ini (Minke) adalah Tirto Adhi Soerjo,” kata Hanung.
Toh, dalam filmnya, lima kali nama Tirto disertakan. Pertama dalam surat pemanggilan Minke dengan kop Karesidenan Bojonegoro. Kedua dalam dialog Minke dengan ayahnya. Ketiga dalam lembaran pengumuman kelulusan HBS sebagai ranking 1 HBS se-Surabaya. Keempat dalam tulisannya di surat kabar pasca alter egonya terungkap. Kelima saat Minke menyodorkan surat nikah resmi secara Islam ke Raad van Justitie untuk membuktikan bahwa dia suami sah Annelies.

Respons Keluarga Tirto Adhi Soerjo

Lantas bagaimana tanggapan keluarga Tirto Adhi Soerjo sendiri? Terkait Minke yang dianggap bukan Tirto Adhi Soerjo namun namanya tetap muncul di beberapa adegan filmnya.
“Kalau bagi saya enggak ada soal. Memang tidak harus sowan ke keluarga besar Tirto Adhi Soerjo karena diambilnya dari Bumi Manusia, bukan Sang Pemula yang biografinya Tirto. Tapi itu kembali ke Hanung sendiri apakah dia merasa harus atau tidak. Bagi saya pribadi Tirto Adhi Soerjo sudah milik anak segala bangsa, siapapun mau menginterpretasikannya, monggo-monggo saja,” kata RM Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto, cicit Tirto Adhi Soerjo kepada Historia.
Okky Tirto, cicit Tirto Adhi Soerjo dari garis istri pertama Siti Suhaerah. (Fernando Randy/Historia).
Namun Okky turut salut dengan “strategi” Hanung mengambil Iqbaal Ramadhan untuk memerankan Minke alias Tirto Adhi Soerjo. Nama aktor muda ini tengah menjulang sejak memerankan Dilan dalam Dilan 1990. Kendati memang mulanya pemilihan Iqbaal menuai pro-kontra.
“Ya itu minusnya bahwa di diri Iqbaal masih menempel citra Dilan. Orang akan confuse kenapa Dilan memerankan Minke. Agak jetlag melihatnya. Tapi positifnya adalah Iqbaal sedang naik namanya di kalangan milenial. Kita mau berharap apa kaum milenial tahu Pram? Susah dan berat lho, mungkin kalau mereka magang di Historia, bisa tuh,” tutur Okky seraya bergurau.
Setidaknya dengan “Dilan effect” itu, menurut Okky, jadi pintu masuk generasi milenial untuk memahami sejarah bangsa di masa kolonial. 
“Dua poin penting: pertama, anak milenial bisa jadi senang akan sastra yang sesungguhnya, bukan sastra pop. Kedua, mereka jadi aware dengan sejarah bangsa ini. Bahwa di dalamnya mereka jadi mengenal Tirto itu hanya efek samping. Strateginya yang oke juga kalau dikemasnya baik,” tandas Okky.

Kamis, 15 Agustus 2019

Bumi Manusia: Film adaptasi dari buku mantan tapol yang pernah dilarang, 'perjalanan sulit' Pramoedya Ananta Toer


15 Agustus 2019

Bumi Manusia diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer yang pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung. Larangan ini belum pernah dicabut, sekalipun sudah tidak memiliki kekuatan hukum. FALCON PICTURES

Film Bumi Manusia, adaptasi dari buku yang pernah dilarang karya Pramoedya Ananta Toer diluncurkan menjelang hari kemerdekaan, langkah untuk menggambarkan "perjalanan sulit' mantan tapol dan "mengenang korban penderitaan orde baru".

Bumi Manusia yang dibintangi antara lain oleh Iqbaal Ramadhan - pemeran film Dilan - disebut produsernya HB Naveen, pendiri dan pemilik Falcon Pictures, sebagai cara menggambarkan persepsi milenial terkait kejadian 1965 yang sudah berubah.

Buku Bumi Manusia dan buku-buku Pram lain sudah dijual bebas. Naveen menekankan pentingnya situasi yang sudah berubah. Novel Bumi Manusia bercerita tentang perjuangan tokoh Minke memperjuangan kedudukan pribumi melawan diskriminasi Belanda pada masa kolonial Belanda di awal abad keduapuluh. Sebagai anak bupati, Minke bisa bersekolah, dan ia menggunakan pengetahuannya untuk melawan kolonialisme Belanda. 
"Generasi kan sudah berubah, perspektif sudah berubah, persepsi sudah berubah, environment (lingkungan) sudah berubah. Jadi masyarakat millenial zaman sekarang menilai Pram itu dari karyanya. Dan bisa saya sampaikan pada minggu kemarin buku Bumi Manusia novel itu di Gramedia dicatat sebagai buku nomer dua best seller," kata Naveen.
Buku Bumi Manusia sendiri pernah dilarang pada 1981 oleh Kejaksaan Agung RI dengan surat larangan nomer SK-052/JA/5/1981. Sejak larangan itu keluar, beberapa orang mahasiswa pernah dipenjara dengan tuduhan menyimpan dan mengedarkan buku itu.

Tanggal penayangan film ini, menurut Naveen memang sengaja dipilih untuk memperingati Kemerdekaan Indonesia dan juga untuk mengingat "kehebatan Pram."
Naveen mengatakan, "Dari perspektif kami bahwa itu Pram tidak mendapatkan yang semestinya. Kehebatan yang dilakukan oleh beliau di Indonesia, dengan menulis begitu banyak novel. Juga perjalanan beliau yang cukup susah dan cukup rumit. Kita ingin dengan kita launching tanggal 15 Agustus itu, beliau diingatkan kembali, sebagai sumbangsih beliau kepada Indonesia dengan novel sastra yang demikian hebat."
Memiliki atau mengedarkan novel Bumi Manusia dan buku-buku Pramoedya Ananta Toer lainnya pernah menjadi sesuatu yang bisa membawa risiko seseorang menjalani hukuman penjara. FALCON PICTURES

Novel Bumi Manusia sendiri kini sudah dijual bebas. Namun surat larangan Kejaksaan Agung itu belum pernah dicabut. Naveen sendiri menyatakan belum memastikan apakah larangan sudah resmi dicabut.
Tetapi ia mengatakan novel Bumi Manusia "sejak 10 tahun lebih sudah terbit di toko buku."

"Mengenang penderitaan korban orde baru"

Pengamat yang menjadi dosen di Direktur Herbert Feith Centre dan profesor di Monash University Australia, Ariel Heryanto, melihat bahwa soal larangan Bumi Manusia pada awal 1980an mencerminkan kacaunya peraturan masa Orde Baru yang terbawa hingga kini.
"Soal larangan Orde Baru terhadap Bumi Manusia ini kacau lagi. Peraturan mereka itu kan compang-camping. Jadi di zaman Orde Baru sampai sesudah Orde Baru juga, peraturan itu ngga dibuang dan dimasukkan tong sampah.
Pemerintah ini lebih suka bikin larangan-larangan baru untuk membatasi kehidupan rakyat, ketimbang membersihkan dan menghapus larangan yang sudah kadaluwarsa."
Melalui akun Twitternya, Ariel juga menyatakan film ini dapat dipakai untuk "Mengenang pula penderitaan beliau dan seluruh keluarganya sebagai korban rezim Orde Baru."
Peraturan yang menjadi dasar pelarangan buku-buku di Indonesia terutama yang dianggap kiri atau berhaluan komunis adalah UU No.4/PNPS/1963. UU ini sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010.

Pengacara yang menangani gugatan itu, Taufik Basari menyatakan bahwa SK pelarangan itu sebenarnya sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Taufik mengatakan, 
 "Ketika suatu keputusan hukum sudah tidak ada dasar hukumya lagi, maka keputusan itu menjadi keputusan yang abu-abu, di mana secara hukum sebenarnya dia sudah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum tapi secara administratif, SK-nya belum dicabut."
BBC Indonesia telah beberapa kali mengontak pihak Mahkamah Agung melalui Kapuspenkum, Mukri, namun tidak mendapat tanggapan.

FALCON PICTURES | Penayangan perdana tanggal 15 Agustus terkait dengan perayaan kemerdekaan Indonesia karena novel Pram Bumi Manusia dan Perburuan bercerita tentang momen dalam sejarah yang anti terhadap kolonialisme.

Perjalanan susah dan rumit dan menciptakan novel sastra hebat
Buku Bumi Manusia sendiri dilarang oleh Kejaksaan Agung bersamaan dengan Anak Semua Bangsa.

Pada tahun 1985, novel Jejak Langkah juga dilarang. Pelarangan ini dikait-kaitkan dengan posisi Pram yang dekat dengan Lembaga Kesenian Rakyat atau LEKRA, organisasi kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia.
Pram sendiri dijadikan tahanan politik di Pulau Buru - tempat di mana novel-novel itu dihasilkan - bersama dengan para tahanan anggota PKI dan simpatisannya.

Menanggapi hal ini, HB Naveen menyatakan tidak mempersoalkan posisi Pram dan yang utama adalah jasa besar Pram bagi Indonesia.
"Dari perspektif kami bahwa Pram tidak mendapatkan yang semestinya (yaitu) kehebatan yang dilakukan oleh beliau di Indonesia, dengan menulis begitu banyak novel. Juga perjalanan beliau yang cukup susah dan cukup rumit. Kita ingin dengan kita launching tanggal 15 Agustus itu, kita diingatkan kembali akan sumbangsih beliau kepada Indonesia dengan novel sastra yang demikian hebat."
Ariel Heryanto juga menyambut baik peluncuran film yang didekatkan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia.
"Saya sih menyambut baik kalau ada perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia dikaitkan dengan jasa-jasa orang-orang komunis. Sudah saatnya lah kita mengakui jasa-jasa orang-orang kiri - termasuk yang komunis - dalam perjuangan kemerdekaan RI." kata Ariel.
Sejumlah orang yang telah menyaksikan film ini menyambut dengan menulis melalui Twitter, "Sebagus itu sih #BumiManusia, keluar bioskop mewek dong dan yang bikin terharu setelah film selesai satu studio hampir pada standing applause."
Mantan aktvisi dan politisi Budiman Sudjatmiko menyebut, "Awal kesadaran kebangsaan Indonesia layak difilmkan lewat #BumiManusia."
Pengguna lain menulis, "Tak terbayangkan, Bumi Manusia bisa hidup dan kita tonton di bioskop!"

Senin, 12 Agustus 2019

Perburuan dalam Sepekan


Oleh Andri Setiawan

Kekejaman Jepang dan sakit hati Pram mengilhami novel Perburuan. Ditulis di penjara dalam waktu seminggu.

Adipati Dolken memerankan Hardo dalam film Perburuan (2019). (Twitter CGV Cinemas).

Bunyi gamelan yang penghabisan telah lenyap di udara senja hari. Sepagi anak lurah Kaliwangan telah disunati. Tamu-tamu telah habis pulang. Senja rembang datang.

Begitulah Pram memulai ceritanya, Perburuan. Sejak senja rembang 16 Agustus 1945 itulah Hardo untuk pertama kalinya menampakkan diri. Setelah setengah tahun bersembunyi dari buruan Nippon, ia muncul di depan rumah Ningsih, tunangannya. Hari itu adalahhari sunatan Ramli, adik Ningsih.

Namun Den Hardo, bukan lagi pemuda yang orang-orang Kaliwangan kenal. Saat itu telah menjadi seorang kere. Kere dengan rambut gondrong dan lengket. Wajah kotor dan dipenuhi brewok. Tidak berbaju dan telanjang kaki.

Hardo telah menjadi buruan sejak pertama kali memutuskan untuk memberontak. Menjadi pelariandi bukit batu padas dan bersembunyi di dalam gua yang pekat. Meninggalkan sanak keluarga bahkan tunangannya. Lalu sampai kapan Hardo akan bertahan?
“Sampai Nippon kalah,” kata Hardo.

Semangat Anti Jepang

Hardo adalah mantan sodhanco. Ia memberontak bersama dua sodhanco lainnya, Dipo dan Karmin, serta para shodan. Namun sayang, pemberontakan kepada balatentara Dai Nippon itu gagal karena Karmin berkhianat. Para pemberontakan pun harus mundur ke perbukitan dan hutan-hutan.

Kengerian masa penjajahan Jepang yang kemudian melahirkan semangat anti-Jepang nampaknya mengilhami lahirnya novel Perburuan. Bagaimana tidak, hal itu dirasakan bahkan sejak baru beberapa hari Jepang memasuki kota kelahirannya, Blora.
“Jepang mulai memperkosai wanita. Dua serdadu Jepang yang dihukum mati di alun-alun karena perkosaan tidak meredakan keresahan. Para wanita dari remaja sampai nenek pada berbedak jelaga,” ungkap Pram dalam buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang.
Dua bulan Jepang berkuasa, ibu dan adik bungsu Pram meninggal dunia. Pram, yang kala itu masih berusia 17 tahun pergi ke Batavia. Di Batavia, kengerian penjajahan semakin jelas di mata Pram. Mulai dari penyiksaan terhadap penduduk hingga pembunuhan karena kejahatan kecil.

Selain itu, ada satu kejadian sepele namun meninggalkan sakit hati bagi Pram. Suatu hari ketika Pram sedang mengayuh sepedanya di jalanan berlubang, tiba-tiba sebuah truk militer membunyikan klakson dari belakang.
“Truk itu mengerem. Dari kabin truk meledak petir: Nan da kurah! Dan mata melotot,” ingat Pram.
Ban sepeda Pram lepas dan tergencet porok (garpu sepeda). Ketika seorang serdadu melompat turun, Pram memikul sepedanya dan melemparkannya ke pinggir jalan lalu lari.
“Dari belakangku, meraung-raung dia: Bagero mae! Genjumin! Hanya rangkaian caci-maki. Sakit hati itu ternyata tak pernah lenyap,” kenang Pram.
Sementara itu, Pram memang bekerja di kantor berita Domei milik Jepang. Ia harus memberitakan kemenangan, kebenaran dan kebajikan Jepang.
 “Keadaan di luar dan di dalam diri sudah tidak tertahankan,  Domei kutinggalkan,” ungkapnya.
Pram kabur ke Kediri, Jawa Timur. Di desa terpencil dan miskin bernama Tunjung, ia menumpang di rumah bekas kepala desa, seorang paman.

Pada 23 Agustus 1945, Pram baru mendapat kabar seputar proklamasi. Lewat Surabaya, Pram pulang ke Blora. Di kota kelahirannya, saat itu sedang diadakan pertunjukan sandiwara “Indonesia Merdeka”. Namun Pram hanya menonton selama seperempat jam.
“Pada waktu itu timbul tantangan dalam hati aku akan tulis berita yang jauh lebih baik dari ‘Indonesia Merdeka’ Blora ini, sebuah cerita yang bersemangat anti-Jepang, patriotik, ditutup dengan proklamasi kemerdekaan,” tegas Pram.
Pram dan novel Perburuan.

Kebebasan dan Revolusi

Keinginan untuk menulis cerita yang lebih baik dari sandiwara ‘Indonesia Merdeka’ itu terlaksana pada 1949. Namun, kala itu Pram sedang dipenjara di Bukit Duri oleh Belanda.

Kerja paksa di luar penjara dengan upah 7,5 sen perhari dan kenyataan bahwa perang melawan Belanda belum kelihatan ujungnya membuat Pram putus asa.
“Kubuka pesangon dari ibuku sebelum pergi ke alam baka: patiraga, yang hanya boleh dipergunakan di waktu krisis jiwa melanda tanpa dapat diatasi,” ungkap Pram.
A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer­ mengatakan bahwa pengalaman mistik Pram dalam hubungan dengan penciptaan perburuan, datang sebagai semacam pencerahan dan pembebasan ketika Pram mengalami krisis kejiwaan yang sangat parah.

Pengalaman yang disebut Pram sebagai mistikum itu, lahirlah proses kreatif. Perburuan kemudian mulai ia tulis di dalam penjara, di bawah tekanan serdadu Belanda.
“Ya, dilakukan pada waktu tidak terkena kerja paksa, duduk berjongkok di atas kaleng margarin dengan alas sepotong kecil papan, bermeja tulis ambin beton tempat tidur,” kata Pram.
Jika dari dalam kamar terdengar langkah sepatu bot serdadu KNIL yang sedang meronda, Pram segera mengemas peralatan menulisnya. Lalu di malam hari, Pram hanya bisa menulis di bawah ambin beton sambil tengkurap dengan menggunakan lampu minyak. Karena jika tidak sembunyi, Pram bisa ketahuan karena pintu sel memiliki jendela sorong tempat para serdadu mengintip.
“Minyak tanah dibeli dari teman-teman yang bekerja di dapur. Kertas di dapat dari sang pacar,” ungkap Pram.
Meskipun dalam kondisi menulis yang sulit, Pram tetap berhasil menyelesaikan naskah itu. Pram merampungkan Perburuan hanya dalam waktu satu minggu. 
“Saya mengerjakan roman itu persis selama satu minggu. Waktu itu saya masih memiliki kekuatan alamiah saya,” kata Pram dalam wawancaranya dengan Kees Snoek yang terbit dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir.
Naskah itu kemudian diselundupkan oleh Dr. Mr. G.J. Resink yang sering berkunjung ke penjara untuk menemui para mahasiswanya yang ditahan.
“Resink menyerahkan naskah Perburuan kepada H.B. Jassin yang waktu itu sebagai redaktur Balai Pustaka,” tulis sastrawan Ajip Rosidi dalam Mengenang Orang Lain: Sebuah Obituari.
Oleh Jassin, naskah Perburuan diikutkan sayembara tanpa sepengetahuan Pram. Novel itu menang dan kemudian diterbitkan Balai Pustaka pada 1950.

A Teeuw mengatakan bahwa Pram adalah sastrawan yang mencuat tinggi dalam mencitrakan revolusi Indonesia baik dari jumlah karya maupun mutunya.
“Segala aspek perjuangan rakyat Indonesia, di garis depan, di medan perang, di gerilya kota Jakarta, dalam penjara penjajah, di masa pasca revolusi, segala bentuk penderitaan dan pengorbanan rakyat, segala grandeur et misere (keagungan dan kemelaratan) rakyat dicitrakannya, dan berkat penguasaan bahasanya, kekuatan gayanya, keaslian imajinasinya, ia berkali-kali berhasil mentransformasikan kenyataan hulu revolusi dan perjuangan bangsa Indonesia yang sebagian besar dihayatinya dalam hidupnya sendiri menjadi epos, wiracerita,” tulis A Teeuw.
Mengutip A Teeuw, novel Perburuan ditutup Pram dengan sebuah goro-goro. Ketika kabar Nippon kalah telah terdengar, tiba saatnya Hardo kembali. Namun, terjadi kekacauan di Kawilangan. Dada Ningsih, tunanganya, telah ditembus oleh peluru parabellum Jepang. Terbaring di hadapan Hardo yang gugup, Ningsih mengembuskan napas terakhirnya.

Begitulah Pram mengakhiri ceritanya. Siang hari lewat jam dua, 17 Agustus 1945. Ketika hawa kota Blora sampailah pada puncak panasnya… panas yang mengganggang seluruh kota.